Selamat hari raya Idul Fitri untuk yang merayakan, Minal Aidin wal Faizin~ mohon maaf lahir batin ^^ (Hihihi maap ucapannya telat)
Lebaran tahun ini, aku
merayakannya jauh dari Makassar, jauh dari kakak beserta tante-tante, om-om,
dan sepupu-sepupuku. Semenjak Andi’ meninggal, ini kali pertama aku merayakan
momen lebaran itu jauh dari mereka. Lebaran kali ini kurayakan di sebuah
desa bernama Parombean, Enrekang, kampung halaman Pai. Rasanya campur aduk,
saking campur aduknya aku lumayan binggung mau bagaimana menuliskannya...
Sabtu 26 Juli 2014
Setelah solat subuh
kami pun berangkat. Dengan barang bawaan yang membengkak, kami lumayan
berdesak-desakan di atas mobil. Baru saja mobil berjalan, ngantuk pun
menghampiri, saya mulai mencari posisi yang paling enak untuk terlelap. Tetapi
saya baru bisa benar-benar tertidur ketika mobil telah mengisi bahan bakarnya
di SPBU di Maros, setelah saya menumpang pipis di toilet SPBU tersebut.
Sepanjang jalan dari Maros hingga Pare-pare saya tertidur pulas. Ini memang
kebiasaan saya jika bepergian dengan jarak tempuh yang lama dan jauh, membunuh waktu sera kebosanan selama perjalanan dengan tidur. Tapi kaget juga si pas membuka mata
dan melihat ke luar jendela, menyadari telah berada di Pare-pare. Padahal jarak
Makassar-Pare-pare itu kurang lebih 152km. Terjaganya pun tidak lama, cukup
waktu dengan menyadari telah berada di mana, saya pun melanjutkan tidur lagi.
Hehehe...
Sesampai di Pinrang, di rumah mertua
ipar saya yang kebetulan juga masih ada hubungan keluarga dengan keluarga
Pai... Ehmmm... ngerti gak ya? Jadi gini... salah satu ipar saya itu menikah
dengan seseorang yang masih ada hubungan keluarga dengan mereka. Udah
ngertikan? Udah dong ya?! *ngancem* Jadi pas sampai di Pinrang itulah saya benar-benar terjaga. Ipar ku
beserta keluarganya turun di sana. Kami pun menyempatkan mampir. Bersilaturahmi.
Setelah itu kami melanjutkan
perjalanan kembali... Pai, Bapak (bapak mertua), tante (saudara bungsu bapak),
dan saya. Mobil terasa lapang, dan kini saya sudah bisa banyak bergerak, melenturkan kaki serta mencari
posisi yang paling enak buat melanjutkan tidur kembali. Ternyata pemandangan di
luar memanggil-manggil saya untuk menikmatinya... entah daerah itu sudah masuk
daerah Marowangin (nama salah satu daerah di Enrekang) atau masih daerah
Pinrang, rumah-rumah panggung di sepanjang jalan tersebut dipercantik dengan
berbagai bunga yang sedang bermekaran dengan indah. Kuning, orange, merah...
cantik sekali... terkadang diselingi dengan hamparan sawah berwarna hijau yang
meneduhkan mata...
Puas menikmati pemandangan di luar,
saya pun mulai terkantuk-kantuk lagi, cuma memang tidur kali ini tidak sepulas
sebelumnya. Beberapa kali saya terbangun, kemudian menikmati pemandangan di
luar atau mengobrol, terkadang juga hanya menyimak obrolan yang sedang
berlangsung saat itu.
Enrekang kota berlalu begitu saja...
Saya hanya bertanya-tanya di mana dari
sekian banyak rumah di Enrekang kota yang merupakan rumah Dhani ^^
Oh ia, ada sebuah tempat di Enrekang,
rumah makan tepatnya, yang sangat ingin saya kunjungi. Beberapa hari yang lalu,
apa minggu ya? Saya melihat seorang teman berfoto di sana, di teras belakang restoran
tersebut. Pemandangan dari teras belakang restoran tersebut sangat indah, tepat
menghadap ke Gunung Nona. Melihat foto
teman saya itu dan menanyakan perihal tempat itu kepada Pai, timbullah keinginan untuk mengunjungi tempat tersebut. Menikmati pemandangannya dan
berfoto di sana.
Syukurlah keinginan saya itu, tanpa
saya ucapkan, kecuali pada Pai, disetujui oleh yang lainnya. Kami pun singgah
ke tempat itu. Namanya Rumah Makan Bukit Indah. Masalahnya, kami sedang
berpuasa, tentunya tidak bisa masuk ke tempat itu hanya untuk sekedar
berfoto saja. Saya, Pai dan Tante memuaskan diri dengan berfoto di luar rumah
makan itu, bahkan pemandangan di luarnya pun cukup indah. Tapi entah Bapak mendapat
ide dari mana, beliau mengajak kita masuk, katanya mungkin saja pemilik rumah
makan tersebut berbaik hati mengizinkan kami menikmati pemandangan yang
disuguhkan di teras belakangnya dengan cuma-cuma, dikarenakan dia memaklumi
kami yang sedang berpuasa.
Bersama tante ^^ |
Salah satu bunga di halaman rumah makan itu |
Menemukan ngengat di depan pintu toilet |
Dengan pede kami pun melangkah
memasuki tempat tersebut berjalan terus hingga ke teras belakangnya... Suasana
rumah makan itu sangat sepi, hanya ada seorang kasir di meja depan dan dua
orang pemuda-pemudi yang sedang duduk menanti pesanannya. Langsung saja Pai dan
Bapak asik memotret pemandang, saya pun tak mau kalah dengan mereka, camdig
pisang ijo ku pun mulai beraksi. Seorang pelayan mendatangi kami, menanyakan
akan memesan apa, Bapak pun menjawab bahwa kami sedang berpuasa, bolehkah
diisinkan beristirahat di sini dan memotret. Si pelayan pun pergi, entah
bertanya kepada kasir di meja depan atau ke dapur bertanya pada koki atau
mungkin bertanya langsung kepada pemilik tempat tersebut. Intinya kami tidak
diperbolehkan berada di dalam sana. Hehehehe kebayang dong malunya?!!! Apa lagi
pas kami melangkah keluar dari pintu rumah makan tersebut, tau-tau saja
dipasang pengumuman dilarang memotret jika tidak membeli di tempat itu, ya
kurang lebih begitulah kata-katanya. Huhuhuhu...
Dengan langkah gontai keberatan malu,
kami pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Barulah saat itu
tiba-tiba kepikiran mengapa kami tidak membungkus saja makanan di sana untuk
kami makan ketika telah tiba waktu berbuka??? Duh....
Di Cakke’ (masih di daerah Enrekang),
kami singgah di rumah nenek (nenek yang ini adalah sepupu nenek, mamanya Bapak
yang tinggal di Parombean yang rumahnya akan kami datangi). Di sana kami
menjenguk Nenek Cakke’ (untuk seterusnya saya akan memanggilnya seperti itu)
yang sudah terbaring koma. Lama kami berada di sana, melihat kondisi beliau,
berbincang dengan para tante yang ada di sana. Sebagian besar percakapan
dilakukan dalam bahasa Enrekang, yang tidak saya mengerti, jadilah saya cuma
mengangguk-angguk sok tahu. Oh ia, di sana kami menyempatkan solat Duhur plus
menjama’ solat Ashar.
Perjalanan pun dilanjutkan...
terus.... hingga mencapai Sudu (masih juga di daerah Enrekang). Kami
menyempatkan singgah di pasar di sana. Lalu membelok masuk ke jalan yang akan
membawa kami ke Parombean.
Parombean ini adalah kampung halaman
Bapak. Banyak cerita yang kudengar tentang desa itu... Desa ini berbatasan
langsung dengan Toraja, hanya dibatasi dengan sungai. Menyebrang sungai, kita
sudah masuk di daerah Toraja. Karena desa ini berada di atas gunung, maka
cuacanya sangat dingin, apalagi di malam-malam musim kemarau, maka dari itu
saya mempersiapkan diri dengan banyak baju tebal berlengan panjang, beanie, dan
kaus kaki. Belakangan saya tahu kalau siang, cuaca di sana agak panas.
Terus.... Hmmmm... jalanan masuk ke desa ini parah dan berbatasan langsung
dengan jurang, syukurlah sudah ada jalan masuk untuk mobil, dulunya dari Sudu
orang harus berjalan kaki memasuki desa ini. Bayangkan naik turun gunung jalan
kaki?!!!
Sering aku diceritakan bagaimana dulu
sampai ada reunian orang-orang yang merantau jauh dari desa tersebut. Mereka
bersama-sama dari Sudu, menginap dulu sebelumnya di rumah-rumah penduduk dan
kemudian pagi-pagi berangkat bersama-sama berjalan menuju Parombean, dengan barang bawaan mereka
masing-masing. Di satu titik mereka akan singgah dan membuka bekal
masing-masing. Jadinya semacam piknik gitu ya. Sepertinya seru banget ya?!!
Tapi saya bersyukur banget kok sudah ada jalan yang bisa dilalui mobil untuk
masuk ke daerah tersebut, gak terbayangkan jika harus berjalan kaki di
saat-saat berpuasa seperti ini.
Ada juga cerita jika memasuki desa
tersebut, para bangsawan (yang punya gelar andi’, puang, petta, dll) harus
melepaskan gelarnya di sana, dan jika memasuki desa tersebut sedang menaiki
kuda, wajib turun dari kudanya dan berjalan kaki masuk. Jika melanggar biasanya
para bangsawan tersebut tidak bisa lagi keluar dari desa itu. Pasti meninggal
di desa itu. Sudah banyak kejadian seperti itu dulunya... jadi ya percaya gak
percaya si... hehehe
Jika ditanyain kok bisa seperti itu?
Sayangnya gak ada yang tahu hanya sekedar dugaan saja...
Nah lanjut ya, pas belok itu di jalan
menuju Desa Parombean itu kita disuguhkan pemandangan rumah-rumah penduduk yang
asri dengan bunga berwarna-warni dihalaman mereka, bahkan ada bunga anggrek
bulan yang ditanam di dalam keranjang sampah yang di beri sabuk kelapa, dan
juga ada bunga matahari!!! Lalu pemandangan berganti, kita melewati kebun cokelat,
cengkeh, dan merica secara bergantian. Ada juga si kebun cabe dan kopi. Dan
dibeberapa halaman rumah penduduk mereka menanam buah markisa.
Awalnya jalanan lumayanlah seperti ini |
Si kerbau yang cukup lama menghalangi jalan kami, bahkan setelah berapakali di klakson dia tetap kekeuh di tengah jalan. |
Lama-lama jalan seperti ini .___. |
Saat sampai di rumah Nenek Parombean, saya pun berkenalan dengan keluarga Pai yang ada di sana..
Setelah menyimpan barang tidak terasa
telah tiba waktu berbuka, kami pun dengan ucapan Bismillah dan rasa syukur
menyeruput teh hangat dan menyantap kue-kue yang telah disediakan. Cuaca mulai
mendingin, setelah solat Magrib, mengganti pakaian yang lebih tebal, kami pun
makan. Setelah itu kami mengobrol, saya lebih banyak mendengarkan saja, lalu
kemudian pergi tidur. Pakaian tebal plus kaos kaki dan ditutupi lagi dengan
selimut tebal sambil berpelukan barulah saya benar-benar dapat tertidur,
meskipun dingin masih tetap merayap masuk...