Saat Ghaza berusia sekitar dua tahunan, aku dilanda depresi. Saat itu ada malam-malam panjang yang kuhabiskan dengan menangis, hari-hari terasa melelahkan dan yang ingin kulakukan hanyalah meringkuk mengasihani diri sendiri. Aku merasa tidak berarti, tidak cukup dicintai, menjadi semakin bodoh saja hari demi hari karena hanya menjadi sekedar Bunda Ghaza.
Merasakan hal itu membuatku merasa sangat egois dan seorang ibu yang buruk. Maka aku menghakimi diriku sendiri dan membuat depresiku semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi saat itu berat badan Ghaza stagnan dan dia belum lancar berbicara. Ya, aku seharusnya tidak menjadi ibu, begitu yang kupikirkan saat itu. Aku ibu yang gagal. Tapi di sisi lain, kehadiran Ghaza saat itu yang membuatku bisa "agak waras" dan tidak melakukan hal-hal aneh, meskipun hal itu sangat sering terpikirkan.
Alhamdulillah hal itu mereda (tidak yakin bila mengatakan aku sembuh) dan hidupku sekarang menjadi baik-baik saja. Aku bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa aku ibu yang baik untuk Ghaza dan Sang Pemiliki Segala tidak akan memberikanku amanah berupa anak yang luar biasa sepertinya jika Dia merasa aku tidak mampu. Aku juga punya pasangan luar biasa, yang bersamanya kami terus belajar menjadi orangtua. Meskipun begitu tetap saja aku merasa khawatir, bagaimana jika kematangan emosi Ghaza ikut terganggu? Bagaimana jika dia tumbuh dengan tak bahagia? Apa yang harus ku lakukan? Karena saat emosiku tidak stabil itu kadang dia memergokki ku menangis sesegukkan di malam hari. Dan saya rasa seorang anak punya kepekaan yang luar biasa, secerdik apa pun orangtuanya menyembunyikan perasaannya, mereka akan tahu juga.
Karena itu saat dibuka sesi tanya jawab di workshop Grow Happy Parenting: Happy from the Inside Out bersama Nestle LACTOGROW, aku pun menanyakan kepada Psikolog Elizabeth Santosa, M.Psi, Psi, SFP, ACC perihal tersebut.