Tik tak tik tok tik tak tik tok (Suara jam berdetak)
…
Bum!!! (Suara bantingan pintu)
“Sialan!!!”
“???”
“Kau!??”
“Apa? Mengapa kau pulang dengan lagak seperti itu?” (Emosi terkontrol)
“Dimana kau saat kejadian itu berlangsung?” (Mendidih)
“Itu bukan urusanmu!” (Berjalan menuju pintu)
“Bila mengenai kau itu sudah menjadi urusanku!” (Mencekal)
“Lepaskan aku!”
“Dimana kau saat itu?” (Masih mencekal)
“Dimana aku itu bukan hal penting, LEPASKAN AKU!”
(Melepaskan cekalan dan membiarkannya berlalu)
…
Dua hari yang lalu
“Kau minum, benarkan?” (Menyodorkan minuman)
“Ya.”
“Dia tahu kau ada disini?”
“Entahlah…” (Cuek)
…
Sekarang
“Perempuan berengsek!” (Menghempaskan badan ke sofa)
(Hening, sesekali terdengar helaan nafas)
…
Setahun yang lalu
“Aku hamil.”
“Apa? Benarkah? Kau sudah kedokter? Kau seriuskan?”
“Ya aku serius,” (Geli) “Aku belum kedokter, aku ingin memeriksanya bersamamu.” (Tersenyum)
“Lalu, dari mana kau tahu…”
“Bahwa aku hamil? Aku perempuan sayang.” (Tersenyum)
“Ah…ya!” (Tersenyum lalu memeluk)
…
Sekarang
(Hening)
(Suara pintu dibuka)
“Kau sudah tidur?” (Berjalan mendekat) “Maafkan aku, tak seharusnya aku membentakmu.”
“Apa yang kau ragukan? Tak ada yang kusembunyikan.”
‘Yah…Tapi…Ada yang ganjal. Kau menghilang saat kejadian itu.”
“Hah!” (Memunggungi)
…
Setahun yang lalu
“Kita akan mempunyai anak!” (Memeluk dan mencium)
“Ya…Hey! Geli tau” (Tertawa dan balas memeluk)
…
Dua hari yang lalu
“Kau mencintainya?” (Agak mabuk)
“Menurutmu?”
“Hahaha…Ya! Kau mencintainya bahkan sangat tergila-gila padanya.” (Meneguk minuman) “ Meskipun dia telah kehilangan minat padamu. Hahaha… Perempuan malang! Hahaha…”
“Oh ya?” (Emosi terkontrol)
“Ya!” (Meneguk minuman) “Kau telah kehilangan simpatinya bahkan mungkin cintanya, semenjak kau keguguran.” (Sangat mabuk) “Dan dia mengira kau dengan sengaja menggugurkan anaknya.”
“Ya, ada yang memasukkan obat pencahar di makanan ku.”
“Salah sayang, salah…” (Menggelengkan kepala) “Bukan dimakananmu, bukan. Hahaha…”
“Lalu dimana? (Dengan nada bersekongkol)
“Di minumanmu, kau mau tahu siapa yang melakukannya?”
…
Sekarang
(Ikut berbaring) “Ada sidik jari mu di gelas itu.”
(Menghela nafas lalu berbalik) “Ya, aku memang bertemu dengannya.”
“Apa yang kau sembunyikan? Demi Allah, dia kakak ku, kau tak mau membantuku mencari pembunuhnya?”
( Menghela nafas) “Aku yang membunuhnya.”
…
Dua hari yang lalu
“Aku! Aku yang melakukannya! Hahaha…Tau rasa kalian.” (Mencengkram bahu si perempuan) “Aku! Aku yang pertama bertemu dengan mu, dan berengsek kalian! Menikah tanpa sepengetahuan ku! (Sangat mabuk)
(Tersenyum miris lalu merogoh tas)
DOR!!!
(Hening)
(Perlahan bangkit dari kursi dan berlalu)
“ Apa yang kau sesali dalam hidup ini?”
“Tak ada,” jawabku.
“Masa tak ada?”
“Ya tak ada!”
“Hah! Tak mungkin,” dengan nada tak percaya.
“Apa yang dapat kusesali jika aku memiliki segalanya?”, tanyaku.
“SEGALANYA? Tak mungkin!”
“Ya, SEGALANYA!”
“Apa yang kau maksud dengan segalanya itu?”
“Segalanya ya segalanya, semua yang dapat membuat seorang manusia berbahagia. Aku punya orangtua yang selalu melimpahkanku dengan kasih sayang, aku punya kakak dan keluarga yang menyayangiku, aku punya sahabat, aku punya seseorang yang selalu ada buatku, hidupku berkecukupan, aku bisa tidur dengan nyenyak, aku punya harapan dan impian, aku punya masa depan, dan terutama Tuhan selalu bersamaku. Apakah itu belum cukup?
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu.
Carilah, maka kamu akan mendapat.
Ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu.
Carilah, maka kamu akan mendapat.
Ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu.
Pada hakikatnya, genius adalah mewujudkan gagasan yang paling sederhana.
_Charles Peguy
Dikutip dari Chicken Soup for the Soul at Work, halaman 304
_Charles Peguy
Di sebuah kota kecil nun jauh di sana, seorang pemuda memulai bisnisnya sendiri-sebuah toko kecil di tikungan jalan. Dia orang baik. Dia jujur dan ramah, dan orang-orang menyukainya. Mereka membeli barang dagangannya dan menceritakan tentang kebaikan si pemuda kepada teman-teman mereka. Bisnis si pemuda pun tumbuh berkembang dan dia meluaskan tokonya. Dalam waktu beberapa tahun saja dia berhasil mengembangkan tokonya yang pertama itu menjadi serangkaian toko dari pantai timur sampai ke pantai barat.
Pada suatu hari, dia sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dokter menghawatirkan hidupnya tidak akan lama lagi. Dia mengumpulkan tiga orang anaknya yang sudah dewasa dan mengajukan tantangan: “Salah seorang dari kalian bertiga akan menjadi pemimpin perusaan ini, yang sudah Bapak bina selama bertahun-tahun. Untuk menentukan siapa diantara kalian yang paling pantas menduduki jabatan tersebut, Bapak akan memberi kalian masing-masing uang satu dolar. Pergilah dan belanjakan uang satu dolar ini membeli apa pun yang kalian suka. Tetapi, kalau nanti sore kalian datang kembali menemui Bapak di rumah sakit, barang yang kalian beli dengan uang satu dolar itu harus bisa memenuhi kamar ini dari ujung ke ujung.”
Ketiga anaknya sangat bersemangat ketika mendengar terbukanya kesempatan untuk memimpin perusahaan yang sukses itu. Masing-masing pergi ke kota dan membelanjakan uangnya yang satu dolar itu. Ketika mereka kembalilagi sore harinya, sang bapak bertanya, “Anakku yang pertama , apa yang kamu lakukan dengan uang mu yang satu dolar itu?”
“Begini, Pak,” jawabnya, “Saya ke peternakan teman saya, memberikan uang itu kepadanya, dan membeli dua bal jerami.” Setelah berkata demikian, si anak keluar kamar dan masuk lagi sambil membawa dua bal jerami. Dibukanya ikatan jerami itu, lalu ditebarkannya ke udara. Selama beberapa saat, kamar itu dipenuhi jerami. Tetapi, tak lama kemudian, jerami itu berjatuhan menutupi lantai. Ternyata jerami itu tidak cukup untuk menutupi lantai kamar dari ujung ke ujung, sebagaimana yang diminta bapaknya.
“Nah, anakku yang kedua, apa yang kamu lakukan dengan uang mu yang satu dolar itu?”
“Saya pergi ke Sears (semacam toserba), Pak,” katanya, “dan membeli dua buah bantal yang isinya bulu burung.” Lalu, dia membawa masuk kedua bantal itu, membukanya, dan menebarkan isinya ke seluruh ruangan. Tidak lama kemudian, semua bulu burung itu jatuhke lantai, dan kali ini pun kamar itu tidak tertutupi sempurna oleh bulu burung tersebut.
“Anakku yang ketiga,” kata si bapak, “apa yang kaulakukan dengan uang satu dolarmu?”
“Pak, saya membawa uang dolar saya ke sebuah toko kecil seperti yang Bapak miliki bertahun-tahun yang lalu,” kata si anak ketiga. “Saya berikan uang dolar saya kepada pemiliknya dan saya minta ditukar dengan uang receh. Saya menanamkan 50 sen dalam sesuatu yang berharga, persis seperti yang dikatakan Alkitab. Lalu, saya berikan yang 20 sen ke dua buah panti asuhan di kota kita. Yang 20 sen lagi saya sumbangkan ke gereja. Sisanya ada sepuluh sen, yang saya belikan dua macam barang.”
Lalu, ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sekotak korek api dan sebatang lilin. Dia menyalakan lilin itu, mematikan lampu, dan kamar itu pun dipenuhi-dari ujung ke ujung-bukan oleh jerami ataupun bulu burung, melainkan oleh cahaya.
Ayahnya sangat gembira. “Selamat, anakku. Kamu yang akan menjadi pemimpin perusahaan karena kamu telah memahami pelajaran penting dalam hidup ini. Kamu mengerti bagaimana membiarkan cahayamu bersinar. Bagus!”
Pada suatu hari, dia sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dokter menghawatirkan hidupnya tidak akan lama lagi. Dia mengumpulkan tiga orang anaknya yang sudah dewasa dan mengajukan tantangan: “Salah seorang dari kalian bertiga akan menjadi pemimpin perusaan ini, yang sudah Bapak bina selama bertahun-tahun. Untuk menentukan siapa diantara kalian yang paling pantas menduduki jabatan tersebut, Bapak akan memberi kalian masing-masing uang satu dolar. Pergilah dan belanjakan uang satu dolar ini membeli apa pun yang kalian suka. Tetapi, kalau nanti sore kalian datang kembali menemui Bapak di rumah sakit, barang yang kalian beli dengan uang satu dolar itu harus bisa memenuhi kamar ini dari ujung ke ujung.”
Ketiga anaknya sangat bersemangat ketika mendengar terbukanya kesempatan untuk memimpin perusahaan yang sukses itu. Masing-masing pergi ke kota dan membelanjakan uangnya yang satu dolar itu. Ketika mereka kembalilagi sore harinya, sang bapak bertanya, “Anakku yang pertama , apa yang kamu lakukan dengan uang mu yang satu dolar itu?”
“Begini, Pak,” jawabnya, “Saya ke peternakan teman saya, memberikan uang itu kepadanya, dan membeli dua bal jerami.” Setelah berkata demikian, si anak keluar kamar dan masuk lagi sambil membawa dua bal jerami. Dibukanya ikatan jerami itu, lalu ditebarkannya ke udara. Selama beberapa saat, kamar itu dipenuhi jerami. Tetapi, tak lama kemudian, jerami itu berjatuhan menutupi lantai. Ternyata jerami itu tidak cukup untuk menutupi lantai kamar dari ujung ke ujung, sebagaimana yang diminta bapaknya.
“Nah, anakku yang kedua, apa yang kamu lakukan dengan uang mu yang satu dolar itu?”
“Saya pergi ke Sears (semacam toserba), Pak,” katanya, “dan membeli dua buah bantal yang isinya bulu burung.” Lalu, dia membawa masuk kedua bantal itu, membukanya, dan menebarkan isinya ke seluruh ruangan. Tidak lama kemudian, semua bulu burung itu jatuhke lantai, dan kali ini pun kamar itu tidak tertutupi sempurna oleh bulu burung tersebut.
“Anakku yang ketiga,” kata si bapak, “apa yang kaulakukan dengan uang satu dolarmu?”
“Pak, saya membawa uang dolar saya ke sebuah toko kecil seperti yang Bapak miliki bertahun-tahun yang lalu,” kata si anak ketiga. “Saya berikan uang dolar saya kepada pemiliknya dan saya minta ditukar dengan uang receh. Saya menanamkan 50 sen dalam sesuatu yang berharga, persis seperti yang dikatakan Alkitab. Lalu, saya berikan yang 20 sen ke dua buah panti asuhan di kota kita. Yang 20 sen lagi saya sumbangkan ke gereja. Sisanya ada sepuluh sen, yang saya belikan dua macam barang.”
Lalu, ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sekotak korek api dan sebatang lilin. Dia menyalakan lilin itu, mematikan lampu, dan kamar itu pun dipenuhi-dari ujung ke ujung-bukan oleh jerami ataupun bulu burung, melainkan oleh cahaya.
Ayahnya sangat gembira. “Selamat, anakku. Kamu yang akan menjadi pemimpin perusahaan karena kamu telah memahami pelajaran penting dalam hidup ini. Kamu mengerti bagaimana membiarkan cahayamu bersinar. Bagus!”
_Nido Qubein
Dikutip dari Chicken Soup for the Soul at Work, halaman 304