Sekitarnya gelap gulita.
Dia berdiri sendiri, menyokong monster yang berkembang pesat di kepalanya.
Ruang-ruang hampa memenuhi hatinya.
Perlahan menyingkirkan rasa.
Dia melambai meminta tolong.
Berteriak!
Membuat kegaduhan.
Marah!
Tapi tak ada yang datang.
Mengulurkan tangan.
Ia tak datang.
Tak mengulurkan tangan.
Dia perlahan mengabur, lenyap.
Di makan monster.
Di telan kehampaan.
Hilang.
Tak berbekas.
Ia tak datang...
*image source pinterest
![]() |
Suatu sore ketika hujan usai |
Perlahan hujan pun turun.
Tak deras, tapi cukup menyegarkan sekeliling.
Tak lama, tapi cukup mengenyahkan gerah dan peluh.
Menghadirkan kemelankolis-an tersendiri.
Dan kali ini Gadis Kecil menatapmu,
berusaha mencari tahu apa makna hujan padamu.
Apakah kau mencintainya?
Apakah kau membencinya?
Dia bertanya-tanya,
mengapa di saat ini, di saat umur mu bertambah setahun,
ada mendung di pelupuk matamu?
Yang menggenang dan tak lama menjadi hujan.
Adakah kau menangisi yang telah lalu?
Yang tak mungkin akan pernah bisa kau ubah.
Ataukah itu tangis haru?
Karena kau diberi kesempatan untuk merasakan usia ini.
Sebuah ucapan syukur pada kehidupan.
Pada Sang Pemberi Kehidupan.
Selamat ulang tahun untukmu.
Tidakkah kau lihat tanaman yang berseri selepas hujan di sore hari ini?
Seperti kelegaan yang hadir ketika tangis mengering.
Nb: Selamat ulang tahun Kak Iffah ^^ Semoga segala kebaikan menyertaimu dan mimpi-mimpi mu terwujud =*
Seperti apa rupa Senja?
Ketika ia menanti Fajar yang melenyapkannya, membuatnya tiada.
Ketika ia merindukan yang tidak akan pernah ia temui?
Mungkinkah ia, saat perlahan tenggelam di batas cakrawala,
memerahkan langit dengan duka dan sedihnya?
Dalam diam mengetahui dan mengerti bahwa sejatinya tidak akan pernah bersua dengan Fajar.
Hingga akhir dunia?
Atau akhir segalanya?
Tapi, bukankah manusia-manusia itu memuja dukanya?!!
Menjadikannya inspirasi,
menjadikannya puisi,
mengabadikannya dalam selembar foto, mungkin juga lukisan.
Yang berkisah tentang senja yang sekejap, namun abadi.
Dan ketika Fajar muncul, menyingkap bayang-bayang kegelapan,
adakah ia menemukan jejak senja di ujung cakrawala sana?
Ataukah sekedar tahu, bahwa di sudut sana ada sesosok Senja?
Mungkinkah ia merindu da memimpikan Senja sepertinya?
Ataukah ia tidak cukup peduli?
Bukankah ia terlalu sibuk menerima pujaan manusia-manusia itu?
Lalu buat apa memikirkan apalagi merindukan yang tidak akan pernah ia temui?
Ketika ia menanti Fajar yang melenyapkannya, membuatnya tiada.
Ketika ia merindukan yang tidak akan pernah ia temui?
Mungkinkah ia, saat perlahan tenggelam di batas cakrawala,
memerahkan langit dengan duka dan sedihnya?
Dalam diam mengetahui dan mengerti bahwa sejatinya tidak akan pernah bersua dengan Fajar.
Hingga akhir dunia?
Atau akhir segalanya?
Tapi, bukankah manusia-manusia itu memuja dukanya?!!
Menjadikannya inspirasi,
menjadikannya puisi,
mengabadikannya dalam selembar foto, mungkin juga lukisan.
Yang berkisah tentang senja yang sekejap, namun abadi.
Dan ketika Fajar muncul, menyingkap bayang-bayang kegelapan,
adakah ia menemukan jejak senja di ujung cakrawala sana?
Ataukah sekedar tahu, bahwa di sudut sana ada sesosok Senja?
Mungkinkah ia merindu da memimpikan Senja sepertinya?
Ataukah ia tidak cukup peduli?
Bukankah ia terlalu sibuk menerima pujaan manusia-manusia itu?
Lalu buat apa memikirkan apalagi merindukan yang tidak akan pernah ia temui?
_Makassar 23 September 2013
Ditulis saat rehat sejenak dari menyulam dan mengikuti #puisisenja di grup Klub Buku Indonesia
Ada sebuah kisah
yang ingin disampaikan oleh angin yang berhembus di sore hari ini.
Ketika hembusannya memaksa pepohonan menari mengikuti iramanya,
membuat riak air di danau,
dan bermain bersama burung-burung yang berterbangan riang, berkicau dan bercanda.
Ada sebuah kisah yang ia bawa.
Tentang seorang Gadis Kecil
dengan baju shocking pinknya
dan sebuah buku dan pulpen di pangkuannya.
_Jakarta, Rabu 23 Mei 2012, 4.40pm
Danau UI
Mari kuperkenalkan dengannya...
Sehari-hari ia bangun dengan sebuah kekosongan di dadanya. Ada lubang besar di sana. Menganga hitam meminta makan.
Setiap hari pula ia keluar rumah dengan satu tekad; mengisi kekosongan itu!
Di menebar senyum sebatas mulut dan keramahan sebatas ucapan di mana-mana.
Di setiap sudut yang ia jumpai,
di setiap kelokan,
dan di setiap jalan yang ia lalui.
Ia tak malu mengemis,
memungut,
merampas,
menjarah dan merampok,
demi rasa puas dan dada yang tersumpal.
Dan setiap malam ia akan pulang dengan puas.
Lubangnya tertutup.
Satu hari telah ia lalui lagi.
Tapi seperti menampung air di ember yang bocor,
perlahan dada itu kembali berlubang.
Semakin besar dan besar,
hingga ketika ia bangun keesokan harinya,
ia akan mengulang sebuah pola yang persis sama.
Mari ku perkenalkan kau dengannya,
manusia pengumpul cinta....
Sehari-hari ia bangun dengan sebuah kekosongan di dadanya. Ada lubang besar di sana. Menganga hitam meminta makan.
Setiap hari pula ia keluar rumah dengan satu tekad; mengisi kekosongan itu!
Di menebar senyum sebatas mulut dan keramahan sebatas ucapan di mana-mana.
Di setiap sudut yang ia jumpai,
di setiap kelokan,
dan di setiap jalan yang ia lalui.
Ia tak malu mengemis,
memungut,
merampas,
menjarah dan merampok,
demi rasa puas dan dada yang tersumpal.
Dan setiap malam ia akan pulang dengan puas.
Lubangnya tertutup.
Satu hari telah ia lalui lagi.
Tapi seperti menampung air di ember yang bocor,
perlahan dada itu kembali berlubang.
Semakin besar dan besar,
hingga ketika ia bangun keesokan harinya,
ia akan mengulang sebuah pola yang persis sama.
Mari ku perkenalkan kau dengannya,
manusia pengumpul cinta....
Makassar, Rabu 20 Februari 2013
1.49am
Apa kabar Gadis Kecil?
Masihkah kau duduk di depan jendela?
Memandangi hujan yang berjatuhan laksana tirai permata,
atau lalu-lalang manusia yang tiada henti di luar sana.
Keluarlah...
Mari kita terbang menembus awan gelap yang akhir-akhir ini bergelayut manja di atas sana.
Terbang
dan terus terbang...
Telah kubangunkan kau sebuah negeri di atas awan.
Sebuah negeri yang damai dan tenang.
Tempat di mana kita bisa menyepi dan menikmati diri.
Melakukan hal-hal yang kita inginkan dan sukai.
Tanpa ada yang akan melarang...
Tiada agama,
tiada hukum,
tiada nilai,
dan tiada norma yang akan mengekang dan mengatur kita.
Kita bebas!
dalam artian yang sebenar-benarnya.
Telah kupadatkan lautan awan,
dan kubangunkan kastil putih nan megah..
tempat di mana kita bisa lari dan bersembunyi
menjauh dari dunia
yang dari hari ke hari semakin kejam.
_ 15 Januari 2013, di atas pesawat menuju Samarinda
Ahh gadis kecil, kutemukan lagi kau di balik jendela.
Menatap hampa dikejauhan.
Tubuhmu di sana.
Jiwamu tidak.
Kau sekali lagi kabur.
Ke tempat yang kau ciptakan sendiri.
Apakah kau ingin menyaingi Tuhan?
Apakah kau ingin menjadi Tuhan?
Tuhan di dunia yang kau ciptakan.
Tempat di mana kau lari.
Menyusun kisahmu sendiri...
Ada setitik kisah rindu di sini.
Sebuah rindu yang tak tersampaikan,
yang tidak memiliki tempat untuk berlabuh.
Pemiliknya kehilangan arah, kehilangan tujuan.
Kemanakah ia akan melangkah?
Ketika semuanya tidak lagi berarti~
_Makassar, 18 Agustus 2012
Malam~ Desau angin membisikkan rindu.
Rindu yang turut terbawa angin dari tempat-tempat yang lalu. Dingin pun menggigilkan tubuh, menelusup hingga ke hati. Membekukannya.
Dia datang~
Memeluk dalam ketidaktahuannya.
Membanjiri hati dengan rasa sayang.
Hati yang sayangnya telah membeku. Telah mengeras serupa batu. Hitam, sehitam jelaga.
Dia melantunkan nada cinta~
yang memantul pada ruang-ruang hampa jiwa~
_Dini hari mendekati sahur, 31 Juli 2012
Rindu yang turut terbawa angin dari tempat-tempat yang lalu. Dingin pun menggigilkan tubuh, menelusup hingga ke hati. Membekukannya.
Dia datang~
Memeluk dalam ketidaktahuannya.
Membanjiri hati dengan rasa sayang.
Hati yang sayangnya telah membeku. Telah mengeras serupa batu. Hitam, sehitam jelaga.
Dia melantunkan nada cinta~
yang memantul pada ruang-ruang hampa jiwa~
_Dini hari mendekati sahur, 31 Juli 2012