Jumatulis Season 2- 03 Pesona - Blood Moon
12:39 am
*POSTINGAN HUKUMAN!*
Idul Adha adalah hari
raya yang paling Uti sukai. Di hari itu, keluarga Uti akan menerima banyak
daging, paling sedikit lima kantung plastik. Dan malamnya, Mamak akan memasak
daging itu, dibuat sup ataupun disemur. Enak sekali!!!
Saat-saat itulah Uti sekeluarga
bisa menikmati daging yang tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada Idul Adha.
Sebulan lebih, dengan daging pemberian orang-orang yang berkurban itu, keluarga
Uti dapat menyantap daging bak seorang raja. Jika daging pemberian itu sangat
banyak, Mamak akan membagi daging tersebut menjadi tiga tumpukan; tumpukan
pertama untuk di masak dalam keadaan segar, tumpukan kedua dan ketiga akan
mamak rebus – kaldunya di simpan tentu saja – setelah direbus, tumpukan kedua
akan Mamak taburi garam kemudian dipukul-pukul hingga gepeng lalu di jemur
hingga kering, tumpukan ketiga akan Mamak suir-suir dan disangrai dengan
kelapa. Uti dan kedua saudaranya tentu saja memantu Mamak.
Daging asin dan
serundeng daging itu akan Mamak simpan dalam wadah dan diletakkan di dalam
lemari. Makanan itu akan dihidangkan dihari-hari spesial saja, ulang tahun
misalnya atau jika Ambe tidak mendapatkan lurang beberapa hari.
Senangnya lagi, setelah
marak di TV kajadian meninggalkanya beberapa orang karena berebutan mengambil
daging beberapa tahun yang lalu, kini daging itu langsung diantarkan ke rumah
mereka oleh panitia mesjid. Uti tak perlu lagi bersama Mamak, Ambe dan kedua
kakaknya berpanas-panasan mengantri daging, tak perlu lagi sesak-sesakan
berdempetan. Meskipun memang jika mengantri sendiri, kemungkinan dagingnya dua
kali lipat lebih banyak. “Kita to harus sukuri apa yang ada, apa yang dikasi ki
ma Tuhan. Ini tong mi rejeki ta.” Kata Mamak saat salah seorang kakak Uti
mengeluhkan hal tersebut.
Sore ini, sudah ada
enam kantung plastik daging yang diantarkan ke rumah, Uti sekeluarga sudah
mulai sibuk di dapur mengolah daging-daging itu...
*****
Perempuan Itu mulai
merasa cemas, tersisa tiga hari lagi sebelum gerhana bulan total yang telah
lama ia nanti-nantikan, tetapi dia belum juga menemukan anak yang tepat. Anak
yang polos dan bahagia. Anak yang dicintai, yang menerima banyak cinta. Dan tentu
saja harus anak perempuan, dia tidak suka menjadi laki-laki.
Memasuki usia seratus tiga puluh lima tahun, Perempuan
Itu kini tak muda lagi. Dia telah terlihat seperti perempuan dewasa berusia
tiga puluh lima tahun, tante-tante, dan dia tidak menyukainya. Dia merasa
pesonanya telah memudar. Dia memang benci menjadi tua! Dia ingin kembali
berusia enam tahun, sebagaimana yang ia ingat adalah saat-saat terbahagia dalam
hidupnya. Tapi bagaimana ini? Dia belum menemukan anak yang tepat .Anak yang
kehidupannya ingin ia gantikan.
*****
“Tiii..”
“Iye’ Ambe?” tergopoh-gopoh
dari dapur, Uti menghampiri ambe yang baru saja masuk ke dalam rumah.
“Mau ki ikut ambil
daging? Sekalian bantu Ambe bawaki sebagian.”
“Banyak kah Ambe? Di
mana?”
“Endak ji juga banyak
sekali ia... malu mi kah Uti jalan-jalan naik becak na Ambe?”
“Ih! Sembarang na Ambe
deh!” Kata Uti sambil memasang muka cemberut.
Tersenyum, Ambe pun
mengacak-acak rambut Uti dengan gemas lalu berkata, “Ayo mi pade...minta izin
dulu sama Mamak mu”
Mengangguk riang, Uti
segera ke dapur meminta izin kepada Mamak. Kedua saudara Uti sebenarnya ingin
ikut juga tetapi mengurungkan niat melihat banyaknya pekerjaan Mamak.
“Mauki ambil daging di
mana ini kah Ambe?” Tanya Uti lagi di atas becak. Ia palingkan badannya
menghadap Ambe yang sedang mengayuh becaknya sambil bersiul-siul.
“Di rumah na
langganannya Ambe. Kemarin waktu ku antarki ke pasar na suru ki datang ambil
daging.” Jawab Ambe.
“Ohhhh...”
*****
Adalah Daeng Tallasa’,
tukang becak langganan Perempuan Itu. Daeng Tallasa’ memang mangkal di depan
kompleks rumahnya, menganu nasip bersaing dengan ojek dan bentor yang kini
lebih populer. Perempuan Itu sendiri tidak menyukai naik bentor, apalagi naik
ojek, maka becaklah alternatif satu-satunya yang ia miliki untuk masuk maupun
keluar dari kompleks rumahnya. Untuk mengendarai mobil sendiri dia tidak bisa.
Dan berawal dari sanalah ia berkenalan dan memilih berlangganan becak dengan
Daeng Tallasa’.
Dia menaruh hormat yang
teramat besar kepada Daeng Tallasa’. Pembawaannya yang ceria tetapi sopan serta
bisa dipercaya membuat Perempuan Itu merasa nyaman dan menaruh kepercayaannya.
Entah... terkadang Daeng Tallasa’ mengingatkannya kepada sosok sang bapak, yang
begitu cepat direngut darinya. Dan ya, Perempuan Itu menyayangi si tukang becak
yang sepuh itu.
Tanpa disangka-sangka,
kedatangan Daeng Tallasa’ bersama putrinya, Uti memberikan harapan terhadapnya
yang mulai berputus asa...
“Ini anak ta Daeng?” Kata
Perempuan itu sambil menyerahkan tiga bungkusan besar kepada Daeng Tallasa’.
“Iye’ anak ku ini. Yang
bungsu.” Jawab Daeng Tallasa sambil
menerima ketiga bungkusan tersebut.
“Sini ki ku bantu Ambe.”
Kata Uti mengambil salah satu bungkusan dari tangan Ambenya.
“Siapa nama ta?” Tanya
Perempuan itu kepada Uti.”
“Uti.” Jawab Uti cepat.
Tersenyum, dengan susah payah ia mengangkat bingkisan di pelukannya dan
meletakkannya di atas becak. Ia pun turut naik ke atas becak, duduk manis
sambil bersenandung riang.
“Makasih pade nak buat
dagingnya. Puas na mi ini orang rumah makan daging. Hahaha...” Kata Daeng
Tallasa’ sambil menuju becaknya diikuti oleh Perempuan itu. Setelah meletakkan
kedua bungkusan ke atas becak ia menegur Uti, “Tii dak bilang terimakasih ma
kakak?!!”.
“Hahaha dak papa ji
tawwa Daeng.” Kata Perempuan itu.
Malu-malu Utii
menjulurkan kepalanya dan berkata, “Makasih kakak.”
“Sama-sama Uti.” Ucap
Perempuan itu sambil mengusap-usap lembut kepala Uti. Dalam hati ia menera Uti,
mengguna-gunainya, sehingga tepat pada saat yang ia inginkan Uti akan tertidur
pulas dan rohnya akan melayang-layang meninggalkan tubuhnya.
*****
8
Oktober 2014
Langit Makassar dihiasi
bulan berwarna merah. Yang terjadi karena bulan ditutupi oleh bayangan bumi dan
cahaya matahari yang terbiaskan oleh atmosfer bumi menyebabkan kesan
kemerah-merahan. Orang-orang menatap ke angkasa dengan kagum. Beberapa
mengabadikan moment itu dengan kameranya lalu memamerkannya di sosial medianya.
Dengan bangga memamerkan keindahan bulan yang tertangkap mata telanjang di kotanya.
Miris... Mereka tidak tahu, mungkin tidak peduli, bahwa makin indah warna merah
bulan itu di kota mereka, menandakan tingginya polusi di kota mereka.
Uti yang begitu
semangat siang tadi ingin menyaksikan gerhana bulan tersebut kini tertidur
pulas...
0 komentar
Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.