Menurut BabyCenter, kebanyakan balita belajar keterampilan yang dibutuhkan untuk toilet training berkisar diusia 18 bulan hingga 3 tahun. Karena setiap anak itu unik dan memiliki keterampilan yang berbeda-beda, maka kita sebagai orangtuanya tidak perlu tergesa-gesa dan terlalu memaksakan proses ini, apalagi sampai membandingkan anak kita dengan anak yang lain. Anak kita mungkin saja bisa lebih cepat atau lebih lambat untuk memulai toilet training, memang dibutuhkan kesabaran dan kesiapan yang lebih besar di diri kita sebagai ibunya. Yiah... menurutku sih proses ini tak perlulah sampai membuat kita stress. Setuju gak Bunda?
Karena itu, Ghaza sendiri baru kuajarkan toilet training saat usianya telah genap 2 tahun 1 bulan. Di hari ulang tahunnya itu selain menyelamatinya dan mendoakannya, dia juga kuajak bicara. Hahahaha... kok kesannya jadi kaku begini ya? Jadi gini... aku memberi tahunya bahwa kini dia sudah bukan anak bayi lagi, dia tidak lagi menyusui dan mulai belajar untuk pipis dan pup sendiri. Selain itu, ekspresi yang Ghaza buat saat ingin BAB dan BAK sudah kukenali, sehingga jika dia memperlihatkan ekspresi itu, aku pun langsung mengajaknya ke toilet, karena itu aku merasa dia telah siap untuk belajar menggunakan toilet dan melepaskan popoknya. Setelah proses menyapih selesai, aku pun mulai mengajarkannya toilet training.
Baca juga: Menyapih Ghaza
Sebenarnya untuk mengetahui apakah seorang anak telah siap untuk toilet training atau tidak, bisa kita lihat dengan memperhatikan kesiapan fisik dan emosionalnya. Tanda-tanda seorang anak telah siap secara fisik sendiri jarang terjadi sebelum anak mencapai usia 1 tahun 6 bulan, ada pun tanda-tandanya;
- Tidak BAB di popok saat malam hari
- Popok kering setelah bangun tidur atau 2 jam setelah pemakaian
- Anak kita memperlihatkan ekspresi saat menahan BAK dan BAB
- Anak kita telah mampu melepaskan dan memakai sendiri pakaiannya dan telah mampu berkomunikasi dengan kita tentang penggunaan toilet.
Sedangkan untuk kesiapan emosional, seorang anak membutuhkan waktu yang lebih lama...
- Anak sudah bisa memberitahu bahwa popoknya kotor dan minta digantikan
- Lebih memilih menggunakan celana dalam dibandingkan popok
- Menunjukkan ketertarikkan ketika kita menggunakan kamar mandi
- Memberitahukan kita ketika ingin buang air
- Terlihat bersemangat belajar proses toilet training
Bagaimana aku dan Ghaza melalui masa Toilet Training
Sebagai permulaan, di siang hari itu, Ghaza tidak lagi kupakaikan popok. Nanti saat tidur malam hari atau pun saat bepergian, baru ia memakai popok. Hari pertama itu dia beberapa kali mengompol di celana ketika aku sedang melakukan hal lain sehingga tidak memperhatikan tingkahnya. Di hari kedua meskipun masih beberapa kali mengompol, tapi dia sudah bisa memberitahuku jika ingin berkemih. Meskipun seringnya dia memberitahu di saat sudah tak tahan lagi, sehingga tetap saja mengompol sebelum mencapai kamar mandi. Di awal memulai proses ini kita memang dituntut untuk sabar, maka dari itu menurutku dibandingkan kesiapan anak kita, kesiapan kita untuk memulai toilet training harus diutamakan, tapi tidak juga menjadi alasan untuk kita bermalas-malasan hingga perkembangan anak sendiri terlambat.
Sejujurnya dibandingkan BAK aku lebih kesulitan mengajarkan Ghaza untuk BAB di toilet. Hampir sebulan dia BAB di lantai kamar mandi karena menolak menggunakan toilet, itu berarti meskipun tidak mengotori celananya, aku harus mengangkat kotorannya lalu membersihkan lantai kamar mandi. Proses memintanya duduk di toilet ini juga sangat menguras kesabaranku, sampai aku pernah lepas kendali dan memaksanya duduk di toilet meskipun dia meronta-ronta dan menangis. Dan apakah berhasil? Tidak, tentu saja. Dia malah menahan jika ingin BAB yang berakibat kotorannya menjadi keras dan ia kesakitan saat BAB. Kadang juga dia malah pergi bersembunyi dan BAB di celananya. Kesel dong tapi kuakui ini karena kesalahanku sendiri yang tidak sabaran. Di situasi seperti ini, membacakannya buku atau menonton video kartun anak yang berkaitan sangat membantuku membujuknya untuk mencoba duduk di toilet. Kami juga mencontohkannya bagaimana menggunakan toilet tersebut... dan ya lama kelamaan dia pun bisa menggunakan toilet.
Setelah itu dia sendiri yang menolak menggunakan popok saat tidur di malam hari dan bepergian, alasannya banyak mulai dari gatal, panas, hingga dia sudah kakak-kakak tidak lagi memakai popok. Karena dia yang menolak sendiri dan setiap malam sebelum tidur juga kami biasakan untuk BAK terlebih dahulu, akhirnya dia tidak pernah lagi memakai popok. Alhamdulillah uang popok tiap bulan bisa dipakai untuk hal lain hehehe... Sempat sih beberapa kali mengompol juga di tempat tidur, tapi aku sendiri sudah mengantisipasinya dengan melapisi seprai dengan seprai anti-air. Jadi saat ia mengompol tinggal mengganti seprainya saja, kasur tak perlu dicuci. Hingga sekarang di usianya yang sudah 4 tahun ini, dia cuma sekali mengompol saat bepergian, tepatnya di parkiran rumah sakit. Sepertinya dia ngeri ketemu dokter dan memilih menahan pipisnya sampai ke luar rumah sakit. Untungnya lagi ngompolnya di parkiran jadi bunda gak perlu mengepel lantai rumah sakit, hehehe...
Sekarang sih jika ingin BAK, Ghaza sudah bisa sendiri. Masuk ke kamar mandi, melepaskan celana, berkemih, membasuh dan menyiram pipisnya lalu mencuci tangan dan ke luar dan memakai kembali celananya. Untuk BAB, dia masih memerlukan bantuanku untuk membersihkannya, selebihnya dia lakukan sendiri.
Dari pengalaman kami ini, aku menyimpulkan apa saja yang perlu dipersiapkan saat akan memulai toilet training:
- Mempersiapkan hati dan stok kesabaran yang banyak.
- Memahami kalau setiap proses belajar memerlukan waktu, tak mungkin langsung bisa.
- Konsisten. Saat memutuskan untuk memulai, jangan menyerah karena terasa terlalu merepotkan.
- Celana dalam karakter kartun yang disukai anak.
- Seprai anti-air.
Hmmm... apa lagi ya? Bunda yang sudah melawati masa toilet training ada tips lainnya yang mau dibagi? Boleh banget loh di share di kolom komentar. Dan sekian cerita untuk toilet training, semoga membantu 😊