Sebelum
menjalaninya sendiri, menyusui di kepalaku sebatas menyodorkan payudara ke
mulut bayi, kemudian meyakini dengan bahagia bahwa ASI itu mencukupi
kebutuhannya. Mudah, gampang, dan murah.
Saat
hamil aku memang sudah berusaha membekali diriku perihal ASI dan menyusui dari
berbagai sumber yang bisa kudapatkan. Aku ingin memberikan ASI eksklusif untuk
Ghaza, aku ingin dia mendapatkan yang terbaik dariku!!! Hal itu yang terus
kutanamkan di kepalaku.
Tiba
saat melahirkan, semua yang kupelajari itu BUYAR!!! Aku tidak IMD dan makanan
yang pertama Ghaza cicipi adalah sufor. Tak ada pembenaran atas apa yang
kulakukan, semuanya terjadi karena ketololan dan keegoisanku semata (saat itu
terjadi aku mencari banyak pembenaran atas tindakanku, semakin ke sini, aku sadar
ini semata keegoisanku saja). IMD tidak terjadi karena aku memilih tertidur
setelah Ghaza lahir, juga dokter sama sekali tidak menawarkannya kepadaku. Aku
menjadi terlalu nyaman dengan obat bius yang disuntikkan sehingga menjadi
begitu pasif. Ya saat itu aku bertanya-tanya mengapa tak IMD tapi memilih diam
saja.
Baca juga ^^ Melahirkan, Antara Harapan dan Kenyataan & Melahirkan, Antara Harapan dan Kenyataan part 2
Sama
halnya ketika Ghaza diberi sufor setelah itu, sekali lagi aku memilih diam dan
dalam hati merasa prihatin karena ia mencicipi sufor (okelah sufor bukannya
racun tapi ini perihal komitmenku sedari awal). Entah, saat itu aku merasa
bukan diriku, seakan-akan aku yang asli melayang-layang dan hanya bisa
mengamati tubuhku yang bertindak mangut-mangut saja.
Keesokan
harinya, saat perlahan-lahan pengaruh obat biusnya menghilang, aku pun mulai
merasakan sakit. Ini sama saja dengan penantian panjang menunggu pembukaan
lengkap yang kualami semalam. Sama-sama sakit tetapi dengan rasa yang berbeda.
Ini terasa perih luar biasa. Saat itu aku hanya memikirkan bagaimana menjadi
terbiasa dengan rasa perih ini dan kapan keteter serta infus ini dilepas
sehingga aku boleh bergerak, turun dari tempat tidur dan menggendong Ghaza.
Maka aku membiarkan Ghaza mencicipi sufor lagi. Padahal aku tahu bayi yang baru
lahir punya cadangan makanan selama 72 jam, sehingga ia mampu bertahan sembari
menunggu keteter dan infusku dilepas. Dan hey, bahkan tanpa menunggu itu
dilepas pun, seharusnya aku bisa langsung menyusuinya~ Lalu mengapa aku membiarkannya?
Entah… aku masih bertindak pasif dan mungkin masih trauma dengan proses melahirkanku.
Tepat
24 jam setelah SC, akhirnya keteter dan infusku pun dilepas, dengan menguatkan
diri menahan perih dan dengan keras kepala aku turun dari tempat tidur.
Terbungkuk-bungkuk mencoba berjalan lalu duduk dan meminta Pai meletakkan Ghaza
di pelukanku. Dan mulai menyusuinya.
Alhamdulillah
menyusui kali pertama itu berjalan lancar. Apa yang orang-orang katakan
mengenai betapa romantisnya menyusui itu ternyata benar. Sambil mendekapnya,
aku merasakan detak jantung kami seirama, dia menatapku, dan aku menatapnya.
Pandangan kami terkunci. Aku tersesat dalam tatapannya, dia tersesat dalam
tatapanku, aku seketika merasa penuh, bahagia tak terkira sekaligus merasa haru
tak terperi. Dan dia pun terlelap dalam pelukanku.
Esok
harinya, aku menyusuinya kapan pun ia menangis. Drama dimulai saat malam hari, bermula
ketika Ghaza mulai terlihat gelisah. Terkadang ia menolak di susui dan lama
kelamaan tangisnya semakin kencang. Saat itu hanya ada kami bertiga. Suster pun
sempat masuk karena mendengar suara Ghaza yang menangis terus menerus. Di saat
itulah aku mulai merasa panik! Kehadiran suster itu yang menanyakan ada apa
dengan bayiku, mungkinkah sakit perut, apakah ASIku sudah keluar, membuatku
merasa disudutkan. Aku takut di vonis tidak memiliki ASI, aku takut Ghaza
diberi sufor lagi, aku takut ternyata tidak becus menjadi ibu. Iya, saat itu
pikiran buruk merasukiku. Pada akhirnya Ghaza tenang dan tertidur pulas, aku
pun bisa bernapas lega, meskipun pikiran buruk itu masih menghantui.
Tengah
malam, Ghaza terbangun dan menangis lagi. Ia segera kugendong dan kususui. Hanya
sebentar ia menyusu, kemudian melepasnya dan menangis kembali. Kucoba susui
lagi, dia pun menyusu kembali, tapi melepasnya lagi dan menangis lebih kencang.
Pola itu berlanjut terus hingga pagi hari. Bergantian aku dan Pai
menggendongnya, diselingi beberapa kali kucoba untuk menyusuinya. Aku panik!
Rasanya hatiku teriris-iris mendengar suara tangisnya. Aku lelah, mengantuk dan
perutku terasa semakin perih. Terkadang karena kelelahan, Ghaza tertidur dalam
gendongan kami, lalu terjaga kembali dan masih terus saja menangis. Aku
langsung menduga ia kelaparan! ASIku tak cukup! Ia, buyar semua hal-hal yang
kupelajari. Meskipun ketika kucoba perah, ASIku keluar, aku merasa itu mungkin
terlalu sedikit. Anakku kelaparan!!!
Aku
akhirnya turut menangis bersamanya dan meminta Pai membuatkan susu untuknya.
Ya, aku menyerah. Tapi di kamar kami tidak memiliki air hangat dan setahu kami
membuat susu diperlukan air hangat. Pai berusaha menenangkanku sembari ia menggendong
Ghaza. Saat itu aku begitu panik sehingga takut menggendongnya. Ketika matahari
terbit barulah Ghaza tertidur. Saat itu aku sudah dipenuhi pikiran kalau ia
kelaparan, sehingga tetap meminta Pai membuatkan Ghaza susu saat air hangat
telah kami dapatkan. Dan sebotol sufor pun masuk lagi di tubuhnya.
Ketika
tanteku datang, aku pun bercerita perihal semalam. Ia pun mengajariku untuk
tiap 3 jam sekali, menyusui Ghaza, meskipun saat itu dia tertidur, bangunkan
saja sebentar untuk menyusui, karena bayi mudah lapar katanya.
Setelah
cukup tidur dan merasa tenang, aku mengingat apa saja yang telah kupelajari
mengenai menyusui. Aku ingat kalau lambung bayi yang baru lahir hanya sebesar
buah anggur, karena itu mereka hanya membutuhkan sedikit ASI dalam sekali minum,
tapi dengan frekuensi yang sering. Ini sejalan dengan apa yang tanteku
sarankan. Hari itu Ghaza banyak tidur, aku membiarkannya tidur begitu saja dan
hanya menyusuinya ketika menangis. Mungkin malamnya dia sangat kelaparan
sehingga menjadi sangat gelisah.
Aku
juga mengingat bahwa keadaan di dalam kandungan begitu tenang, begitu damai,
ketika bayi lahir, ia dihadapkan pada keadaan yang jauh berbeda dengan saat ia
dalam kandungan. Ia butuh beradaptasi. Dan bentuk komunikasi bayi ya cuma itu,
menangis. Mungkin ia ketakutan, merasa asing, dan hanya butuh ditenangkan.
Sialnya, aku yang seharusnya menenangkannya malah ikutan panik, cemas,
khawatir, sehingga semakin menjadi-jadilah tangisnya. Apalagi sebelumnya, kami
kedatangan banyak pengunjung. Ia digendong berganti-gantiian, kamar kami bising
oleh percakapan. Aku menduga saat itulah ia mulai merasa tidak aman. Belajar
dari kejadian malam itu, aku mencoba tidak gampang panik dan menghadapi
semuanya dengan tenang. Apakah berhasil?
Setelaha
prahara itu (asik, lebay dikit gak apa dong ya), alhamdulillah hingga kini telah berusia 9 bulan, Ghaza tidak
pernah lagi menegak sufor. Aku si berharap ia masih menyusui hingga berusia 2
tahun. Tapi drama menyusui memang tak ada habisnya…
Aku
mengalami hal-hal yang dialami seorang ibu. Malam-malam panjang dengan waktu
tidur yang sedikit. Badan pegal karena terus-terusan tidur hanya disatu posisi
karena Ghaza terus menyusui sepanjang malam. Kehausan dan kelaparan terus
menerus. Susahnya melepaskan diri dari si bayi yang terus menyusu, sehingga disuatu titik aku merasa diserap habis. Juga payudara yang membengkak dan
sakitnya minta ampun.
Kadang
aku tergoda memberikan Ghaza sufor, jika sudah begitu lelah, rasanya ingin
meledak, butuh sendirian tetapi ia menempel terus, menyusu terus. Dengan sufor,
aku bisa bebas menitipkan Ghaza jika ingin menyendiri, bersantai sejenak, atau
pacaran dengan Pai tanpa perlu khawatir ia kelaparan. ASIP memang bisa sebagai
alternatif tapi mempumping butuh perjuangan yang lebih lagi. Jadwal ketat yang
harus ditepati, ketekunan dan kesabaran menunggu botol ASIP terisi,
mensterilkan botol-botol, mencatat waktu dan tanggal. Aku malas. Rasanya
hidupku hanya seputar itu saja. Belum lagi jika hasil pumping-nya tak sebanyak
harapan, bisa-bisa menimbulkan rasa pesimis dan jatuhnya payudara tidak
memproduksi ASI karena stress. Aku memang tetap mempumping, tapi hanya jika
payudaraku terasa penuh saja. Resikonya, ya aku dan Ghaza jarang lepas. Tapi positifnya bonding kami kuat.
Seiring
berjalannya waktu, aku semakin menikmati menjadi ibu. Juga proses menyusui ini.
Bukan hanya Ghaza yang tak bisa lepas dariku, aku pun tak bisa berpisah terlalu
lama dengannya. Dan ya, sekarang dia memang selalu ikut kemana pun aku pergi…
Nikmati saja, nanti ada masa dia sudah tak mau lagi terus-terusan bersama
bundanya ini. Nikmati saja…
Ah
ya, perihal menyusui ini begitu sensitif untuk diperbincangkan. Postingan ini
tidak ada niat untuk menyinggung ibu-ibu yang memberikan sufor terhadap
anaknya, aku yakin semua ibu tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Dan untukku,
untuk Ghaza, ASI adalah hal yang wajib kuberikan untuknya, hal yang terbaik
buatnya.
Sedikit
pesan untuk ibu yang sedang hamil, pelajarilah tentang menyusui dari sekarang.
Lahaplah informasi terpercaya mengenai ASI dan menyusui. Jika pun pada awalnya
kamu melupakan semua yang telah kau pelajari, insyallah pada akhirnya kamu akan
kembali mengingatnya. Karena menyusui memang dengan keras kepala dan hati baja.
Oh ia, dukungan keluarga, terutama suami sangat berperan besar dalam hal
menyusui ini. Usahakan bukan hanya kamu yang belajar tetapi suamimu juga.
Well, happy breasthfeeding mom :*