Hari
terakhir puasa, setelah melepas Pai ke kantor, saya (seperti biasa) menyiram
rumput serta pohon jeruk dan lengkuas yang ada di taman depan rumah. Saat
itulah saya menemukan sebuah kepompong di ranting pohon jeruk. Mengamatinya
lebih dekat, saya mendapati kepompong itu mulai terbelah dan seperti sihir
pelan-pelan seekor kupu-kupu hitam (saya tak tahu jenisnya) mulai keluar
menampakkan diri. Tentu saja saya terpesona. Rasanya mungkin sama seperti
menyaksikan kelahiran seorang anak. Ajaib, luar biasa, sekaligus mengerikan.
Sabtu
malam, rumah kebanjiran lagi. Ini sudah tiga kali semenjak saya pindah ke rumah
ini, dua banjir sebelumnya terjadi di
bulan Januari. Dulu, sewaktu kecil saat masih tinggal di Hertasning, hingga
kelas dua SD, saya sering merasakan banjir. Setelah itu karena dibangunnya got
besar di luar kompleks, banjir tak pernah terjadi lagi, setidaknya hingga saya
pindah dari rumah itu. Di rumah-rumah lainnya yang pernah saya tinggali tak
pernah kebanjiran. Karena hal itu pengalaman tiga kali kebanjiran di rumah ini
cukup membuat syok dan badan pegel-pegel karena kerja bakti membersihkan rumah.
![]() |
Gambar diambil di sini |
Lucunya,
ketiga banjir itu “datang” ketika malam, saat-saat dimana kami sudah masuk ke
kamar masing-masing. Bayangkan hebohnya ketika salah satu dari kami keluar
kamar dan mendapati air yang perlahan-lahan masuk, teriakan lalu grasa-grusu
mengangkat barang-barang yang perlu diselamatkan. Saat pertama merasakan
banjir, keesokan paginya aku masih melongo, belum tahu harus membantu
bagaimana, sehingga aku lebih banyak hanya menonton dan menjaga keponakanku.
Setelah keponakanku tertidur, barulah saya ikut membatu, walaupun yaaa…
pekerjaan tinggal sedikit.
Saat
itu saya langsung terkenang sewaktu kecil ketika banjir datang. Saya yang kecil
sangat menyukai banjir, banjir berarti tidak perlu ke sekolah, banjir berarti
saya memiliki sungai di depan rumah (di dalam rumah air hanya semata kaki),
banjir berarti saya puas bermain air, dan banjir berarti saya bersama
teman-teman akan menangkap banyak ikan. Dan ya, setiap banjir saya akan ke luar
rumah, berkumpul bersama teman-teman dan bermain air juga maccala’ ikan
(menagkap ikan dengan tangan). Sore hari, dengan bangga saya akan pulang ke
rumah memamerkan ikan hasil tangkapanku, ada ikan gabus yang berwarna abu-abu
suram dan tak jarang bermacam-macam ikan bitte’ (ikan cupang) berwarna merah
dan biru. Setelah mendapatkan pujian, saya akan segera dimandikan dengan detol
serta badan di gosok dengan sabun, setelah itu tubuh saya diberi bedak dan
minyak kayu putih. Di meja telah tersedia pisang goreng dan teh hangat. Sungguh
menyenangkan sewaktu kecil.
Banjir
kedua datang dua hari kemudian. Barang-barang yang ditumpuk telah diletakkan
kembali di tempatnya semula, sehingga kami mengulangi lagi proses menyelamatkan
barang malam itu. Setelahnya barang-barang itu tidak lagi diturunkan, dibiarkan
saja menumpuk seperti itu hingga kami pindah rumah lagi (rumah baru sedang
dalam proses pengerjaan). Sambil mengangkat barang, Pai mengomel, dia memang
sudah mewanti-wanti untuk tidak menurunkan dulu barang-barang, musim hujan
masih panjang. Tapi ya apa boleh buat…
Paginya
saya turut serta membantu membersihkan rumah. Jadi anak kecil itu memang enak
ya… meskipun tetap diberi tugas sewaktu kecil, semuanya terasa mengasikkan.
Anak kecil tidak akan mengambil pusing genangan air yang kotor serta kuman dan
bakteri apa saja yang terkandung di dalam air itu. Selama itu bermain air,
mereka akan senang. Mereka tidaka akan memusingkan kaki yang akan gatal-gatal
setelah ini, mereka hanya merasakan kegairahan, keseruan dan pengalaman yang
jarang-jarang terjadi. Yahhh setidaknya dulu aku merasakan seperti itu. Bertumbuh
membuat ku banyak berubah, banyak kehilangan hal-hal yang bisa membuatku bahagia.
Dan banjir ketiga ini…
Hujan
baru turun saat malam, siang hingga sore matahari bersinar terik. Got depan
rumah dari sebulan lalu telah dibersikan. Aku sempat turun ke bawah sikat gigi
dan tak lama kemudian terdengar kasak-kusuk di bawah. Kepo, saya pun turun dan
amazing, air sudah sampai tumit dan mengalir deras seperti aliran sungai.
Airnya juga sangat dingin. Karpet, cars laptop, dan satu laptop basah. Hujan
malah tidak begitu deras turunnya, tapi air terus masuk, terus meninggi.
Paginya…
inilah keadaan rumah paling kotor dibandingkan dua banjir sebelumnya. Ditambah
hanya ada kami bertiga yang membersihkan rumah, para perempuan kece tanpa
lelaki… Aku tidak sempat lagi menghayal kemana-mana. Fokus membersihkan. Setelah
itu makan, mandi lalu tidur. Badan seperti habis diinjak-injak gajah. Semuanya
langsung berdoa semoga rumah baru cepat selesai dan kami bisa segera pindah.
Sekian.
Kepahlawanan adalah perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan)
Bagiku dia salah satu
perempuan tercantik di dunia. Tubuhnya yang mungil, rambutnya yang panjang
bergelombang, senyumnya yang lebar menampakkan deretan gigi yang putih, dan
kulitnya yang berwarna kuning langsat menarik perhatian siapa saja; orang
dewasa maupun anak-anak, lelaki maupun perempuan. Dalam hati, aku selalu
berharap suatu hari kelak bisa secantik dirinya.
Selayaknya perempuan
lainnya, dia sangat suka bersolek. Melakukan perawatan tubuh ini dan itu dan
setiap pagi meminum jamu buatan langganannya. Aku dan kakakku pun tak luput
dari itu. Sedari kecil rambut kami terbiasa diolesi minyak kemiri atau minyak
kelapa yang dia buat sendiri. Kulit kepala kami dipijat-pijatnya lembut dan
minyak itu dibalurkannya dari kulit kepala hingga ujung rambut. Kadang juga dia
akan memetik lidah buaya yang ia tanam sendiri dan menggosok-gosokkannya di
kepala kami sebelum mandi. Jika dia melakukan itu, aku akan protes keras dan
berusaha lari. Aku sangat tidak menyukai bau tanaman itu, sakkulu’(bau ketek),
membuatku ingin muntah. Tapi dia yang telah mengetahui gelagatku, telah
terlebih dahulu mengunciku dalam pelukannya dan membuatku tak bisa kemana-mana.
Itu baru rambut, belum badan kami yang setiap minggu akan dilulur dengan lulur
racikannya atau pun lulur yang dibeli di toko. Tak bisa kusangkal dari dialah,
aku belajar merawat dan menghargai tubuhku sendiri. Katanya, dengan merawat
tubuh, kita mensyukuri dan menjaga pemberian Tuhan.
Lucunya, meski pun
sangat suka bersolek dan menerapkan hal tersebut kepada kami, dia tidak pernah
melarangku bermain-main sepuasnya di bawah terik sinar matahari, bermain hujan,
turun kerawa-rawa menangkap ikan, memanjat pohon, dan bermain air ketika
banjir. Dia merasa meskipun merawat tubuh penting, bertualang dan memuaskan
rasa ingin tahuku pun penting. Dan ya memang, dia jarang melarangku melakukan
apa pun yang aku inginkan. Dia menemaniku dan membiarkanku merasakan resiko
dari semua keinginanku, baru setelah itulah kami duduk berbincang tentang benar
dan salahnya. Salah satu kebiasaan bersamanya yang sangat kurindukan saat ini.
Dari mata seorang anak
kecil saat itu, dialah ibu terhebat sedunia!!!
Telinga yang selalu ada
untuk mendengar ocehanku, tawaku, keluhan dan curhatanku, bahkan tangisku.
Lengan yang selalu memelukku jika dibutuhkan. Mata yang selalu awas
mengawasiku. Dan kehadirannya yang selalu membuatku merasa aman.
Ah ya, jika kalian
belum menebak, perempuan yang sedang kuceritakan ini adalah ibuku. Aku
memanggilnya Andi’ (untuk seterusnya aku akan menggunakan sapaan ini). Mungkin
bagi semua orang, ibu adalah sosok pahlawan pertama yang ia kenal dan sangat
berjasa dalam hidupnya. Begitu pun bagiku. Andi’ adalah pahlawan untukku. Seorang
perempuan yang melahirkanku dengan susah payah hingga hampir saja membuatnya
meregang nyawa.
Aku yang mendengar dari
tante maupun sepupuku tentang bagaimana proses kelahiranku berlangsung pun
bergidik ngeri. Diceritakan oleh mereka bagaimana Andi’ harus mengejan begitu
lama karena aku yang menolak keluar padahal air ketuban sudah pecah. Bagaimana
tenaga Andi’ terkuras habis dan aku tetap ngotot belum mau keluar sehingga
suster harus naik ke perutnya dan membantunya mendorongku keluar. Tentang
sumpah yang keluar dari mulut Andi’ untuk tidak mau lagi melahirkan. Hingga
kepanikan ketika aku tidak juga mau menangis saat telah lahir hingga Andi’
menyangka aku telah tiada... Anehnya kisah ini tidak pernah sekali pun kudengar
dari mulut Andi’. Dan mengapa aku tidak menanyakannya? Entahlah... mungkin aku
berfikir masih banyak waktu untuk itu. Hal ini dan pertanyaan apakah ia pernah
merasa menyesal melahirkanku dan pertanyaan-pertanyaan sesederhana apakah dia
mencintaiku, menjadi hal-hal yang tidak lagi bisa kutanyakan padanya.
Kehebohan saat
melahirkanku ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Aku menjadi bayi yang
sakit-sakitan-- yang tentunya memberikan kerepotan dua kali lipat dibandingkan
bayi yang sehat -- dan berujung saat usiaku genap empat bulan, aku tiba-tiba
saja berhenti bernapas dan badanku membiru. Aku pun dibawa kerumah sakit... Tidak
berapa lama kemudian, dokter menyatakan aku meninggal. Bayangkan jika kau
seorang ibu dan bayi yang baru empat bulan lalu kau lahirkan dengan susah payah
meninggal... bagaimana perasaanmu?!! Andi’ bercerita bahwa saat itu dia
langsung pingsan. Lalu terjaga dengan histeris dan melibatkan banyak air mata.
Syukurlah aku kembali, hidup sekali lagi (jangan tanya bagaimana rasanya mati
itu, perihal ini saja aku tahu karena diceritakan).
Abaku (ayahku) mengidap
penyakit diabetes. Diabetes Aba sudah parah, sehingga setiap mau makan harus
disuntik insulin terlebih dahulu. Akan sangat merepotkan jika setiap mau makan
Aba harus ke dokter untuk disuntik sedangkan
untuk mempekerjakan suster di rumah akan menghabiskan terlalu banyak uang. Maka
Andi’ belajar menyuntik pada suster di rumah sakit tempat Abaku pernah dirawat.
Dengan cepat Andi’ sudah ahli melakukannya, bahkan Aba merasa cara Andi’
menyuntik tidak ada rasanya, tau-tau insulin itu sudah mengalir di pembuluh darahnya.
Belum lagi tumit Aba yang bolong karena luka penderita diabetes sangat susah
sembuh sehingga membusuk, harus dibersihkan tiap malam. Dengan telaten Andi’
membersihkannya, membasuhnya dengan air infus, memberinya obat merah kemudian
ia perban dengan rapi. Mengontrol makan Aba dan mengecek kadar gula darahnya
juga dilakukan Andi’ dengan seksama.
Ketika kondisi Aba
semakin menurun dan hanya bisa berbaring saja di ranjang, Andi’ selalu ada di sisinya,
merawatnya dengan sabar. Padahal tak jarang, Abaku karena stres tidak bisa
melakukan apa-apa, bahkan untuk buang air kecil harus dengan bantuan orang lain
dan menggunakan pispot, ia menjadi sering marah-marah dan super duper manja.
Andi’ tetap merawat Aba dengan penuh cinta dan tetap tidak lupa memperhatikan
kebutuhanku dan kakakku. Sehingga saat itu kami tidak merasa diabaikan.
Lalu saat Aba’
meninggal, dia menghadapinya dengan kuat-- untuk kami -- dan menjadi orangtua
tunggal yang luar biasa. Saat-saat itu adalah saat dimana kami (Andi’ dan aku)
menjadi sangat dekat. Sebelumnya, aku adalah putri kecil Aba. Meskipun dekat
dengan Andi’, aku jauh lebih dekat dengan Aba sewaktu kecil. Banyak hal mengasyikkan
yang kulakukan dengan Aba, sementara Andi’ berperan mengajarkan kedisiplinan
kepadaku. Kehilangan Aba, meskipun berat, tapi karena ada Andi’ membuatku bisa
menghadapinya. Sebentara kakakku, saat masuk SMP telah tinggal di rumah tante,
sehingga sepeninggalan Aba, di rumah hanya ada kami berdua. Untuk membunuh
waktu kami menonton TV bersama hingga larut malam, hal yang biasanya kulakuan
berdua dengan Aba. Kadang kami bermain kartu atau pun menggambar bersama. Andi’
sebenarnya tidak pintar menggambar, satu-satunya gambarnya yang bagus adalah
gambar bunga matahari. Pernah, dia menggambar di atas selembar karton bekas
lalu mengguntingya dan menyatukannya kembali sedemikian rupa, sehingga bunga
matahari yang ia gambar itu tegak berdiri. Sangat cantik. Aku memajang
gambarnya itu di atas meja belajarku, bahkan membawanya ke sekolah untuk
kupamerkan pada teman-temanku.
Salah satu ritual kami bersama
adalah tak pernah absen, setiap minggu sekali, mengunjungi kuburan Aba’ sambil
membawa air dan kembang warna-warni yang dipetik sendiri dari taman Andi’.
Bunga-bunga yang dulu Aba belikan untuk Andi’ yang dirawatnya hingga beranak
pinak. Aku senang Andi’ tidak melupakan Aba dan tidak mencari penggantinya.
Padahal jika mau, banyak lelaki yang ingin menjadi suami Andi’. Mungkin bagi
Andi’ posisi Aba tidak tergantikan atau mungkin karena aku, yang digoda sedikit
saja oleh orang-orang perihal ayah baru langsung menangis terisak-isak.
Saat masuk SMP, seringnya
aku sampai di rumah saat hampir mendekati maghrib, itu karena anak kelas satu di
sekolahku masuk siang dan pulang jam lima sore, sementara memang jarak rumah
dan sekolahku terbilang jauh. Ada saat-saat dimana azan maghrib sudah lama
berkumandang baru aku tiba di rumah. Aku sering mendapati Andi’ dengan gelisah
menungguiku di ujung jalan kompleks rumah. Saat melihatnya itu aku dipenuhi
perasaan haru dan sukacita, aku akan berlari mendekatinya, dan dia, setelah melihatku
baik-baik saja, terlihat begitu lega dan menghadiai-ku senyumnya yang lebar
merekah. Dan kami pun bersama-sama berjalan menuju rumah.
Andi’ sakit. Kabar itu
kuketahui ketika sedang mengikuti JUMBARA Daerah (Jumpa Bakti dan Gembira
tingkat daerah, acara PMR) di Soppeng. Aku yang menelpon Ibu (panggilanku untuk
tanteku, saudari bungsu Aba) diberitahukan perihal itu. “Ohhh” itulah
tanggapanku saat itu. Aku merasa Andi’ku yang kuat yang tidak pernah sakit,
palingan hanya flu biasa saja. Lagian saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk
merasa khawatir, aku sedang dalam perlombaan.
Setiba di Makassar dan
mengetahui bahwa Andi’ mengidap kangker payudara bahkan tidak membuatku terlalu
khawatir. Andi’ku kuat, buktinya tidak ada yang berubah pada dirinya. Dia tetap
sama saja seperti biasanya. Ceria, murah senyum, ramah, dan senang tertawa hahaha-hihihi
bersamaku.
Saat saudara-saudaranya
mengetahui penyakit yang diderita Andi’, mereka menginginkan Andi’ segera
berobat ke Jakarta. Maka Andi’ pun berangkat ke Jakarta dan aku tinggal bersama
nenek beserta tante, om dan sepupuku dari pihak Aba. Masa-masa hanya kami
berdua pun berakhir. Aku sangat merindukannya dan pubersitasku memperburuk
segalanya. Setiap liburan sekolah aku memang selalu mengunjunginya di Jakarta,
hal itu mengobati kangenku, tapi melihat keadaanya yang menjalani kemoterapi membuatku
terguncang. Pipinya menjadi tirus, kulitnya menjadi keriput dan kehitaman, rambut
hitamnya yang indah rontok parah, meninggalkan pitak-pitak besar yang
menyeramkan. Ia pun lalu mencukur habis rambutnya dan sambil tersenyum kepadaku
berkata toh rambutnya akan tumbuh kembali setelah kemoterapi ini selesai.
Ada beberapa kali saat
Andi’ tiba-tiba anfal. Hal itu membuatku ketakutan, sangat ketakutan. Meskipun
ini bukan pengalaman baru bagiku, Aba juga sering tiba-tiba anfal, tapi dulu
ada Andi’ ku yang kuat, sebagai tempatku berpegangan. Kini, aku serasa
kehilangan pijakan, tak tahu harus bagaimana. Saat-saat itu aku hanya menangis
dan terus menangis sambil bermohon pada Tuhan untuk tidak mengambil Andi’ku.
Bukankah dia sudah mengambil Abaku?!!
Setelah enam bulan (aku
lupa persisnya berapa lama, bagiku terasa sangat lama), Andi’ku akhirnya
kembali ke Makassar. Operasinya berhasil, meskipun ia kini kehilangan sebelah
payudaranya. Kami tinggal bersama lagi, juga dengan kakakku. Hidup kembali
seperti sedia kala lagi bagiku. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama.
Lama kelamaan Andi’ku
melemah. Ia sering meracau tentang orang-orang yang sudah meninggal juga tentang
hidupnya yang tidak lama lagi. Aku membenci saat-saat itu! Aku tidak suka Andi’ku
saat itu. Anggapanku dia menyerah pada hidupnya!!! Dan aku tidak suka dia
membuatku sedih dengan berbagai ceramahnya jika dia sudah tidak ada lagi. Aku tak
pernah mendengarkan apapun perkataannya dan memilih menjauh, mengunci diri
dalam kamar. Beberapa hal yang kini sangat kusesalkan.
Lalu Andi’ berangkat
lagi ke Jakarta untuk melakukan pengecekan atas penyakitnya. Aku merasa sangat
lega saat itu. Aku sudah sangat tidak tahan berada di dekatnya. Rasanya
menyesakkan dan menyedihkan. Andi’ku yang cantik, yang kuat, yang setiap
melihatnya membuatku merasa aman, kini tak ada lagi. Ia terlihat menyedihkan.
Aku melepasnya di bandara dengan perasaan lega. Aku tidak pernah berpikir itu
saat terakhirku melihatnya. Aku meyakini, Andi’ akan kembali ke Makassar.
Terlebih lagi aku yakin ia akan kembali dengan sosoknya yang seperti dahulu,
seperti sebelum penyakit itu menggerogotinya.
Aku ingat hari itu hari
senin, setelah libur lebaran kini waktunya kembali bersekolah. Aku duduk di
kelas tiga SMP, telah berpakaian rapi dan siap berangkat ke sekolah waktu
telpon rumah berdering. Aku pun mengangkatnya. Dari om ku, setelah tahu yang
mengangkat telpon itu aku, dia mencari kakakku. Aku pun membangunkan kakakku,
tanpa perasaan curiga sama sekali. Kakakku berbicara di telpon lalu kemudian
menangis sedih. Memilukan. Aku segera tahu apa yang terjadi. Dan turut
menangis. Karena apa lagi yang bisa kulakukan?
Setelah itu, setelah
lelah menangis, setelah selesai pemakaman, takziah, dan segala sesuatunya
hingga aku harus kembali menjalani hidupku. Aku pun merasa marah! Marah pada
segala sesuatunya, Tuhan, Aba dan terutama pada Andi’ku. Dia tidak cukup sayang
padaku untuk tetap bertahan. Dia pergi begitu saja karena tidak bisa lagi
menahan rindu pada Aba!!! Bukankah dulu Andi’ sering menangis diam-diam ketika
dia mengira aku telah tertidur pulas, menangisi kepergian Aba? Jadi dia
menyerah pada hidupnya, demi bertemu Aba!
Lama waktu yang
kubutuhkan untuk berdamai dengan kepergian Andi’ dan menyadari rasa sayang dan
cintanya kepadaku. Juga hal-hal yang ia lakukan untuk kami, pengorbanannya
hingga kami bisa seperti ini. Andi’ memang tak bisa menemani kami tapi hal-hal
yang ia ajarankan dulu, prilakunya sehari-hari dan caranya bersikap pada
orang-orang dan menyikapi jalan hidupnya menjadi contoh buat kami, terutama
untukku.
Aku pun selalu merasa
beruntung memiliki Ibu seperti Andi’.
Menurut KBBI, “Pahlawan adalah orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah
berani”. Mungkin Andi’ bukan sosok pembela kebenaran, ia hanya perempuan
biasa yang kebetulan menjadi ibuku. Selayaknya seorang ibu, dia akan berkorban
banyak untuk anaknya, dimulai dari saat mengandung hingga akhir hayatnya...
Selamat ulang tahun
yang ke-14 ^^
Apakah kau bahagia?
Apa rencanamu untuk
ulang tahunmu kali ini? Mungkin meneraktir beberapa temanmu makan di Bakso
Pantai Indah? Ya... kurasa kau akan melakukan hal tersebut, seperti dua tahun
belakangan. Meneraktir beberapa teman sembari menikmati ucapan selamat dan
beberapa hadiah ulang tahun. Selalu menyenangkan merayakan ulang tahun,
merayakan telah bertambah satu tahun lagi umurmu. Kau segera akan lulus SMP dan
masuk SMA. Kau akan menjadi dewasa. Hal yang sama sekali tidak kumengerti,
mengapa kamu sangat antusias tentang hal tersebut.
Saat ini kau pun sedang
gencar-gencarnya merancang mimpi-mimpimu bukan? Menuliskan sepuluh tahun
kedepan akan seperti apa kau, hal-hal apa yang ingin kau raih, tempat-tempat
apa yang ingin kau datangai. Kau bahkan menuliskan to do list mulai dari
setahun, tiga tahun, lima tahun, delapan tahun, hingga sepuluh tahun hal-hal
yang ingin kau capai, mimpi-mimpi mu itu. Nikmatilah! Mimpi itu gratis,
mimpilah setinggi-tingginya, jangan takut jatuh, memang jatuh dari ketinggian
itu amat menyakitkan bahkan mungkin kau bisa mati, tapi petualangan mendaki itu
teramat sayang untuk dilewatkan, bahkan jika kamu pada akhirnya jatuh tanpa
sempat mencapai puncak, kau akan jatuh dengan perasaan puas dan menikmati
kejatuhan itu. Hey! Siapa bilang kau tak bisa menikmati jatuh? Dan hal-hal yang
terjadi setelah kau jatuh?!!! Tapi beberapa tahun kedepan kau menyadari
beberapa mimpimu berubah dan kau kehilangan ambisi untuk meraihnya. Apakah itu
buruk? Tidak juga, kau menjadi jauh lebih bahagia, tidak ada tekanan, dan
meskipun lambat perlahan-lahan kau meraihnya.
Apakah kau membaca
surat ini sambil berdiri? Jika ia, duduklah. Aku akan memberitahumu hal yang
menyedihkan. Yang akan mematahkan hatimu. Ketakutan terbesarmu, tidak akan lama
lagi terjadi. Kau sudah tahu hal itu bukan? Kau sudah diberikan pertanda yang
teramat jelas, meskipun tidak mempercayaiinya jauh membuatmu lebih bahagia saat
ini. Rasanya akan sangat menyakitkan, kuharap kau kuat dan mampu menghadapinya.
Ya memang kau akan banyak menangis, merasa marah pada dunia dan segalanya,
merasa benci pada semuanya. Tapi ketahuilah semuanya akan berlalu... semuanya
memang tidak akan menjadi baik-baik saja, tapi semuanya akan tertahankan pada
akhirnya.
Kau akan menemukan
kebahagian lain yang tidak sama dengan kebahagiaan yang teramat kau rindukan
nantinya, tapi rasanya akan sepadan. Maka dari itu jangan pernah melakukan
hal-hal gila yang terlintas di kepalamu nanti! Hal-hal gila karena kau marah
pada Sang Kekasih, hal-hal gila karena kau merasa ditinggalkan dan mereka tidak
cukup sayang padamu sehingga memilih bersama dibandingkan denganmu. Seiring
berlalunya waktu, kau akan mengerti dan memahami jika memang itulah yang
terbaik. Bahkan dari rasa sedih, amarah, cemburu, dan ketidakpercayaan yang kau
rasakan, kau belajar banyak hal dari itu semua
Berbaik-baiklah kepada
nenekmu, kasian dia sudah tua. Jangan jadiakan dia pelampiasan amarahmu,
pelampiasan masa pubermu yang cukup berantakan. Dia menyayangimu. Bersabarlah
menghadapi orang yang lebih tua, yang dewasa... mereka mencintaimu dengan
caranya sendiri.
Menagislah sepuasmu,
itu menyembuhkanmu. Meskipun keesokan paginya kau akan berakting baik-baik saja,
selalu ada malam yang panjang yang bisa menemani sepimu, mendengar segala keluh
kesahmu. Dan ada Sang Kekasih... ya meskipun kau sangat membencinya nanti,
ketahuilah Dia selalu ada untukmu, Dia punya alasan untuk semua ini, Dia tahu
yang terbaik untukmu. Dan suatu saat kau akan sangat mencintai-Nya, melebihi
cintamu kepada dirimu sendiri.
Selamat ulang tahun
Dwee
Semoga kau berbahagia
dan selalu tersenyum~
Salam sayang,
Dweedy dari sepuluh
tahun yang akan datang.
Setelah solat subuh, rasa ngantuk itu tidak tertahankan lagi. Kami pun menutup mata dan tertidur pulas... rasanya baru saja sedetik aku menutup mata, badanku diguncang-guncangkan lembut oleh dia. Dengan malas kubuka mataku dan dia berkata bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Kaget, aku langsung bangun sambil mengucapkan maaf beberapa kali. Seharusnya jam setengah tujuh aku membangunkannya atau setidaknya alarm hp kami berbunyi. Tapi ternyata, hp ku mati, sepertinya dia lupa menyetel alarm di hp-nya, dan kami sukses tertidur pulas. Jadi bagaimana? Hari ini dia akan membolos kerja? Ternyata tidak, dia tetap pergi meskipun sudah sangat terlambat. Untungnya subuh tadi dia sudah mandi terlebih dahulu dan aku sudah menyetrikakan pakaian yang akan dia pakai ke kantor.
Selepas dia pergi ke kantor, aku kembali melanjutkan tidur ku. Hehehe... entahlah berapa hari ini aku selalu merasa ngantuk. Sejam kemudian barulah aku benar-benar terjaga. Setelah melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga (cieeeeeee yang ibu rumah tangga), aku pun menghabiskan waktu dengan berganti-gantian membaca Al-Quran, menonton TV, dan membaca Atheis sembari menunggu azan magrib.
Saat itu tiba-tiba saja saya terkenang masa-masa ketika bulan Ramadhan di waktu saya kecil. Saat itu rasanya bulan Ramadhan adalah bulan yang begitu menggairahkan, mengasikkan, dan magis. Disaat itu rasanya saya menyambutnya dengan penuh sukacita, tidak berarti sekarang bulan Ramadhan tidak lagi saya sambut dengan sukacita, hanya saja rasanya sudah tidak seperti dulu lagi. Sukacitanya berbeda, jauh-jauh lebih polos.
Betapa saat itu saya sangat bersemangat untuk bangun sahur, solat subuh berjamaah dengan Aba dan Andi', dan jika sedang menginap di rumah nenek, solat subuh di mesjid. Mati-matiian menahan lapar dan haus karena tidak mau kalah dengan sepupu-sepupu yang lain, dimana kami sering "bertanding" siapa yang puasanya full sebulan itu. Yang selalu berakhir seri, karena puasa kami tidak ada bolongnya sama sekali. Malu sekali rasanya saat itu jika puasa kami ada yang bolong.
Dan tentunya saat-saat yang paling dinantikan adalah saat suara azan maghrib berkumandang. Melahap panganan manis buatan rumah dengan lahap terkadang malah kalap sehingga saat solat magrib berjamaah dilakukan dengan bermalas-malasan, perlu panggilan berkali-kali lalu teguran yang lumayan keras baru beranjak turut serta untuk solat. Biasanya juga disertai dengan drama air mata. Hahaha... setelah solat maghrib lalu makan nasi beserta lauknya sambil menunggu panggilan teman-teman untuk solat taraweh.
Di kompleks rumah dulu, mesjid belum ada. Kami harus berjalan ke luar kompleks, menyebrangi jalan raya untuk sampai ke mesjid. Karena itu untuk ke mesjid itu, kami berombongan, menunggu anak-anak sekompleks lalu pergi beramai-ramai. Anak yang lebih tua, otomatis ditugaskan untuk menjaga yang lebih muda. Terutama memegangnya ketika menyebrang.
Meskipun solat taraweh plus witir adalah solat terlama yang aku lakukan, tetapi solat inilah yang paling membuatku bersemangat. Berkumpul bersama teman-teman, bermain-main disela-sela waktu solat dan saat uztad berceramah, membeli mangga atau kedondong atau bonte (ketimun) yang diberi saus tauco yang banyak dijual hanya saat bulan Ramadhan. Bagi saya saat itu adalah saat-saat menyenangkan di bulan itu. Belum lagi ketika mulai bersekolah dengan bersemangat mengisi buku Amaliah Ramadhan yang nantinya dengan bangga diserahkan kepada guru agama setelah sebelumnya membandingkannya dengan punya teman.
Juga memilih baju baru untuk dipakai saat lebaran dan sekali lagi dengan sombong membandingkannya dengan punya sepupu. Berapa banyak baju baru yang dia punya? Saya harus punya sama banyak dengan punyanya. Hihihihi...
Juga menikmati kisah-kisah para nabi dari berbagai sumber; buku, TV, maupun cerita yang dituturkan nenek atau pun bapak seorang teman. Terkagum-kagum dan sangat penasaran pada malam lailatur qodar. Konon, katanya ketika malam lailatul qodar, suasana mendadak hening, angin berhenti berhembus, daun yang gugur tiba-tiba terhenti di tempatnya (sehingga seperti melayang) dan beribu-ribu malaikat turun ke bumi. Karena itu, pernah aku menunggui malam lailatur qodar itu dengan keukeh, meskipun pada akhirnya tertidur juga. Aku menungguinya bukan untuk mengharapkan pahala, pikiran anak kecil belum sampai ke sana, aku saat itu hanya ingin menyaksikan keajaibannya. Benarkah bumi mendadak hening? Dan tentu saja karena aku sangat ingin bertemu malaikat!!!
Mengingat saat-saat ku kecil itu, membuat ku tersenyum. Senyum yang sedikit miris juga. Ketika "dewasa" semangat itu perlahan-lahan memudar. Bertambahnya "pengetahuan" membuat bulan Ramadhan itu tidak lagi terlalu mengasikkan. Ya, bertambah dewasa membuat banyak hal berubah. Saya selalu iri pada anak kecil, hidup mereka begitu bahagia. Saya juga agak sedih ketika melihat mereka tumbuh bertambah besar....
Dan apakah saya menyesal bertumbuh? Bertambah besar dan dewasa? Tidak juga sebenarnya, tapi ya, ada hal-hal yang hilang yang sangat saya rindukan pada diri saya sewaktu saya kecil...
![]() |
Gambar diambil di sini |
Setiba di perempatan
jalan, mereka pun berpisah. Si beruang berbelok ke kiri menuju peternakan lebah
dan si gadis kecil berjalan terus ke kedalaman hutan. Tentunya kalian telah
menebak mereka siapa bukan? Yup!!! Mama Beruang dan Gadis Kecil kita tersayang.
Mereka berangkat sebelum matahari terbit dari rumah mereka di pinggir hutan untuk
perjalanan yang panjang ini. Mama Beruang akan menjenguk putranya yang memiliki
peternakan lebah (Sudahkah kuceritakan tentang anak-anak Mama Beruang? Belum?
Lain kali akan kuceritakan tentang mereka), sementara Gadis Kecil ingin
menyusuri hutan lebih jauh lagi.
Awalnya Gadis Kecil
berniat ikut dengan Mama Beruang ke peternakan lebah tetapi dia tiba-tiba
mengingat sebuah kisah yang sering diceritakan teman-temannya tentang seorang
penyihir yang hidup jauh di dalam hutan. Katanya penyihir itu memiliki
kesaktian yang luar biasa, ia bisa mengutuk dan memberkati seseorang,
menurunkan hujan maupun menghalau hujan, memunculkan sesuatu dari ketiadaan, mempercepat
tumbuh tanaman, dan sangat suka memakan anak-anak kelinci dan telur-telur
burung. Tentunya cerita ini sering digunakan oleh makhluk-makhluk hutan untuk
menenangkan anak-anak mereka yang terlalu aktif, terutama oleh kelinci dan
burung. Dan bagi Gadis Kecil sendiri, cerita ini sangat menarik dan
membangkitkan jiwa petualangannya. Dia juga sangat penasaran bagaimana rupa
sang penyihir dan dari mana ia mempelajari ilmu sihirnya.
Maka ketika Mama
Beruang membangunkannya jauh sebelum matahari terbit untuk pergi ke peternakan
lebah, Gadis Kecil meminta izin untuk tidak ikut dan menyatakan niatnya. Dengan
beberapa nasehat tentang tidak boleh berkeliaran di hutan jika telah gelap,
tidak boleh mengganggu makhluk hutan lainnya, tak boleh memasuki rumah seseorang
tanpa dipersilahkan, Mama Beruang pun mengizinkan Gadis Kecil.
Sebelum berpisah di
perempatan jalan itu, Mama beruang mengulangi nasehatnya dan memeluk Gadis Kecil.
Gadis Kecil pun tak lupa mencium pipi Mama Beruang sebelum melepaskan diri dari
pelukannya dan melanjutkan perjalanannya seorang diri.
Seperti biasa Gadis
Kecil benyanyi-nyanyi riang menyusuri jalan setapak dan jika berpapasan dengan
makhluk hutan lainnya ia menyapa mereka, bahkan terkadang ia singgah dan
mengobrol cukup lama dengan mereka. Tetapi mengingat perjalannya yang akan lebih
jauh dari biasanya, ia berusaha hanya mengobrol singkat saja dan kemudian
melanjutkan perjalanannya kembali. Dia pun tak lupa singgah memetik bunga-bunga
liar untuk hadiah bagi Sang Penyihir. Apakah Sang Penyihir menyukai bunga?
Yaa... setidaknya Gadis Kecil sudah punya niat baik bukan?
Segera saja jalan
setapak itu berakhir, dan dia harus berjalan hanya dengan mengandalkan kompas
yang ada di jam sakunya. Masalahnya dia tak tahu pasti di mana letak rumah sang
penyihir, apakah di sebelah timur, utara, atau selatan?
Beruntungnya saat
kebingungan itu, dia berpapasan dengan Tuan Serigala.
“Apa yang kau lakukan di
sini Gadis Kecil? Tempat ini jauh dari tempat biasanya kau berjalan-jalan.”
“Tuan Serigala!!!”
Gadis Kecil sangat senang bertemu Tuan Serigala, selain karena mereka sudah
lama tidak bertemu, juga karena Tuan Serigala hampir pasti mengetahui
tempat-tempat yang belum pernah ia jelajahi. Ia pun berlari menghampirinya dan
memeluknya erat lalu berkata, “Aku berniat mengunjungi Sang Penyihir. Tahukah
kau di mana letak rumah Sang Penyihir?”
Tuan Serigala
mengerutkan keningnya dan bertanya, “Penyihir yang mana yang ingin kau temui?”
“Banyakkah penyihir
yang tinggal di tempat ini?” tanya Gadis Kecil keheranan.
“Terlalu banyak malah,
sehingga membuatku hampir gila!”
“Whaaaaa...” Gadis
Kecil memandang Tuan Serigala dengan terpesona dan berkata, “Kenalkah kau
dengan semua penyihir itu?”
“Tidak juga. Kau ingin
bertemu penyihir yang mana? Ada urusan apa kau dengannya?”
“Entahlah...” Gadis
kecil mengangkat bahu, kemudian ia duduk di sebuah batu lalu berkata, “Teman-temanku;
Bola Salju, Gula-gula Kapas, Telinga Terkulai, Cericip, dan Kwak sering
menceritakan tentang penyihir ini. Mereka sangat takut berjumpa dengannya,
setakut mereka berjumpa denganmu. Katanya lagi penyihir itu sangat suka memakan
anak-anak kelinci dan telur-telur burung.”
Mendengar hal itu Tuan
Serigala menyeringai. Jika saja Gadis Kecil tidak mengenal Tuan Serigala dan
sebelumnya tidak pernah melihat ia menyeringai, Gadis Kecil akan segera berlari
ketakutan, karena seringai Tuan Serigala sungguh menakutkan. Seakan-akan sebuah
pikiran jahat melintas di kepalanya dan dia bersiap-siap menerkammu. Tapi
karena ia telah mengenal Tuan Serigala dan menyayanginya, ia tahu bahwa memang
seperti itulah cara Tuan Serigala tersenyum.
“Hah! Jadi dia yang
ingin kau temui?!!! Aku tahu di mana ia tinggal, sini, kuantar kau ke rumahnya.
Ya, kurasa kau akan sangat menyukai rumah itu!” Tuan Serigala pun berjalan
menuju rumah Sang Penyihir dan Gadis Kecil mengikuti di sisinya sambil
meloncat-loncat kegirangan dan mengajukan banyak pertanyaan pada Tuan
Serigala...
“Betulkah? Apakah kau
mengenalnya? Apakah di baik? Menurutmu dia akan senang menemuiku?”
“Dia oke! Hanya saja
jangan sampai kau mencuri makanannya atau masuk ke rumahnya tanpa seizinnya.
Istrinya juga baik, dan ya ia akan menyukai bunga-bunga pemberianmu.”
Gadis Kecil
mendengarkan baik-baik perkataan Tuan Serigala dan menyimpannya di kepala dan
hatinya, ia harus bersikap santun dan jangan sampai membuat Sang Penyihir
beserta istrinya marah atau pun mempermalukan Mama Beruangnya dan Tuan Serigala
yang mempercayainya.
Ketika mereka tiba di sebuah
jalan setapak yang diterangi cahaya dari lampion-lampion yang tergantung di
dahan-dahan pohon, Tuan Serigala menghentikan langkahnya.
“Jika kau mengikuti
jalan setapak ini, kau akan menemukan rumah mereka,” kata Tuan Serigala.
“Kau tidak akan
menemaniku?”
“Tidak. Aku punya
urusan lain, berapa lama kira-kira kau akan bertamu di sana?”
Gadis Kecil melihat
jamnya dan berkata dengan sedikit cemas dan gusar, “Mungkin tiga atau empat
jam. Bagaimana caraku pulang? Aku kurang memperhatikan jalan ke sini tadi. Lagi
pula pohon-pohon terlihat sama semuanya, dan cahaya matahari hanya sedikit yang
menembus kanopi pepohonan di sini. Kupikir kau akan menemaniku.” Kentara sekali
bahwa ia mulai merajuk...
Tuan Serigala
menyeringai dan berkata denagan sayang, “Lihat, inilah yang tidak ku sukai dari
anak manusia, mereka mudah tersesat dan manja. Juga merepotkan. Aku akan menjemputmu
dalam tiga atau empat jam, yang perlu kau lakukan hanyalah tidak membuat
masalah di sana. Mengerti?!!”
“Mengerti Pak!” Jawab
Gadis Kecil dengan riang. Dia pun melanjutkan perjalannya seorang diri lagi,
menyusuri jalan setapak yang diterangi lampion yang berkedap-kedip.
Lampion yang
berkedap-kedip?
Penasaran, Gadis Kecil
mendekati salah satu lampion itu dan langsung menyadari bahwa cahaya lampion
itu berasal dari segerombolan kunang-kunang.
“Psttt... kunang-kunang
mungil... psttt... apa kalian terkurung di sini?” Gadis Kecil merasa kasihan
melihat kunang-kunang tersebut, ia berpikir kunang-kunang tersebut di kurung di
dalam lampion itu. Tetapi kunang-kunang itu tak ada yang menjawab pertanyaan
Gadis Kecil, ya memang seperti itulah para serangga, mereka terlalu sibuk
dengan dunia mereka sendiri sehingga tak ada yang pernah mengacuhkan Gadis
Kecil. Maka Gadis Kecil pun melanjutkan perjalannya dan segera melupakan para kunang-kunang.
Di ujung jalan setapak
itu berdiri sebuah pondok yang sangat menakjubkan, mengingatkan Gadis Kecil
pada sebuah dongeng yang pernah ia baca di perpustakaan sekolahnya, bedanya
jika pondok dalam dongeng itu terbuat dari roti jahe, pondok ini terbuat dari
coklat. Pondok itu dipagari oleh permen lolipop yang berwarna-warni, dan
sebelum mencapai pondok itu, Gadis Kecil melewati sebuah gerbang lengkung yang
terbuat dari permen, yang dirambati oleh tanaman yang bunganya berwana merah
cerah yang juga terbuat dari permen. Dan tidak hanya itu, setelah melewati
gerbang tersebut, Gadis Kecil menyadari bahwa setiap tanaman yang ada di
sekitar pondok itu, sepanjang yang dipagari oleh permen lolipop terbuat dari
bermacam-macam permen, cokelat, toffe, fudge, nougat dan kue. Tetapi yang
paling luar biasa adalah pondok yang terbuat dari cokelat tersebut; dindingnya
adalah cokelat yang ditempeli kue-kue kering, pintunya adalah biskuit berukuran
raksasa, dan kusen-kusen jendelanya adalah permen batangan. Dan jangan lupakan
atapnya yang terbuat dari wafer. Perut Gadis Kecil seketika berbunyi, ia
melihat jamnya dan menyadari ini waktunya makan siang.
Gadis Kecil sedikit
bimbang untuk mengetuk pintu pondok itu, rasanya kurang sopan bertamu diwaktu
seperti ini, seakan-akan kau berharap diajak makan siang. Tapi jika ia memakan
bekalnya di sekitar pondok ini, rasanya itu jauh lebih tidak sopan lagi, siapa
pun yang melihatnya pasti berpikir bahwa tuan rumahnya sangat pelit sehingga
membiarkan tamunya makan makanan yang ia bawa sendiri. Akhirnya Gadis
Kecil mengetuk pintu pondok tersebut.
Tok tok tok... Tok tok tok... Tok tok tok... Tok tok tok... tetapi tidak ada
yang menjawab ketukan Gadis Kecil. Apakah tidak ada orang? Apakah mereka sedang
keluar?
Penasaran Gadis Kecil
mengintip di jendela yang terletak di samping pintu. Memang tidak ada
siapa-siapa di pondok itu, hanya ada sebuah meja besar yang diatasnya terletak
dua buah mangkuk yang berukuran besar dan sedang. Entah apa yang berada di
dalam mangkuk tersebut, yang bisa Gadis Kecil lihat hanyalah uap yang mengepul
dari dalamnya. Juga ada sepiring besar cupcake yang seperti baru saja selesai
dipanggang dan dihias. Dan juga sekeranjang buah-buahan... perut Gadis Kecil
kembali berbunyi...
Selain meja besar
tersebut yang berdekatan dengan dapur, di sisi lain pondok itu, yang menghadap
di depan perapian ada dua buah kursi yang berukuran besar dan sedang. Kedua
kursi itu terlihat sangat nyaman, pasti sangat enak melemaskan kaki di sana,
beristirahat setelah perjalanan yang jauh. Karena sepertinya memang tidak ada
orang, hewan, atau apapun makhluk yang menghuni pondok ini, Gadis Kecil pun
memutuskan mengelilingi pondok tersebut sambil mengintip di setiap jendela yang
ada. Sebenarnya ia sangat ingin memutar pegangan pintu itu dan masuk ke pondok
itu untuk melihat-lihat, tapi mengingat nasehat Mama Beruang dan Tuan Serigala
maka ia tidak melakukannya.
Di salah satu jendela,
Gadis Kecil melihat sebuah tangga yang mengarah ke tingkat dua pondok tersebut,
“Mungkinkah mereka sedang tidur siang dan tidak mendengar suara ketukanku?”
pikirnya. Maka ia pun kembali ke depan pondok dengan niatan mencoba mengetuk
pintu itu sekali lagi, tetapi...
“Hay anak kecil!!! APA
YANG KAU LAKUKAN DI SANA?!!!”
Gadis Kecil terlonjak
kaget mendengar suara yang menggelegar dan sepertinya tidak ramah itu,
takut-takut ia berbalik dan melihat dua ekor beruang hitam berjalan ke arahnya.
Yang jantan besarnya dua kali Mama Beruang, memakai jas berwarna hijau dan
kemeja putih, bercelana kain selutut, dan bersepatu hitam mengkilap. Matanya
dibingkai kaca mata yang tebal dan diatas moncongnya ada kumis hitam yang
sangat lebat, tampangnya terlihat sangat galak. Sebentara itu yang betina
memakai terusan bunga-bunga selutut dengan kerah model victoria, dia sebesar
Mama Beruang, hanya mungkin sedikit lebih langsing. Sepatunya senada dengan
terusannya dan di kepalanya dihiasi topi lebar berpita merah, dia terlihat
ramah dan tersenyum geli melihat Gadis Kecil.
“Apa yang kau lakukan
di sini anak Hawa? Apakah kau berniat mencuri makanan kami seperti saudaramu
dahulu?” tanya si beruang betina dengan ramah meskipun tetap saja terdengar
mengancam.
“Tidak... tidak... Tuan
dan Nyonya Beruang. Aku datang berkunjung untuk berkenalan dengan Sang Penyihir
dan istrinya. Apakah itu kalian? Dan sebenarnya aku tidak punya saudara,
mungkin kalian salah mengenaliku.” Kata Gadis Kecil. Dia masih sedikit
ketakutan, kakinya bergerak-gerak gelisah.
“Ohh lihatlah, kasian
dia ketakutan. Seharusnya kau tidak membentak-mentak seperti tadi sayang.” Kata
Nyonya Beruang kepada Tuan Beruang, “Dan setelah dilihat-lihat dia memang tidak
mirip dengan anak nakal itu.”
“Bagiku anak manusia
terlihat sama saja dimana pun! Mereka nakal-nakal, tidak sopan, dan tak tahu
malu!” gerutu Tuan Beruang. “Lagi pula aku tak suka disebut penyihir! Aku ini
penemu, bukan penyihir!” katanya lagi masih dengan menggerutu.
“Apa yang kau temukan?
Maukah kau menceritakannya kepadaku?” ujar Gadis Kecil yang tanpa sadar karena
terlalu bersemangat, mendekati Tuan Beruang dan memegang tangannya sambil meloncat-loncat
kegirangan. “Maukah? Maukah? Maukah?”
“Oh hentikan anak ini!
Dia membuatku pusing!” erang Tuang Beruang.
“Sudah... sudah...
sudah... mari kita masuk ke dalam.” Kata Nyonya Beruang. Dia membuka pintu dan
mempersilahkan mereka masuk.
Pondok itu beraroma
manis yang menyenangkan... dan dengan banyaknya kue, coklat, dan permen
disekitar situ, anehnya Gadis Kecil tak melihat seekor semut pun.
“Huwaaaaaa... tak ada
semut di sini!”
“Hah! Jika kau mencari
semut carilah di hutan sana! Hah!” gerutu Tuan Beruang. “Duduklah di sini!”
perintahnya kepada Gadis Kecil, sambil mengangkat sebuah kursi kecil dari
sebuah pintu tingkap di bawah meja. Kursi itu ia letakkan di depan meja makan.
“Ayo kita makan siang
dulu.” Ajak Nyonya Beruang sambil menuangkan bubur dari panci ke sebuah mangkuk
kecil. “Kau suka bubur manis bukan?” tanyanya ramah kepada Gadis Kecil.
“Tentu saja.” Jawab
Gadis Kecil. Mereka pun duduk mengelilingi meja makan tersebut dan menyantap
bubur serta cup cakes dan buah-buahan.
Enak sekali bubur itu,
Gadis Kecil segera menghabiskannya. Baru ketika ia mencicipi cupcake yang tak
kalah enaknya itu, dia pun memulai obrolan.
“Bagaimana tempat ini
bisa penuh dengan makanan manis? Anda yang menciptakannya Tuan Beruang? Bagaimana?
Oh ia, mengapa kalian mengira aku memiliki seorang saudara?”
“Lihat! Dia tidak
sopan! Sudah kubilang jangan pernah berbaik hati dengan anak manusia!” gerutu
Tuan Beruang lagi.
“Sayang... bukankah
seharusnya kau memperkenalkan dirimu dahulu?” kata Nyonya Beruang.
“Oh ia, maaf...” jawab
Gadis Kecil. Mukanya memerah menahan malu. “Namaku Gadis Kecil, aku tinggal di
tepi hutan bersama Mama Beruang. Aku ke sini karena penasaran tentang penyihir
yang sering diceritakan teman-temanku. Selain itu aku senang bertualang dan
bersahabat dengan siapa pun.”
“Jauh sekali tempatmu
tinggal. Bagaimana kau bisa tiba di sini tanpa tersesat?” tanya Nyonya Beruang
lagi.
“Aku menyusuri jalan
setapak hinggah jalan itu habis dan kemudian Tuan Serigala mengatarku ke sini.”
Jawab Gadis Kecil.
“Huh! Si serigala itu
selalu membuatku gusar!”
“Jadi siapa kalian?”
tanya Gadis Kecil lagi.
“Namaku Nemu dan dia istriku
Flo. Kami punya seorang anak bernama Dagi yang kini membuka toko permen di kota
manusia. Aku menumbuhkan gula-gula, coklat, kue, dan segala makanan manis
lainnya. Aku menciptakan “kondisi” sehingga makanan itu tidak basi dan semut
serta binatang-binatang pengganggu lainnya tidak bisa mendekati tempat ini.” Kata
Tuan Beruang.
“Bagaimana?” tanya
Gadis Kecil lagi dengan penuh kekaguman.
“Kau tahu anak kecil?
Itu Rahasia!” jawabnya lagi dengan menggerutu.
Gadis Kecil cemberut.
Dia selalu merasa jengkel jika pertanyaannya tidak dijawab. Tetapi dia berpikir
karena ini baru bertemuan pertama, tidak apa-apalah, masih akan banyak waktu
untuk membujuk Tuan Beruang. Dia berencana ini bukan kunjungannya yang terakhir
ke pondok ini. Dan dia pun masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin ia
ajukan. Saat akan bertanya lagi, Nyonya Beruang tiba-tiba bangkit dari kursinya
dan menuju dapur. Tak lama ia kembali sambil membawa tiga gelas es krim
strawberry...
“Cicipilah es krim
buatan sendiri.” Katanya ramah sambil meletakkan gelas berisi es krim itu di
depan Gadis Kecil. Tentu saja rasanya sangat enak, melumer dan meleleh di
mulut, dan ketika di telan, es krim itu meninggalkan rasa mint menyegarkan.
“Ini enak sekali Nyonya
Beruang.” Kata Gadis Kecil.
“Terimakasih sayang.
Panggil saja aku Flo. Dan panggil ia Nemu.”
![]() |
Gambar diambil di sini |
“Aku juga senang
berkujung ke sini Nyonya, eh, Flo.” Jawab Gadis Kecil. “Apakah kalian pernah
mengalami kejadian buruk dengan anak manusia? Anak yang kalian sangka adalah
kakakku? Miripkah ia denganku?” tanya Gadis Kecil lagi.
“Ahhh ya. Waktu itu
anak kami masih kecil dan rumah kami belum seperti ini, hanya pondok biasa yang
terletak tidak terlalu jauh di dalam hutan. Seperti
biasa aku memasak bubur dan seperti biasa juga kami menyempatkan berjalan-jalan
dahulu sembari menunggu bubur kami dingin. Saat itu ada gadis kecil seusiamu,
hanya saja rambutnya berwarna emas, masuk ke pondok itu dan mencicipi bubur di
mangkuk kami dan menghabiskan bubur di mangkuk anakku. Tidak hanya itu, di
menduduki kursi kami dan merusakkan kursi anakku, lalu ia tidur di tempat tidur kami. Yang paling menyebalkan,
dia bahkan tidak meminta maaf saat kami menemukannya, ia hanya berlari keluar
begitu saja.”
“Oh tidak sopan sekali!”
seru Gadis Kecil.
“Ia hal itu membuat
kami bertanya-tanya tentang sifat manusia. Jika anak-anaknya saja seperti itu,
bagaimana dengan yang telah dewasa?” kata Nyonya Beruang. Dia tersenyum lalu melanjutkan
ceritanya, hanya saja kali ini suaranya lebih pelan, “Dan ketika suamiku
memulai usahanya ini, dia pun berkeinginan menjual permen-permennya kepada
manusia. Tapi sayangnya karena tampangnya yang seperti itu, manusia-manusia
itu, terutama anak-anaknya berlari mejauhinya. Hal itu membuatnya sakit hati.”
“Aku mendengar itu!!!”
gerutu Tuan Beruang.
“Wah bodoh sekali
mereka padahal permen-permen di sini sangat lezat!” Kata Gadis Kecil sambil
mengemut lolipop yang disodorkan Nyonya Beruang kepadanya.
Waktu berlalu begitu
cepat, tau-tau saja Tuan Serigala telah datang menjemput Gadis Kecil. Padahal
masih banyak hal yang ingin Gadis Kecil ketahui tentang Tuan dan Nyonya
Beruang itu.
“Astaga!” katanya
sambil penepuk jidatnya, “Aku punya sesuatu untukmu Flo, aku hampir saja
melupakannya.” Gadis Kecil pun menyerahkan bunga-bunga liar yang ia petik di
perjalanan kepada Nyonya Beruang dan berkata dengan malu-malu, “Bolehkah aku
berkunjung ke sini lagi kapan-kapan? Oh maaf bunganya sudah agak layu.”
“Tentu saja boleh.” Jawab
Nyonya Beruang lagi.
“Ya, datang sajalah.”
Jawab Tuan Beruang
Maka Gadis Kecil pun
berjalan pulang dengan riang bersama Tuan Serigala. Senang rasanya memiliki
teman baru.
“Astaga!!!!” kata Gadis
Kecil lagi sambil menepuk jidatnya (lagi), “Aku lupa menanyakan mengapa mereka
mengurung kunang-kunang itu di dalam lampion.”
Tuan Serigala hanya
menyeringai melihat tingkah Gadis Kecil.
*****
KISAH DARI TAMAN WORTEL:
Cerita yang Terulang
Wortel Juara Lomba
Sulap Kelinci!
Telinga Terkulai
By Neil Connelly
Ilustrasi by Carolyn Bracken
@1996 Ottenheimer Publisher, Inc.
Baltimore, Maryland, Amerika Serikat
Edisi bahasa Indonesia diterbitkan
oleh PT Tira Pustaka Jakarta
Saya selalu ingat ketika kali pertama membaca buku ini,
err dibacakan buku ini lebih tepatnya si, saat itu Aba saya pulang kantor dan
membawa sebuah koper kecil cantik berwarna putih dengan gambar-gambar yang
langsung menarik perhatian saya. Koper putih kecil itu berisikan empat buah buku
dengan warna dasar putih dengan gambar yang mengisahkan tentang tiga kelinci kecil. Saya
pun langsung jatuh hati pada ilustrasinya dan tak bosan-bosannya melihat-lihat
gambar tersebut. Saya pun langsung meminta dibacakan ke empat buku ini...
Ceritanya yang memikat ditambah ilustrasi yang
unyu-unyu menggemaskan membuat buku ini
menjadi salah satu benda kesayanganku, sering saya hanya membolak-balik halamannya
saja, mengagumi gambar-gambar tersebut dan bertanya-tanya kapan saya bisa
menggambar sebagus itu. Setelah saya dapat membaca, saya pun tak bosan
berulang-ulang membaca buku ini. Kertasnya yang tebal, yang tak bisa
disobek-sobek atau pun digunting-gunting, harusnya bisa menyelamatkan bukuku
ini hingga saat ini, tapi entah kapan dan di mana keempat bukuku ini hilang.
Beruntungnya ketika membuka facebook saya pun melihat
Buku Bekas menjual keempat buku ini, memang tanpa box-nya (kopernya, saat kecil
saya menyebutnya koper), tapi tak apalah setidaknya saya bisa memiliki lagi
keempat buku ini dan bernostalgia ke Taman Wortel...
Curhatnya panjang bener ya~ Hihihihihi....
Kisah Dari Taman Wortel ini sendiri berkisah tentang
kegiatan sehari-hari tiga kelinci kecil; Nila, Marak, dan Cemil. Mereka bertiga
bersaudara dan tinggal bersama Kakek Kelinci di Taman Wortel. Waktu kecil saya
sering bertanya-tanya, mengapa ketiga kelinci ini tinggal dengan kakeknya saja?
Kemana kedua orangtuanya? Kemana neneknya? Dan saat membaca buku ini kembali,
saya langsung saja menyimpulkan bahwa mereka yatim-piatu dan neneknya pun telah
meninggal. Padahal mungkin saja tidak seperti itu bukan?
Oh ia, berhubung keempat buku ini ceritanya singkat
saja, saya akan mereview keempatnya sekaligus saja...
Dalam Cerita yang Terulang, Kakek Kelinci bercerita
kepada cucu-cucunya tentang kelinci dan kura-kura. Marak si kelinci kecil
menantang tetangganya, Kumban si Kura-kura, untuk berlomba lari seperti dalam
cerita. Kali ini, ia ingin supaya yang menang kelinci!
Siapakah yang akhirnya memenangkan lomba lari
tersebut? Marak-kah atau Kumban si kura-kura lamban?
Dalam Wortel Juara Lomba, Nila, Marak, dan Cemil
mempunyai rencana untuk mengikuti lomba sayuran pada Pekan Raya Rimba. Mereka
menanam wortel paling besar dari semua wortel yang pernah ada! Akan tetapi,
rencana yang sangat bagus pun kadang-kadang berjalan di luar perkiraan.
Dapatkah mereka menjadi juara di Pekan Raya Rimba?
Dalam Sulap Kelinci!, berlangsunglah pertunjukan sulap
yang diadakan oleh Kakek Kelinci. Nila, Marak dan Cemil yang terpesona pada
pertunjukkan sulap tersebut, berusaha menemukan rahasia di balik tipuan sulap
itu. Tapi tiba-tiba saja Cemil hilang dan tiba-tiba muncul lagi sebagai bintang
panggung.
Dalam Telinga Terkulai, ketiga kelinci kecil sedang
asik bermain petak umpet saat Kakek Kelinci datang dan memberitahukan kepada
mereka bahwa adik sepupu mereka, Flora, akan datang berkunjung. Saat Flora
datang, mereka terheran-heran dengan penampilan Flora yang tidak seperti mereka
ataupun kelinci-kelinci yang mereka lihat. Telinga Flora panjang dan lebar,
juga terkulai. Mengapa Flora berbeda? Dapatkah mereka melupakan perbedaan dan
berteman?
Ceritanya yang meliputi kegiatan sehari-hari ketiga
kelinci kecil ini diceritakan dengan sederhana juga memakai bahasa yang
sederhana sehingga lebih mudah dipahami dan dinikmati anak-anak. Hanya saja
bagi saya ketika membaca kembali buku ini, ada hal-hal yang mungkin lebih baik
jika ditambahkan sehingga tidak menimbulkan banyak pertanyaan. Seperti kemana
orangtua ketiga kelinci tersebut dan bagaimana cara mereka merawat wortel
mereka sehingga menjadi wortel raksasa? Hal-hal yang menimbulkan pertanyaan
seperti itu saya rasa ada baiknya jika diceritakan, mengingat rasa ingin tahu
anak-anak itu teramat besar ^^
Ilustrasi di buku ini yang membuat saya sangat jatuh
cinta... Kelinci-kelinci kecil itu digambarkan dengan sangat menggemaskan,
belum lagi pakaian-pakaian mereka yang cantik-cantik, aduh gemes banget
pokoknya. Dan seperti yang saya katakan di awal-awal, kertasnya yang setebal
karton tentunya tak mudah bahkan sulit untuk di robek anak-anak...
"Dia-lah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagi rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengatahui."
_Al Baqarah ayat 22
Hari ini, hujan hampir setiap jam turunnya. Dimulai dari sekitaran jam 12am hujan mulai turun hingga menjelang subuh. Saya yang mungkin karena terlalu banyak tidur hari sebelumnya, belum dapat memejamkan mata hinggah jam 2.45am. Hanya berbaring dalam kegelapan dan mendengarkan hujan... Hingga tertidur...
Saya yang memang mencintai hujan,
sangat bersyukur dengan hal itu. Meskipun rencana mencuci hari ini harus
dibatalkan. Anggap saja sebagai hari libur ekstra, satu hari lagi untuk
bermalas-malasan.
Bagaimana puasa saya hari ini?
Bagaimana ibadah saya?
Saya menghabiskan banyak waktu
duduk di depan jendela mengamati hujan. Terpesona pada ritme air yang jatuh
dari langit. Kadang sambil membaca, melanjutkan novel Kazuo Ishiguro yang belum
ku selesaikan. Sebentara itu Al-Quran-ku yang ada terjemahannya entah ku simpan
di mana. Sehingga hari ini saya hanya membaca Al-Quran tanpa mengetahui apa isi
dari kitab itu. Selayaknya orang yang menyelam sambil menutup mata. Selebihnya
saya hanya memandangi hujan.
Mengapa hujan turun di bulan ini?
Di bulan yang seharusnya adalah puncak-puncaknya musim kemarau? Hal itu teru
saja mengganggu pikiranku. Tidak, ini bukan sebuah keluhan. Hanya sebuah rasa
penasaran. Mengapa Ia menurunkan hujan di saat ini? Ada rahasia apa yang
terkandung dalam hujan bulan ini? Hujan hari ini?
Tentunya hujan ini memiliki
tugasnya tersendiri. Tugas dan alasan mengapa ia turun. Ia tidak hadir tanpa
sebuah alasan dan tujuan. Ia tidak turun dengan sia-sia. Tak ada yang sia-sia
kan di bumi ini? Seperti semua manusia dilahirkan untuk sebuah tujuan, seperti
itulah hujan yang turun di saat ini. Mungkin tujuannya sederhana, hanya
membantu umat Islam yang berpuasa agar tak terlalu merasakan haus. Mungkin ia
turun untuk membantu kita agar tidak keluar rumah, berbuat kejahatan. Atau ia
turun untuk memperingati kita tentang betapa telah berubahnya iklim di bumi ini
akibat ulah kita. Dan atau dan mungkin hal-hal lainnya.
Entah, tiba-tiba aku teringat
sebuah peristiwa di masa lalu. Di sebuah rumah yang selalu aku rindukan. Saat
itu, semalaman hujan turun dengan derasnya. Volume air yang besar tak mampu
lagi di tampung oleh got di depan rumah kami, air pun memenuhi rumah. Tak
tinggi memang, hanya semata kaki tapi hal itu membuat ku tidak masuk sekolah.
Ia, hanya perkara malas saja dan juga mobil jemputan tidak menjemputku
dikarenakan air yang menggenang lumayan tinggi di luar kompleks rumah.
Aku masih mengingat kebahagiaan
di saat itu. Girang karena banjir yang bagi pikiran kanak-kanak ku di saat itu
adalah sebuah keberuntungan, keberuntungan karena di luar ada kolam dadakan.
Kolam tempatku dan teman-teman ku bermain air sepuasnya dan berlomba menangkap
ikan. Hinggah senja kami bermain di
luar, ketika mesjid mulai mengeluarkan suara-suara kami barulah pulang ke rumah
masing-masing.
Aku sudah lupa apakah saat itu
juga bulan Ramadhan atau tidak. Yang kuingat sesampai di rumah aku
diperintahkan untuk segera mandi dan kemudian menyantap kolak pisang dan teh
hangat. Aku juga masih mengingat kebahagiaan saat kolak itu masuk ke mulutku.
Rasanya yang manis dan hangat itu (saya suka makan kolak dan pallubutung yang
hangat ketimbang yang dingin) memenuhi mulut lalu turun ke leher dan entah,
hati ini juga terasa hangat dan penuh.
Ahhh mungkin perasaan itu adalah perasaan yang timbul karena saya
mengingat saat-saat itu, bukannya sensasi ketika memakan kolak... Eh puasa saya
gak makruh nih membayangkan makanan??? ^^
Bagaimana puasa saya? Yaaa hanya
seperti itu... menahan haus dan lapar, menahan nafsu dan emosi, berhubung gak
keluar rumah si ya, dan semoga tidak sedetikpun melupakan Sang Kekasih...
Oh ia, (calon) mertua mengirimkan
nangka dari kebun ^^ Yippie disantap setelah berbuka nih ^^