Kisah Kedua: Sebuah Huru-hara di Akhir Juni

January 29, 2022

Kita bisa berencana tetapi tuhanlah yang menentukan. Sering kita mendengarkan kalimat itu bukan? Sering juga kubercerita tentang aku yang memiliki trauma melahirkan, karena itulah setelah 4 tahun berlalu barulah kumerasa siap untuk memberikan Ghaza seorang adik. Qadarullah sebulan setelah ulang tahun Ghaza yang ke-5 aku pun hamil.

Merasa tak mau bersusah payah lagi menanti pembukaan lengkap tetapi ujung-ujungnya SC juga karena masalah medis, aku pun berniat untuk melahirkan secara SC saja dikehamilan kedua ini. Kecuali dokter bisa menjamin aku tak bakalan SC setelah pembukaan lengkap lagi... tapi itu diluar kuasa manusiakan...


HPL-ku akhir Agustus, aku dan Pai pun berencana untuk memilih tanggal 21 atau 25 Agustus. Pai bahkan sudah mengajukan cuti melahirkan untuk bulan Agustus. Saat itu masih tersisa 2 bulan lagi sebelum waktu melahirkanku. Baju bayi dan peralatan melahirkan juga belum kami persiapkan karena merasa masih banyak waktu untuk itu...



Gambar hanya pemanis

24 Juni 2021, aku terbangun di pagi hari dengan pinggul dan panggul yang terasa amat sakit. Aku bahkan sempat berkata kepada Pai kenapa ya kok rasanya aku sudah mau melahirkan. Saat itu Pai menawarkan diri untuk tidak ke kantor tapi ku menepis firasat tak enak itu dan melepasnya ke kantor dengan catatan Hp-nya harus dalam keadaan bisa dihubungi. Nanti di sore hari kami berniat mengontrol kandunganku ke dokter karena memang dari kemarin kumulai pendarahan lagi dan sering mengalami kontraksi palsu.


Seharian itu aku hanya berbaring mengistirahatkan diri sambil sesekali mengelus perutku dan berbicara dengan anakku di dalam sana untuk tumbuh dengan sehat dan kuat, juga agar dia jangan segera lahir. Waktunya belum tiba, masih ada 2 bulan lagi, jangan dulu lahir karena bundanya ini belum mempersiapkan apapun. Jangan dulu lahir, karena belum tentu semua organnya telah sempurna...

Sore hari berlalu, rencana untuk ke dokter diundur ke malam hari karena ada tugas di kantor yang tidak bisa Pai tinggalkan. Malam pun datang tapi Pai belum juga pulang dari kantor, bahkan hp-nya tak bisa dihubungi. Kesal dan cemas, ku hanya bisa berpasrah sambil membaringkan diri, memohon dalam hati agar tidak melahirkan. Agar semuanya baik-baik saja. Lalu kontraksi yang konstan itu pun di mulai...

Jujur saat itu kejatuhan mentalku dimulai... Gelombang demi gelombang rasa sakit yang konstan datang, tak bisa menghubungi Pai, kecemasan dan ketakutan yang semakin menumpuk. Pai dimana? Apa dia baik-baik saja? Kenapa hp-nya tidak bisa dihubungi? Dia tidak kecelakaankan? Apakah anakku akan baik-baik saja? Apa lebih baik ku pergi sendiri saja ke rumah sakit?

Ketika Pai datang, rasanya ku ingin mengumpat dan mengomel panjang lebar tetapi tak memiliki tenaga untuk itu. Aku malah berusaha untuk menyangkal bahwa akan melahirkan dan memilih berbaring dan mengatur pernapasan saja. Tapi gelombang itu malah semakin cepat dan sakit...

Saat itu sekitar jam 10 malam, dengan menggunakan taksi online kami pun menuju ke Rumah Sakit dimana aku melakukan kontrol kehamilan selama ini. Selama perjalanan aku masih bisa duduk tenang meskipun gelombang itu datangnya makin sering, hanya tangan Pai yang kucengkram kuat-kuat.

Setiba di rumah sakit, kami menuju UGD. Langsung dipersilahkan duduk oleh suster yang bertugas dan ditanyai apa keluhanku. Aku yang saat itu kesakitan tak bisa duduk tenang, memilih untuk berdiri dan mengatakan bahwa sepertinya sudah akan melahirkan. Susternya pun menanyakan namaku, nama dokterku, usia kandungan, kapan terakhir haid, dan entah masih banyak lagi. Yang tentu saja yang bisa kujawab dengan tepat hanya 3 pertanyaan pertama, kusudah tak bisa mengingat apapun karena rasa sakitnya. Apa mereka tak punya rekam medisku? Lalu ku dipersilahkan untuk ditimbang kemudian berbaring untuk dicek pembukaanku.

Dan ya disinilah mentalku benar-benar hancur lebur. Dalam posisi berbaring dan kaki mengangkang, sakit yang datang dan pergi, serta suster yang berusaha memasukkan tangannya untuk mengecek pembukaanku... seperti aliran listrik dari vagina ke kepala, rasa sakitnya membakarku. Suster mengomel menyuruhku tenang karena tak bisa melaksanakan tugasnya, Pai yang mengusap-usap kepalaku, dan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Suster hilir mudik, pertanyaan demi pertanyaan, demi anak di dalam sana kata mereka yang jujur saat itu tak lagi kupedulikan. Yang ada saat itu adalah rasa sakit yang tak tertahankan.

Aku meminta SC! SEGERA! Tolong keluarkan anak ini. Tolong sudahi sakit ini. Lalu Rumah Sakit itu tiba-tiba mengatakan tak ada inkubator yang tersisa milik mereka, mereka mengarahkan kami untuk ke RS L atau RS A. Karena RS L adalah RS umum, meskipun jaraknya lebih dekat tapi dengan adanya covid ini, kami memilih pergi ke RS A yang lebih jauh tapi adalah Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak. Jangan tanya bagaimana aku bisa diajak mengambil keputusan saat itu, aku pun tak ingat, mungkin Pai yang mengambil keputusan saat itu.

Entah, mungkin aku yang terlalu banyak menonton serial dokter US dan Korea, sehingga berekspektasi terlalu tinggi. Aku kira saat mereka menyarankan pindah Rumah Sakit, mereka akan mengantarku dengan ambulans. Nyatanya kami dipersilahkan berangkat sendiri. Kembali menggunakan taksi online kami pun berangkat menuju RS A. Sepanjang jalan aku berulang kali berteriak karena sakit yang sangat, berulang kali meminta maaf kepada Bapak Pemilik Taksi Online, mencengkram pegangan di atas pintu mobil dan juga tangan Pai. Untunglah Bapak pemilik mobil itu sangat baik, sama sekali tidak mengomel malah balik menenangkanku setiap kali kumeminta maaf.  Entah bagaimana kondisi mobilnya karena saat itu aku dalam keadaan tak lagi memakai dalaman padahal darah sudah mulai ke luar.

Haaaa... jujur, membutuhkan waktu sangat lama hingga kubisa merampungkan cerita ini. Sangat sulit menuliskannya. Proses melahirkanku kali ini menimbulkan trauma, melahirkan Ghaza rasanya tak ada apa-apanya. Kembali mengenang kejadian kali itu membuat dadaku sesak sehingga sulit untukku bernapas, tanganku pun gemetaran.


Sesampai di RS A, aku langsung dipersilahkan berbaring sementara Pai mengisi data. Lalu proses pengecekan pembukaan dimulai kembali; suster hilir mudik, omelan demi omelan, Pai yang berusaha menenangkanku, aku yang berteriak, aku yang meminta maaf ke suster dan bidan karena tak bisa tenang dan kooperatif saat diperiksa, rasa sakit, rasa sakit, rasa sakit yang semakin memuncak. Dan duar seperti balon yang meletus, air ketubanku menyembur. Suster basah, aku pun kuyup dengan darah, air dan lendir, dan ya jangan lupakan rasa sakit itu.

Suster dan dokter berusaha menasehatiku, ayo bu tenang demi anak ibu di dalam sana, ayo bu tenang periksa pembukaan ini penting agar posisi bayi ketahuan agar tindakan selanjutnya bisa diambil, ayo bu tenang lahir normal sangat mungkin karena bayi kecil selama posisinya tepat, ayo bu... Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, mentalku sudah hancur.

Yang ada saat itu adalah rasa sakit. Sakit yang sangat sakit. Seperti komik neraka yang kubaca saatku SD, tentang pendosa yang diikat kedua kaki dan tangannya lalu ditarik hingga tubuhnya tercabik menjadi empat bagian, lalu tersambung kembali untuk kemudian dicabik kembali, begitulah mungkin yang kurasakan saat itu. Aku ingin mereka mengakhirinya. TOLONG!!!

Dokter kemudian mengiakan permohonan SC ku karena khawatir air ketuban telah mengering. Suster membantu melepas pakaianku, kemudian membersihkan tubuhku yang terbaring telanjang di atas ranjang rumah sakit yang digenangi darah dan lendir dari ketubanku. Sudahkah kubilang kami belum mempersiapkan apa pun? Itu termasuk sarung, baju ganti, baju bayi, dan ya kami ke rumah sakit itu tanpa membawa apapun. Aku juga tak mengambil pusing hal itu, terserah orang melihatku telanjang, kotor berkubang darah dan lendir, rambut awut-awutan dan lengket, dan air mata yang tak henti mengucur, rasa sakit tak tertahankan itu membuatku mati rasa terhadap apa pun kecuali rasa sakitnya.

Mengkhawatirkan anakku bahkan tidak. Aku hanya ingin tak merasakan apa pun...

Lalu semuanya terasa samar, aku dipakaikan baju operasi, dituntun ke ruang operasi, dibaringkan, dan akhirnya disuntikkan obat bius.

Dengan menghilangnya rasa sakit, perlahan kewarasanku kembali, aku mendengar dokter yang berkutat mencari posisi bayiku, aku merasa organku yang diobok-obok dalam prosesnya, dan aku bisa kembali berdoa dan mengkhawatirkan bayiku... Aku juga sempat mengeluh susah bernapas saat merasa beberapa organ didorong ke atas dan menghempit paru-paruku...

"Duh belum pi kudapat kepalanya."
"Nah, kudapat mi."
"Astaga kecilnya dok."
"Berat 1,9kg dok, nangis ji tapi kecil sekali."
Dan sederetan percakapan yang kutangkap saat itu..

Bayi laki-lakiku lahir di usia kandungan 30 minggu pada hari Jumat, tanggal 25 Juni 2021, jam 00.40.

Tentu saja harapan untuk IMD tidak bisa dilaksanakan. Jahitanku ditutup, aku pun dipindahkan ke ruang pemulihan...

Saat itu sambil mendorongku, perawat berkata, "Ai dak bisa meki lahiran normal ini Bu, harusmi SC lagi."
"Dak mau ma hamil lagi!" kataku dan air mata pun bergulir hingga kuterlelap...


You Might Also Like

1 Comments

  1. perjuangan yg luar biasa, aku yg bacanya aja ngilu dan sakit T.T
    bagaimana ini~

    ReplyDelete

Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.