Sudah lama tak kulihat buku ini, kusangka telah lama hilang.
Sebuah keajaiban menemukannya kembali di antara tumpukan barang yang menggunung
di gudang. Sampulnya telah tertekuk dan berjamur, kertasnya telah menguning dan
beberapa telah saling berdempetan. Aku membukanya perlahan, dengan kasih.
Sebuah buku dari masa lalu, masa yang indah, kurindukan tapi tidak ingin
kuulang kembali.
Ya, meskipun ini buku tulis biasa, tapi buku ini dahulu kugunakan
sebagai diari. Menyimpan petualangan, pengalaman, pemikiran, dan kisah cinta
pertama dari masa yang lalu, masa remajaku. Masa SMA yang kata orang adalah
masa-masa termanis dalam hidup. Tersenyum aku membacanya dan seakan dibawa
melintasi waktu dan kembali ke masa itu.
*****
Jelas kulihat seorang
anak lelaki duduk di bangku depan jendela, tangannya sibuk mencoret-coret
kertas dan sesekali ia menghembuskan nafas. Ini kali kedua aku melihatnya berdiam
diri di kelas saat jam istirahat. Biasanya ia selalu bergerombol bersama
temannya, menghiruk-pikukan kantin. Apa gerangan yang ia pikirkan? Dari
bangkuku yang terletak jauh di belakang bangkunya, aku memperhatikannya.
Memandang punggungnya dalam diam. Mengagumi punggung itu dan pemiliknya. (Arg dia gak mau noleh apa?!!)
Tiba-tiba ia berbalik dan mata kami bertatapan, tersenyum ia menyapaku;
"Tidak ke kantin?”.
“Tidak,” jawabku
singkat sambil menunjuk novel yang sedang kupegang. Dia masih saja memandangku,
sedikit kelabakan aku membenamkan mukaku ke dalam novel dan berpura-pura serius
membaca. Malu...
Namanya Ghaza,
Muhammad Ghaza Al Ghazali. Dia anak yang periang dan selalu memeriahkan
sekitarnya. Senyum selalu menghiasi bibirnya, dan ketika ia tersenyum matanya
menyipit dan kedua pipinya dihiasi lesung pipi, sangat manis. Dia memiliki
kepercayaan diri yang tinggi, mungkin dia sadar dengan ketampanannya dan juga
kecerdasannya. Tapi dia tidak sombong, dia bersedia berteman dengan siapapun.
Temannya banyak, apalagi barisan pengagumnya. Di sekolah ini, dari siswa hingga
penjaga sekolah dan Ibu Kantin mengenalnya. Singkat kata dia populer, sangat.
Dan aku? Gadis biasa dengan nilai pas-pasan di matapelajaran IPA, lebih senang
menghabiskan waktu istirahat dengan membaca novel dibandingkan nongkrong di
kantin. Aku punya teman, tentu saja. Tapi di sekolah ini, aku ragu jika
semuanya mengenalku. Aku cantik kok, aku tahu itu, tapi aku tidak terlalu
menyukai berada dikeramaian. Dan terlalu malu untuk mendekatinya....
Ahhh... Ya tentunya
aku salah satu dalam barisan pengagumnya. Aku mengaguminya dan menyukainya.
Apakah ini yang dinamakan cinta? Mungkin tidak, hanya rasa kagum terhadap lawan
jenis? Oke, ini terasa sangat aneh bagiku.
*****
Aku menutup buku itu, untuk sementara. Aku harus melanjutkan
membereskan tumpukan barang di sini. Memilahnya, ada barang yang telah terlalu
rusak dan tempat terbaiknya hanyalah di tempat sampah, beberapa masih bagus
tapi tidak kuinginkan lagi, mungkin akan kuberikan kepada seseorang yang
menginginkannya dan sisanya akan tetap kusimpan. Melelahkan juga rupanya,
kegemaranku menumpuk barang seharusnya segera dihentikan. Hanya saja aku selalu
merasa sayang membuang barang-barang, bagiku setiap barang itu memiliki kisah dan
menyimpan kenangan. Melihatnya, membuatku bernostalgia, kembali pada kenangan
yang dipicu oleh benda tersebut.
Aku suka mengenang, pada hal-hal indah dan manis, moment-moment
terbaik hidupku, bahkan pada hal-hal sedih dan moment terburuk hidupku. Untuk
yang indah-indah, aku mengenangnya untuk merasakan kembali sukacitanya dan
bersyukur. Untuk yang sedih-sedih atau kesalahan yang pernah aku perbuat, aku
mengenangnya untuk mengerti, menerima, dan belajar dari kesalahan yang mungkin
kuperbuat.
Setelah semua barang-barang itu telah kupilah dan kurapikan, aku
pun beranjak dari gudang, malam telah tiba, memilah dan merapikan barang yang
ada di gudang itu ternyata menyita banyak waktu.
*****
"Belum
pulang?"
"Hah? Ohhh ia...
belum. Eh, mau, nanti." Kaget, terbata-bata aku menjawab pertanyaannya.
Lonceng tanda pulang sekolah telah sedari tadi berbunyi, aku yang merasa
nanggung untuk menutup novel yang sedang ku baca tidak mengidahkannya dan terus
saja membaca. Tak sadar ia kini telah berada di depanku. Dia tersenyum jahil
menatapku (GYAAAAAAA) lalu duduk di
kursi tepat di depan bangku ku.
"Wow aku
mengagetkanmu ya? Maaf ya, lagian kamu serius banget si bacanya."
"Hehehe ia nih,
sudah mau tamat. Kamu kok belum pulang?" Celingak-celinguk aku memandang
ke luar jendela, sekolah mulai terlihat sepi (DAN DI KELAS TERTINGGAL KAMI BERDUA SAJA!!!).
"Mau pulang nih
tapi lihat kamu serius banget bacanya jadi ya..."
"Ini sudah mau
pulang kok." Aku pun dengan terburu-buru memasukan barang-barangku ke
dalam tas dan berdiri, beranjak ke luar.
"Hey! Ini
novelnya kelupaan!" (DUH!) Di
depan pintu aku berhenti dan menunggunya membawakan novelku.
"Nih."
"Makasih."
Aku berbalik dan melangkah ke luar gerbang sekolah. Kusadari dia masih mengekor
dibelakangku.
"Kamu gak
pulang?" Tanyaku akhirnya saat menunggu angkot dan dia masih ada di
dekatku.
"Lah ini
apa?"
"Bukannya kamu
punya motor ya?"
"Sudah dijual.
Sekarang pulangnya naik angkot."
"Ohhh..."
Sebenarnya aku ingin bertanya mengapa motornya dijual dan sebenarnya aku ingin
terus bercakap-cakap dengannya, hanya saja aku tidak ingin terlihat sok ikut
campur dengan urusannya (padahal memang
mau tau apapun mengenainya! padahal sangat penasaran!).
"Aku duluan
ya." Aku pun naik ke angkot dan memilih duduk di pojokan, membuka tas dan
siap membaca kembali. Seseorang duduk tepat di sebelahku, aku pun menoleh,
"Loh?". Ternyata dia.
"Wah ternyata
rumah kita sejurusan ya."
*****
Aku ingat, semenjak itu kami selalu pulang bersama-sama. Kadang di
atas angkot itu kami bercakap-cakap, tapi lebih seringnya aku membaca buku dan
dia, entah apa yang ia lakukan. Hal itu terus berlanjut hingga...
Aku membuka halaman buku itu cepat-cepat, membaca sekilas
bagian-bagian yang kurasa penting hingga tiba dibagian di mana kami tidak
pernah bertemu lagi...
*****
Saat penerimaan
raport.
Ibu mencubit pipiku
gemas. Beliau kesal, aku masuk ke kelas IPS, bukannya IPA seperti yang ia
harapkan. Yahhh mau bagaimana lagi? Aku memang lemah di pelajaran IPA. Dan
membayangkan selama dua tahun bersekolah tanpa dibuat pusing dan ribet dengan
kimia, fisika, dan biologi rasanya seperti surga. AKU SENANG!!!!
"Ih Ibu.
Sukur-sukur aku naik kelaskan?!!" Kataku saat mengantar Ibu keparkiran.
"Dasar anak ini. Pulangnya jangan lama!"
"Iaaa... dah
Ibuku cantik! Hehehehe"
Dimana dia? Dia masuk
kelas apa ya? Dia belum datang sepertinya, apa sudah pulang?
"Ghi."
Seseorang memanggil namaku dan menepuk punggungku. (Dia!)
"Kau selalu
mengagetkanku." Kaget, aku merengut.
"Maaf... bisa
kita bicara berdua?"
"Bisa. Ada
apa?" Jarang, bahkan mungkin tidak pernah kulihat ia bertampang seserius
ini.
"Tidak di sini.
Ikuti aku."
Agak ragu aku pun
mengikutinya, ia berjalan cepat menuju samping musollah, tempat yang jarang
didatangi orang.
"Errr... kenapa
kita ke sini?"
"Besok pagi aku
akan pergi, ini untukmu." Dia menyerahkan sebuah bungkusan berbentuk
persegi panjang. Aku menerimanya dan berkata, "Kemana?"
"Utrecht,
Belanda."
"Kau berlibur di
sana?" Ia menggeleng.
"Aku akan pindah
ke sana."
Aku tak ingat setelahnya.
Kami berpisah, dia pergi. Dan aku seperti ingin menangis berdarah-darah tapi
tak ada setitik pun air mata yang jatuh. Linglung aku memilih pulang ke rumah.
Bungkusan itu berisi
sebuah buku sketsa yang di dalamnya penuh dengan sketsa wajah ku dengan
berbagai mimik; tertawa, tersenyum, kaget, serius, tersipu-sipu, semuanya...
*****
"Hyaaa!!!" Aku tiba-tiba dipeluk kuat dari belakang.
"Kau mengagetkanku! Jangan seperti itu ih!"
"Aku lapar!!! Beri aku makan istriku yang cantikkkkkkkkk....."
"Hush berisik tauk."
"LAPARRRRRRRRRR!!!!"
Dengan geli aku beranjak dari sofa tempatku sedari tadi duduk
membaca buku itu. Buku itu sendiri kututup dan kuletakkan di dalam laci, di
atas sebuah buku sketsa yang nyaris sama tuanya. Aku teringat sebuah lagu dan
mendendangkannya pelan...
"Cheotsarangeun
areumdawoseo cheotsarangeun -ggotiramnida bomi omyeon
Hwahlchag pineun o~
nuni bushin -ggotcheoreom
Cheotsarangeun
eorinaecheoreom cheotsarangeun seotureumnida
Sarangeurakgimeobshi
ju-go kajjil mothanikka
Illa illa illa, illa
illa illa, illa illa illa, nayesarang good-bye"