Mengenang Perempuan Tercantik di Dunia
December 02, 2014Kepahlawanan adalah perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan)
Bagiku dia salah satu
perempuan tercantik di dunia. Tubuhnya yang mungil, rambutnya yang panjang
bergelombang, senyumnya yang lebar menampakkan deretan gigi yang putih, dan
kulitnya yang berwarna kuning langsat menarik perhatian siapa saja; orang
dewasa maupun anak-anak, lelaki maupun perempuan. Dalam hati, aku selalu
berharap suatu hari kelak bisa secantik dirinya.
Selayaknya perempuan
lainnya, dia sangat suka bersolek. Melakukan perawatan tubuh ini dan itu dan
setiap pagi meminum jamu buatan langganannya. Aku dan kakakku pun tak luput
dari itu. Sedari kecil rambut kami terbiasa diolesi minyak kemiri atau minyak
kelapa yang dia buat sendiri. Kulit kepala kami dipijat-pijatnya lembut dan
minyak itu dibalurkannya dari kulit kepala hingga ujung rambut. Kadang juga dia
akan memetik lidah buaya yang ia tanam sendiri dan menggosok-gosokkannya di
kepala kami sebelum mandi. Jika dia melakukan itu, aku akan protes keras dan
berusaha lari. Aku sangat tidak menyukai bau tanaman itu, sakkulu’(bau ketek),
membuatku ingin muntah. Tapi dia yang telah mengetahui gelagatku, telah
terlebih dahulu mengunciku dalam pelukannya dan membuatku tak bisa kemana-mana.
Itu baru rambut, belum badan kami yang setiap minggu akan dilulur dengan lulur
racikannya atau pun lulur yang dibeli di toko. Tak bisa kusangkal dari dialah,
aku belajar merawat dan menghargai tubuhku sendiri. Katanya, dengan merawat
tubuh, kita mensyukuri dan menjaga pemberian Tuhan.
Lucunya, meski pun
sangat suka bersolek dan menerapkan hal tersebut kepada kami, dia tidak pernah
melarangku bermain-main sepuasnya di bawah terik sinar matahari, bermain hujan,
turun kerawa-rawa menangkap ikan, memanjat pohon, dan bermain air ketika
banjir. Dia merasa meskipun merawat tubuh penting, bertualang dan memuaskan
rasa ingin tahuku pun penting. Dan ya memang, dia jarang melarangku melakukan
apa pun yang aku inginkan. Dia menemaniku dan membiarkanku merasakan resiko
dari semua keinginanku, baru setelah itulah kami duduk berbincang tentang benar
dan salahnya. Salah satu kebiasaan bersamanya yang sangat kurindukan saat ini.
Dari mata seorang anak
kecil saat itu, dialah ibu terhebat sedunia!!!
Telinga yang selalu ada
untuk mendengar ocehanku, tawaku, keluhan dan curhatanku, bahkan tangisku.
Lengan yang selalu memelukku jika dibutuhkan. Mata yang selalu awas
mengawasiku. Dan kehadirannya yang selalu membuatku merasa aman.
Ah ya, jika kalian
belum menebak, perempuan yang sedang kuceritakan ini adalah ibuku. Aku
memanggilnya Andi’ (untuk seterusnya aku akan menggunakan sapaan ini). Mungkin
bagi semua orang, ibu adalah sosok pahlawan pertama yang ia kenal dan sangat
berjasa dalam hidupnya. Begitu pun bagiku. Andi’ adalah pahlawan untukku. Seorang
perempuan yang melahirkanku dengan susah payah hingga hampir saja membuatnya
meregang nyawa.
Aku yang mendengar dari
tante maupun sepupuku tentang bagaimana proses kelahiranku berlangsung pun
bergidik ngeri. Diceritakan oleh mereka bagaimana Andi’ harus mengejan begitu
lama karena aku yang menolak keluar padahal air ketuban sudah pecah. Bagaimana
tenaga Andi’ terkuras habis dan aku tetap ngotot belum mau keluar sehingga
suster harus naik ke perutnya dan membantunya mendorongku keluar. Tentang
sumpah yang keluar dari mulut Andi’ untuk tidak mau lagi melahirkan. Hingga
kepanikan ketika aku tidak juga mau menangis saat telah lahir hingga Andi’
menyangka aku telah tiada... Anehnya kisah ini tidak pernah sekali pun kudengar
dari mulut Andi’. Dan mengapa aku tidak menanyakannya? Entahlah... mungkin aku
berfikir masih banyak waktu untuk itu. Hal ini dan pertanyaan apakah ia pernah
merasa menyesal melahirkanku dan pertanyaan-pertanyaan sesederhana apakah dia
mencintaiku, menjadi hal-hal yang tidak lagi bisa kutanyakan padanya.
Kehebohan saat
melahirkanku ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Aku menjadi bayi yang
sakit-sakitan-- yang tentunya memberikan kerepotan dua kali lipat dibandingkan
bayi yang sehat -- dan berujung saat usiaku genap empat bulan, aku tiba-tiba
saja berhenti bernapas dan badanku membiru. Aku pun dibawa kerumah sakit... Tidak
berapa lama kemudian, dokter menyatakan aku meninggal. Bayangkan jika kau
seorang ibu dan bayi yang baru empat bulan lalu kau lahirkan dengan susah payah
meninggal... bagaimana perasaanmu?!! Andi’ bercerita bahwa saat itu dia
langsung pingsan. Lalu terjaga dengan histeris dan melibatkan banyak air mata.
Syukurlah aku kembali, hidup sekali lagi (jangan tanya bagaimana rasanya mati
itu, perihal ini saja aku tahu karena diceritakan).
Abaku (ayahku) mengidap
penyakit diabetes. Diabetes Aba sudah parah, sehingga setiap mau makan harus
disuntik insulin terlebih dahulu. Akan sangat merepotkan jika setiap mau makan
Aba harus ke dokter untuk disuntik sedangkan
untuk mempekerjakan suster di rumah akan menghabiskan terlalu banyak uang. Maka
Andi’ belajar menyuntik pada suster di rumah sakit tempat Abaku pernah dirawat.
Dengan cepat Andi’ sudah ahli melakukannya, bahkan Aba merasa cara Andi’
menyuntik tidak ada rasanya, tau-tau insulin itu sudah mengalir di pembuluh darahnya.
Belum lagi tumit Aba yang bolong karena luka penderita diabetes sangat susah
sembuh sehingga membusuk, harus dibersihkan tiap malam. Dengan telaten Andi’
membersihkannya, membasuhnya dengan air infus, memberinya obat merah kemudian
ia perban dengan rapi. Mengontrol makan Aba dan mengecek kadar gula darahnya
juga dilakukan Andi’ dengan seksama.
Ketika kondisi Aba
semakin menurun dan hanya bisa berbaring saja di ranjang, Andi’ selalu ada di sisinya,
merawatnya dengan sabar. Padahal tak jarang, Abaku karena stres tidak bisa
melakukan apa-apa, bahkan untuk buang air kecil harus dengan bantuan orang lain
dan menggunakan pispot, ia menjadi sering marah-marah dan super duper manja.
Andi’ tetap merawat Aba dengan penuh cinta dan tetap tidak lupa memperhatikan
kebutuhanku dan kakakku. Sehingga saat itu kami tidak merasa diabaikan.
Lalu saat Aba’
meninggal, dia menghadapinya dengan kuat-- untuk kami -- dan menjadi orangtua
tunggal yang luar biasa. Saat-saat itu adalah saat dimana kami (Andi’ dan aku)
menjadi sangat dekat. Sebelumnya, aku adalah putri kecil Aba. Meskipun dekat
dengan Andi’, aku jauh lebih dekat dengan Aba sewaktu kecil. Banyak hal mengasyikkan
yang kulakukan dengan Aba, sementara Andi’ berperan mengajarkan kedisiplinan
kepadaku. Kehilangan Aba, meskipun berat, tapi karena ada Andi’ membuatku bisa
menghadapinya. Sebentara kakakku, saat masuk SMP telah tinggal di rumah tante,
sehingga sepeninggalan Aba, di rumah hanya ada kami berdua. Untuk membunuh
waktu kami menonton TV bersama hingga larut malam, hal yang biasanya kulakuan
berdua dengan Aba. Kadang kami bermain kartu atau pun menggambar bersama. Andi’
sebenarnya tidak pintar menggambar, satu-satunya gambarnya yang bagus adalah
gambar bunga matahari. Pernah, dia menggambar di atas selembar karton bekas
lalu mengguntingya dan menyatukannya kembali sedemikian rupa, sehingga bunga
matahari yang ia gambar itu tegak berdiri. Sangat cantik. Aku memajang
gambarnya itu di atas meja belajarku, bahkan membawanya ke sekolah untuk
kupamerkan pada teman-temanku.
Salah satu ritual kami bersama
adalah tak pernah absen, setiap minggu sekali, mengunjungi kuburan Aba’ sambil
membawa air dan kembang warna-warni yang dipetik sendiri dari taman Andi’.
Bunga-bunga yang dulu Aba belikan untuk Andi’ yang dirawatnya hingga beranak
pinak. Aku senang Andi’ tidak melupakan Aba dan tidak mencari penggantinya.
Padahal jika mau, banyak lelaki yang ingin menjadi suami Andi’. Mungkin bagi
Andi’ posisi Aba tidak tergantikan atau mungkin karena aku, yang digoda sedikit
saja oleh orang-orang perihal ayah baru langsung menangis terisak-isak.
Saat masuk SMP, seringnya
aku sampai di rumah saat hampir mendekati maghrib, itu karena anak kelas satu di
sekolahku masuk siang dan pulang jam lima sore, sementara memang jarak rumah
dan sekolahku terbilang jauh. Ada saat-saat dimana azan maghrib sudah lama
berkumandang baru aku tiba di rumah. Aku sering mendapati Andi’ dengan gelisah
menungguiku di ujung jalan kompleks rumah. Saat melihatnya itu aku dipenuhi
perasaan haru dan sukacita, aku akan berlari mendekatinya, dan dia, setelah melihatku
baik-baik saja, terlihat begitu lega dan menghadiai-ku senyumnya yang lebar
merekah. Dan kami pun bersama-sama berjalan menuju rumah.
Andi’ sakit. Kabar itu
kuketahui ketika sedang mengikuti JUMBARA Daerah (Jumpa Bakti dan Gembira
tingkat daerah, acara PMR) di Soppeng. Aku yang menelpon Ibu (panggilanku untuk
tanteku, saudari bungsu Aba) diberitahukan perihal itu. “Ohhh” itulah
tanggapanku saat itu. Aku merasa Andi’ku yang kuat yang tidak pernah sakit,
palingan hanya flu biasa saja. Lagian saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk
merasa khawatir, aku sedang dalam perlombaan.
Setiba di Makassar dan
mengetahui bahwa Andi’ mengidap kangker payudara bahkan tidak membuatku terlalu
khawatir. Andi’ku kuat, buktinya tidak ada yang berubah pada dirinya. Dia tetap
sama saja seperti biasanya. Ceria, murah senyum, ramah, dan senang tertawa hahaha-hihihi
bersamaku.
Saat saudara-saudaranya
mengetahui penyakit yang diderita Andi’, mereka menginginkan Andi’ segera
berobat ke Jakarta. Maka Andi’ pun berangkat ke Jakarta dan aku tinggal bersama
nenek beserta tante, om dan sepupuku dari pihak Aba. Masa-masa hanya kami
berdua pun berakhir. Aku sangat merindukannya dan pubersitasku memperburuk
segalanya. Setiap liburan sekolah aku memang selalu mengunjunginya di Jakarta,
hal itu mengobati kangenku, tapi melihat keadaanya yang menjalani kemoterapi membuatku
terguncang. Pipinya menjadi tirus, kulitnya menjadi keriput dan kehitaman, rambut
hitamnya yang indah rontok parah, meninggalkan pitak-pitak besar yang
menyeramkan. Ia pun lalu mencukur habis rambutnya dan sambil tersenyum kepadaku
berkata toh rambutnya akan tumbuh kembali setelah kemoterapi ini selesai.
Ada beberapa kali saat
Andi’ tiba-tiba anfal. Hal itu membuatku ketakutan, sangat ketakutan. Meskipun
ini bukan pengalaman baru bagiku, Aba juga sering tiba-tiba anfal, tapi dulu
ada Andi’ ku yang kuat, sebagai tempatku berpegangan. Kini, aku serasa
kehilangan pijakan, tak tahu harus bagaimana. Saat-saat itu aku hanya menangis
dan terus menangis sambil bermohon pada Tuhan untuk tidak mengambil Andi’ku.
Bukankah dia sudah mengambil Abaku?!!
Setelah enam bulan (aku
lupa persisnya berapa lama, bagiku terasa sangat lama), Andi’ku akhirnya
kembali ke Makassar. Operasinya berhasil, meskipun ia kini kehilangan sebelah
payudaranya. Kami tinggal bersama lagi, juga dengan kakakku. Hidup kembali
seperti sedia kala lagi bagiku. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama.
Lama kelamaan Andi’ku
melemah. Ia sering meracau tentang orang-orang yang sudah meninggal juga tentang
hidupnya yang tidak lama lagi. Aku membenci saat-saat itu! Aku tidak suka Andi’ku
saat itu. Anggapanku dia menyerah pada hidupnya!!! Dan aku tidak suka dia
membuatku sedih dengan berbagai ceramahnya jika dia sudah tidak ada lagi. Aku tak
pernah mendengarkan apapun perkataannya dan memilih menjauh, mengunci diri
dalam kamar. Beberapa hal yang kini sangat kusesalkan.
Lalu Andi’ berangkat
lagi ke Jakarta untuk melakukan pengecekan atas penyakitnya. Aku merasa sangat
lega saat itu. Aku sudah sangat tidak tahan berada di dekatnya. Rasanya
menyesakkan dan menyedihkan. Andi’ku yang cantik, yang kuat, yang setiap
melihatnya membuatku merasa aman, kini tak ada lagi. Ia terlihat menyedihkan.
Aku melepasnya di bandara dengan perasaan lega. Aku tidak pernah berpikir itu
saat terakhirku melihatnya. Aku meyakini, Andi’ akan kembali ke Makassar.
Terlebih lagi aku yakin ia akan kembali dengan sosoknya yang seperti dahulu,
seperti sebelum penyakit itu menggerogotinya.
Aku ingat hari itu hari
senin, setelah libur lebaran kini waktunya kembali bersekolah. Aku duduk di
kelas tiga SMP, telah berpakaian rapi dan siap berangkat ke sekolah waktu
telpon rumah berdering. Aku pun mengangkatnya. Dari om ku, setelah tahu yang
mengangkat telpon itu aku, dia mencari kakakku. Aku pun membangunkan kakakku,
tanpa perasaan curiga sama sekali. Kakakku berbicara di telpon lalu kemudian
menangis sedih. Memilukan. Aku segera tahu apa yang terjadi. Dan turut
menangis. Karena apa lagi yang bisa kulakukan?
Setelah itu, setelah
lelah menangis, setelah selesai pemakaman, takziah, dan segala sesuatunya
hingga aku harus kembali menjalani hidupku. Aku pun merasa marah! Marah pada
segala sesuatunya, Tuhan, Aba dan terutama pada Andi’ku. Dia tidak cukup sayang
padaku untuk tetap bertahan. Dia pergi begitu saja karena tidak bisa lagi
menahan rindu pada Aba!!! Bukankah dulu Andi’ sering menangis diam-diam ketika
dia mengira aku telah tertidur pulas, menangisi kepergian Aba? Jadi dia
menyerah pada hidupnya, demi bertemu Aba!
Lama waktu yang
kubutuhkan untuk berdamai dengan kepergian Andi’ dan menyadari rasa sayang dan
cintanya kepadaku. Juga hal-hal yang ia lakukan untuk kami, pengorbanannya
hingga kami bisa seperti ini. Andi’ memang tak bisa menemani kami tapi hal-hal
yang ia ajarankan dulu, prilakunya sehari-hari dan caranya bersikap pada
orang-orang dan menyikapi jalan hidupnya menjadi contoh buat kami, terutama
untukku.
Aku pun selalu merasa
beruntung memiliki Ibu seperti Andi’.
Menurut KBBI, “Pahlawan adalah orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah
berani”. Mungkin Andi’ bukan sosok pembela kebenaran, ia hanya perempuan
biasa yang kebetulan menjadi ibuku. Selayaknya seorang ibu, dia akan berkorban
banyak untuk anaknya, dimulai dari saat mengandung hingga akhir hayatnya...
2 Comments
Halo. Baru pertama kali main kesini nih. Ceritanya bagus, ngena di hati. Hehe. Salam kenal ya \:D/
ReplyDeleteHay Deva salam kenal juga ya ^^
DeleteTerimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.