Dua Belas Pasang Mata
January 30, 2015
Nijushi No Hitomi
By Sakae Tsuboi
Copyright @ 1952
Koichi Kato
All rights reserved
Dua Belas Pasang Mata
Alih bahasa: Tanti
Lesmana
Desain dan ilustrasi
sampul: Yulianto Qin
Hak cipta terjemahan
Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Diterbitkan pertama
kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
248 hlm; 20 cm
Sebagai guru baru, Bu
Guru Oishi ditugaskan mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Di sana dia
belajar memahami kehidupan sederhana dan kasih sayang yang ditunjukkan
murid-muridnya. Sementara waktu berlalu, tahun-tahun yang bagai impian itu
disapu oleh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Perang memorak-porandakan
semuanya, dan anak-anak ini beserta guru mereka mesti belajar menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman.
Adalah
sebuah desa yang sederhana di Laut Seto dengan mayoritas masyarakatnya adalah
petani dan nelayan. Penduduk desa itu jumlahnya hanya sekitar seratus keluarga,
dan desa tersebut terletak di ujung sebuah tanjung yang panjang, sehingga
teluknya tampak seperti danau. Karenanya, orang-orang desa yang hendak pergi ke
kota-kota dan dusun-dusun di seberang teluk mesti menggunakan perahu, atau
berjalan memutar di jalur setapak yang panjang dan berliku-liku melintasi
perbukitan.
Berhubung
desa itu sangat terpencil, anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah dasar
belajar di sekolah cabang yang ada di sana, selama empat tahun pertama. Setelah
naik ke kelas lima, untuk pertama kali barulah mereka diperbolehkan pergi ke
sekolah desa utama yang jauhnya lima kilometer.
Sejak
dulu sekolah cabang itu memiliki dua orang guru: seorang guru laki-laki yang
sudah sangat tua, dan seorang guru perempuan yang masih sangat muda. Guru tua
itu tinggal di ruang jaga malam di sebelah ruang kelas, sedangkan guru
perempuan yang masih muda mesti menempuh jarak jauh kesekolah setiap hari. Guru
yang tua mengajar anak-anak kelas tiga dan empat, sedangkan guru yang muda
mengajar anak-anak kelas satu dan dua.
Hari
itu, seorang guru muda yang baru akan datang mengajar. Guru muda yang
ditugaskan mengajar di sekolah cabang itu biasanya adalah anak yang baru saja
lulus SMA, “setengah matang”. Semua
orang menanti-nantikan kedatangan guru baru tersebut. Apalagi anak-anak yang
sudah besar, yang telah bersekolah di sekolah utama, mereka tidak sabar untuk
bertemu di jalan dengan si guru baru dan menggodanya. Tapi tak disangka-sangka,
guru baru itu, Bu Guru Oishi membuat mereka semua (warga desa, Pak Guru, murid
lama dan baru) terkejut. Bu Guru Oishi teramat mungil dan memakai pakaian barat
juga menaiki sepeda ke sekolah, belum lagi dia ternyata adalah lulusan sekolah
guru wanita, bukan dari SMA biasa. Bersamanya ia membawa banyak perubahan dan
kemodern-an meskipun pada awalnya ia sering disalah pahami.
Pada
bab-bab pertama, buku ini mengingatkan saya pada kisah Anne-nya L.M Montgomery,
saat-saat ia menjadi guru, menghadapi kenakalan anak-anak didiknya dan ketidaksukaan
masyarakat terhadap orang asing. Juga tentang pribadi masing-masing muridnya
tentu saja… Hal yang paling membuatku tersentuh adalah adegan kedua-belas murid
Bu Guru Oishi yang diam-diam menempuh jarak yang sangat jauh untuk menjenguk
beliau yang sedang sakit.
Setelah
itu kisah akan melompat ke lima tahun kemudian, Bu Guru Oishi yang pindah
mengajar ke sekolah utama bertemu lagi dengan sebelas muridnya, seorang lagi
tinggal kelas. Anak-anak itu telah bertumbuh di tengah suka cita dan
kesedihan-kesedihan mereka sendiri. Mereka tumbuh sewajarnya tanpa menyadari
bahwa saat ini mereka berada di tengah-tengah gelombang sejarah yang mahabesar.
Mereka tidak tahu apa yang menanti di depan sana…
Pada
bagian ini kisah di buku mulai terasa suram dan memilukan, Jepang saat itu
sedang bergolak, bermula empat tahun lalu 15 Maret 1918 dan 16 April 1919
banyak orang Jepang menuntut kemerdekaan bagi rakyat serta merencanakan
reformasi dipenjara oleh pemerintah yang menekan gagasan-gagasan progresif.
Disusul bencana kelaparan di Honshu Utara dan Hokkaido, kemudian insiden
Manchuria dan Shanghai dan beberapa lelaki dari desa tanjung dipanggil untuk
menjadi tentara. Dan tidak lama kemudian, semua orang di kedua desa mulai
merasakan dampaknya, tidak terkecuali Bu Guru Oishi dan kedua-belas muridnya.
Hingga puncaknya pada tahun 1945, ketika Jepang menyerah kepada sekutu.
Bagaimanakah kehidupan Bu Guru Oishi dan
kedua-belas muridnya?
Mampukah mereka bertahan di tengah
kekejaman perang?
Dan mampukah mereka melanjutkan hidup
setelah perang itu berakhir?
Buku
ini beralur superlambat dengan banyak deskripsi di sana-sini, kalau kataku sih
khas tulisan orang Jepang banget, tapi mungkin akan terasa membosankan untuk
sebagian orang. Bagiku tipe buku semacam ini memang untuk dibaca pelan-pelan,
bukan sekali duduk langsung tamat.
Buku
ini sangat antiperang. Melalui mata kedua-belas anak yang polos, kita
diperlihatkan kekejaman dan ketidakmanusiawian perang. Juga melalui mata
seorang perempuan, seorang ibu dan istri, yang paling berat merasakan dampak
perang, kehilangan suami, bahkan mungkin anak laki-laki, dan harus membanting
tulang menghidupi anggota keluarga yang tersisa saat dan setelah perang.
Mungkin terlihat naif, tapi buku ini memang hanya memperlihatkan
ketidaksetujuan pada perang dan kecintaan murni pada umat manusia. Kau tidak
akan menemukan hal-hal tentang mengapa perang terjadi atau perang yang dapat
dibenarkan di buku ini. Tapi hey?! Bukankah begitulah seharusnya? Mengapa kita
saling merampas dan membunuh???
Melalui
buku ini, saya juga belajar bahwa berlangsungnya perang dan penjajahan juga
menyulitkan masyarakat yang tinggal di negara yang memulai perang dan
penjajahan tersebut, tidak hanya oleh masyarakat yang diperangi/dijajah. Lalu
sebenarnya perang itu untuk apa? Nafsu menguasai dan merampas itu untuk apa?
Sebuah
karya yang bagi saya teramat menyentuh~
“Seandainya masa depan yang menunggu anak lucu ini hanyalah perang, lalu apa artinya memiliki, mencintai, dan membesarkan anak-anak? Mengapa orang tidak diperbolehkan menghargai nyawa manusia dan mencegah supaya mereka tidak mati kena peluru serta hancur berkeping-keping? Apakah menjaga ketentraman umum berarti melarang kebebasan berfikir, bukannya menghargai serta melindungi nyawa manusia?”
_Halaman 186
Terimakasih
untuk Tante Monster Pipi yang telah menghadiahkan buku ini kepada saya ^^
13 Comments
hmmm.
ReplyDeletemungkin sama seperti buka dan film-film romance jepang kebanyakan: alurnya super....lambat.
btw, oishi itu artinya kan enak?
Ia khas orang Jepang kali ya ^^ padahal mereka orangnya "terburu-buru", tidak ada waktu yang terbuang percuma.
DeleteEh ia ya artinya enak? Entahlah~ hehehehe
kalau menurut aku justru sepertinya tidak seperti itu ?
Deletekarena dari kebanyakan aku lihat sejarah sejarah dulu di jepang kalau mereka memang sangat mementingkan waktu akan tetapi mereka juga berjalan pelan karena ingin memastikan kemenangan dan berbagai hal yang dapat membuat mereka untung. layaknya pelayan nobunaga oda, hide matsukichi kalau saya gak salah namanya. dia sudah lama berperan bersama oda nobunaga memang cukup lama tapi akhirnya ia berhasil merebut seluruh kekuasaan yang ada saat itu.
ngomong2, followback blog dong :)
ReplyDeletehehehe...
Mau bukunya ahh~
ReplyDeleteAnyway, salam kenal ya. :D
Hay salam kenal juga ^^ semoga bukunya masih ada ya, soalnya aku dibeliin buku ini tahun lalu.
DeleteBerkaitan dengan guru, ada film bagus juga,, judulnya Detachment... menarik itu... haha salam kenal..
ReplyDeleteWah nanti aku coba nonton deh ^^ Salam kenal juga ya ^^
Deletewah bukunya menarik mbak,salam kenal ya :)
ReplyDeleteSalam kenal juga Mbak Defa ^^
DeleteKak, ini masuk kategori buku klasik bukan ya? :D
ReplyDeleteBiasanya beli buku klasik/dongeng gitu di mana? (kalau via online nya)
Gara-gara baca blog ini jadi pengen baca tentang itu :D *racun nih*
Kayaknya belum masuk buku klasik deh ^^
Deletekalau jajan buku online aku biasanya di foboekoe atau @jualbukusastra dan beberapa ol shop di FB ^^
Terus masuknya ke kategori apa nih? Buku terjemahan? ._.
DeleteOke, terima kasih ^^ *brb ke akun itu*
Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.