Arok Dedes
November 05, 2014
Arok Dedes
Oleh
Pramoedya Ananta Toer
Copyright @
Pramoedya Ananta Toer 2006
All rights
reserved
Desain
sampul: Rully Susanto
Editor:
Astuti Ananta Toer
Layout: Tim
Lentera Dipantara
Diterbitkan
dan diluaskan oleh Lentera Dipantara
Cetakan 7,
Mei 2009
Roman Arok
Dedes bukan roman mistika-irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan). Ini
adalah roman politik seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di
Nusantara. Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan
untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian kekuasaan sepenuh-penuhnya.
Kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk
dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan gerakan militer (Gerakan
Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan, dan
memanasi perkubuan. Aktor-aktornya bekerja seperti hantu. Kalaupun gerakannya
diketahui, namun tiada bukti yang paling sahih bagi penguasa untuk
menyingkirkannya.
Arok adalah
simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang
cerdik-rakus (dari kalangan sudra/agraria yang merangkak nasib menjadi penguasa
tunggal tanah Jawa). Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumuran
darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel, karena politik tak
selalu identik dengan perang terbuka. Politik adalah permainan catur di atas
papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan melempar umpan-umpan untuk
mendapatkan peruntungan besar. Tak ada kawan dan lawan. Yang ada hanya takhta
di mana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadi yang dimau.
Pada
akhirnya Roman Arok Dedes menggambarkan peta kudeta politik yang kompleks yang
“disumbang” Jawa untuk Indonesa.
Apa yang kalian ingat
dari pelajaran sejarah tentang Ken Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung, Mpu
Gandring, Tumapel, dan Singosari itu sendiri?
Saya sendiri hanya mengingat (itu juga dengan refresh baca-baca buku sejarah jaman SD dan SMP yang kebetulan masih ada dan googling sana-sini) tentang sosok Arok yang bengal, anak yang tak berayah dan beribu yang saat bayi ditemukan dan kemudian diasuh olah orangtua asuhnya (saya melupakan namanya, belakangan setelah membaca Arok Dedes baru ingat namanya Lembong atau Ki Lembung). Ketika mulai dewasa Arok diusir oleh Lembong karena perbuatannya yang sering mencuri dan berjudi membebaninya dengan banyak utang.
Kemudian Arok diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi yang
menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan. Sayangnya Arok tidak betah diasuh
oleh istri tua Bango Samparan. Ia bersama temannya, Tita, anak kepala desa
Siganggeng, menjadi sepasang perampok yang sangat ditakuti di seluruh kawasan
kerajaan Kediri. Saat itulah Arok bertemu seorang Brahmana dari India, Lohgawe,
yang datang ke Jawa untuk mencari titisan Wisnu, dan dari ciri-ciri yang ada
pada Arok, Lohgawe meyakini Aroklah orang yang ia cari.
Kemudian atas rekomendasi Lohgawe, Arok menjadi pengawal Tunggul
Ametung. Saat itulah dia jatuh cinta dengan Ken Dedes, permaisuri Tunggul
Ametung yang berwajah rupawan dan telah diramalkan oleh Lohgawe dari
rahimnyalah akan lahir raja-raja tanah jawa. Arok pun menyusun rencana untuk
mendapatkan Dedes, meskipun hal ini tidak disetujui oleh Lohgawe, ia meminta
kepada Mpu Gandring dibuatkan keris bertuah untuk menyingkirkan Tunggul Ametung
yang terkenal sakti. Untuk membuat keris bertuah tersebut Mpu Gandring
membutuhkan waktu setahun. Tidak sabar, lima bulan kemudian Arok kembali untuk
mengambil keris pesanannya, keris yang belum sempurna itu dia tusukkan ke dada
Mpu Gandring hingga tewas. Sebelum tewas, Mpu Gandring mengutuk Arok, bahwa
dengan keris itu, dia beserta anak cucunya tujuh turunan akan mati.
Kembali ke Tumapel, Arok pun melaksanakan rencananya, ia meminjamkan
kerisnya itu kepada Kebo Ijo, teman sesama pengawalnya. Dengan bangga Kebo Ijo
memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui,
sehingga orang-orang mengira bahwa keris tersebut adalah milik Kebo Ijo.
Malam berikutnya Arok mencuri keris tersebut dari Kebo Ijo yang sedang
mabuk kemudian menyusup ke kamar Tunggul Ametung dan membunuhnya di atas
ranjangnya. Hal itu disaksikan Dedes yang tengah mengandung anak Tunggul
Ametung, tetapi ia luluh atas rayuan Arok dan memang pernikahannya itu
didasarkan atas paksaan.
Pagi harinya, Kebo Ijo dikenakan hukuman mati karena kerisnya ditemukan
menancap pada mayat Tunggul Ametung. Arok pun mengangkat dirinya sendiri
sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Dedes.
Versi sejarah ini
ternyata diambil dari Pararaton, kitab naskah sastra Jawa pertengahan yang digubah
dalam bahasa Jawa Kawi. Beberapa bagian naskah Pararaton tidak bisa dianggap
sebagai fakta sejarah. Terutama pada bagian awal (yang menceritakan tentang
Arok), antara fakta dan fiksi, serta khayalan dan kenyataan saling berbaur.
Berangkat dari celah inilah Pram menuliskan kisah Arok versinya sendiri...
Sosok Arok di buku ini
digambarkan selayaknya Robin Hood, yang mencuri dan menimbulkan keonaran di
sepenjuru Tumapel, untuk mengguncangkan pemerintahan yang korup dan
sewenang-wenang di Tumapel itu sendiri. Berbeda dengan Robin Hood yang
menyumbangkan harta rampasannya kepada rakyat yang membutuhkan, Arok terbilang
cerdik dengan mengumpulkan harta itu di suatu tempat, tidak menggunakannya
hingga waktu yang tepat untuk menghimpun kekuatan rakyat. Ia, di buku ini Arok
digambarkan sebagai seorang pemimpin yang berwibawa, cerdas, memiliki banyak
pengikut, politisi yang licik, berperawakan kuat dan gagah.
“Ya, Bapa, apalah arti pengetahuan tanpa pendapat?”
“Apakah gunanya pendapat kalau hanya untuk diketahui sendiri?”
“..., tidak percuma Hyang Ganesya menghias tangan yang satu dengan parasyu dan tangan yang lain dengan aksamala, ketajaman dan irama hidup. Tanpa keberanian hidup adalah tanpa irama. Hidup tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat.”
_Percakapan Arok dan Lohgawe, Halaman 62-64
“Tidak semua kebenaran dan kenyataan perlu dikatakan pada seseorang atau pada siapa pun. Pengusiran seorang guru tidak akan memberinya sesuatu kebaikan. Bahwa haus ilmu dirasakannya seirama dengan haus keadilan, kasih dan sayang. Dan betapa ia haus akan kasih sayang itu!_Halaman 88
“Barangsiapa tidak tahu kekuatan dirinya, dia tidak tahu kelemahan dirinya. Barangsiapa tidak tahu kedua-duanya, dia pusing dalam ketidaktahuannya.”_Arok, halaman 211
Sementara Dedes tidak
hanya seorang Paramesywari Tumapel, ia adalah seorang anak Brahmana yang
diculik dari rumahnya sendiri oleh Tunggul Ametung dan dinikahi tanpa restu
ayahnya, menyimpan dendam teramat sangat terhadap suaminya sendiri.
Adegan-adegan awal dibuka dengan pernikahan antara Dedes dan Tunggul Ametung,
bagaimana tidak berdayanya Dedes dan betapa terhinanya dirinya harus menyembah
di kaki seorang sudra yang dikesatriakan oleh Kediri. Pada akhirnya dia
menikmati kekuasaan yang ia dapatkan sebagai seorang Paramesywari dan ikut
ambil bagian sebagai bidak yang penting
dalam kudeta menjatuhkan Tunggul Ametung.
“Yang Suci, kerusuhan semakin lama semakin merunyak, semakin tidak terpadamkan. Apakah sebabnya itu, Yang Suci?”
“Setiap kerusuhan di suatu negeri, bukan hanya Tumapel, adalah pencerminan dari ketidakmampuan yang memerintah, Cucu.”
“Di manakah letaknya ketidakmampuan itu, Yang Suci?”
“Ketidakmampuan itu berasal dari diri semua yang memerintah, Dedes, ketidakmampuan mengerti kawulanya sendiri, kebutuhannya, kepentingannya.”
“Apakah yang suci bermaksud mengatakan ketidakmampuan itu sama dengan kedunguan?”
“Tidak sama, hanya sejenis”
“Dari mana asalnya kedunguan itu, Yang Mulia?”
“Dari terlalu banyak mengurus diri sendiri, sehingga buta terhadap yang lain-lain.”
“Kalau hanya demikian, Yang Mulia, mengapa timbul kerusuhan?”
“Hyang Mahadewa tahu bagaimana membikin jagad Pramudita seimbang. Kerusuhan mengimbangi kedunguan.”
_Percakapan Dedes dan Lohgawe di depan Tunggul Ametung dan Belakangka, Halaman 254-255
“Wanita itu Dewa; Wanita itu kehidupan; Wanita itu Perhiasan...”_Halaman 327
“Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan pongah di mata si miskin; orang bijaksana terkesan angkuh di mata si dungu; orang gagah-berani terkesan dewa di mata si pengecut; juga sebalikny, Kakanda: orang miskin tak berkesan apa-apa pada si kaya, orang dungu terkesan mengibakan pada si bijaksana, orang pengecut terkesan hina pada si gagah-berani. Tetapi semua kesan itu salah. Orang harus mengenal mereka terlebih dahulu.”_Percakapan Dedes dan Tunggul Ametung, halaman 328
Membaca buku ini terasa
jauh lebih nyata dan masuk akal dibandingkan saat saya membaca buku teks sejarah
saat bersekolah dahulu. Tokoh-tokohnya menjadi jauh lebih manusiawi dan alasan
tindakan mereka dipaparkan sedemikian rupa sehingga meskipun kita tak dapat
membenarkannya, tetapi dapat kita pahami dan mengerti.
Kecerdasan penulis
dalam mengangkat kekompleksan cerita ini patut diancungkan jempol. Membacanya
menjadi mengalir, lancar, dan seakan-akan kita turut serta dalam kudeta
tersebut. Bermula dari Dedes yang menjalani pernikahan paksaan, munculnya
Borang, Santing, dan Arih-arih yang mendeklamasikan diri sebagai penentang
kekuasaan Tunggul Ametung, hingga latar belakang Arok seorang Sudra yang tidak
jelas asal-usulnya tetapi kini menjelma Ksatria dan Brahmana. Belum lagi
kenyataan bahwa Arok adalah perpaduan unik penganut Siwa, Wisnu, dan Budha,
karena dalam perjalanan hidupnya ia belajar dari beberapa guru yang berbeda
keyakinan. Dua yang paling sering disebut-sebut adalah Tantrapala (seorang
Wisnu yang diam-diam mengamini Budha?) dan Lohgawe (seorang Brahmana Siwa).
Keterlibatan kaum
Brahmana dalam kudeta diulas dengan halus dan mengalir. Restu dari kaum
Brahmana yang didapatkan Arok untuk menggulingkan sang Akuwu, serta kehidupan
keseharian kaum Brahmana menggambarkan kearifan sekaligus ambisi kaum beragama.
Juga keberadaan Yang Suci Belangkangka sebagai wakil Kerajaan Kediri di
Pakuwuan Tumapel dan Arya Artya menggambarkan ambisi tersebut.
“Juga sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang pernah saya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpah dan mengutuk. Tak seorang pun pernah berniat menghadapi Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya. Kaum bramana itu sendiri yang sebenarnya tak punya keberanian, mereka ketakutan dan justru ketakutan sebelum berbuat, ketakutan untuk berbuat itu yang menyebabkan para brahmana telah kehilangan kedudukannya selama duaratus tahun ini. Apa sebabnya ketakutan, Bapa Mahaguru? Bukankah itu juga pendapat sendiri? Dan apalah artinya mengetahui, berpendapat, kemudian takut padanya? Lihatlah ini murid Bapa sudah bicara.” _Pidato Arok di depan Lohgawe dan teman-teman sesama muridnya.
Ahhh... saya sangat
menikmati membaca buku ini dan tidak menemukan kelemahannya, selain mungkin
keraguan pada buku sejarah zaman saya sekolah dahulu. Saya menamatkan buku ini
dengan perasaan puas, meskipun menaruh rasa kasihan yang dalam terhadap Dedes.
Pada akhirnya, satu-satunya yang paling sial adalah Dedes, setidaknya
menurutku. Oh ia, untuk sinopsis saya tidak menuliskannya terlalu banyak karena
saya takut tidak bisa menahan diri untuk spoiler...
Dan ya saya
merekomendasikan buku ini untuk orang-orang yang menyukai sejarah, apalagi yang
kadang merasa tidak puas dengan sejarah yang dipelajari semasa sekolah, yang
hanya menuliskan fakta tentang kerajaan di Nusantara hanya dalam beberapa
paragraf saja. Juga bagi orang-oranya yang menyukai buku politik, intrik
politik dan kudeta di buku ini sangat cerdas, saya tak bisa tidak merasa kagum.
Oh ia, buku Arok Dedes
adalah buku pertama dari tetralogi yang juga dikarang Pram ketika di tahan di
Pulau Buru. Sehingga jika kita menyebut Tetralogi Buru, maka itu mengacu pada
Tetralogi Arok Dedes ini dan Tetralogi Bumi Manusia. Meskipun memang, Tetralogi
Bumi Manusia jauh lebih terkenal jika kita mengacu pada Tetralogi Buru.
Tetralogi ini dimulai dari Arok Dedes, lalu disusul dengan Mata Pusaran (yang
sempat hilang, lalu ditemukan dengan tubuh remuk-cacat di mana tersisa hanya
halaman 232-362), dilanjutkan dengan Arus Balik, dan terakhir naskah lakon
Mangir.
Terimakasih untuk Kak
Afdhal yang telah meminjamkan bukunya ini ^^ Dan jika kalian menemukan buku ini
tolong hubungi saya ya ^^ saya pun ingin mengoleksinya~
“Arok, pada dasarnya manusia adalah hewan yang paling membutuhkan ampun.”_Lohgawe, halaman 179
4 Comments
Kunjungan say, dah lama tak berkunjung :)
ReplyDeleteMakasih Mbak sudah berkunjung ^^
Deletesenangnya ketemu penyuka PAT. salam kenal mba . koleksi PAT saya lumayan tp baru satu yang sempat di review, koleksi jaman kuliah dulu
ReplyDeleteWah senangnya ^^ salam kenal juga mba ^^
DeleteAku juga baru belakangan ini ngereview buku Pram, soalnya saking sukanya gak tahu mau review apa lagi~
Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.