RED BICYCLE
VOL. 1
Red Bicycle
Vol. 1 @ 2003 by Kim Dong Hwa
All rights
reserved
Original Korean
edition published by Kim Dong Hwa
Indonesian
translation rights arranged with Kim Dong Hwa
Through Orange
Agency
Indonesian
edition @ 2012 by PT Gramedia Pustaka Utama
SEPEDA
MERAH 1
Yahwari
Alih
bahasa: Meilia Kusumadewi
Editor:
Tanti Lesmana
Teks dan
tata letak: Anna Evita Rosaria
Hak cipta
terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta,
Oktober 2012
144 hlm; 21
cm
“Surat adalah perjalanan mental yang kita renungkan.”
_Halaman 108
“Telusurilah
jalan-jalan pedesaan yang beraneka ragam itu untuk menemui para penduduk
Yahwari. Anda pasti akan berpapasan dengan sepeda merah si tukang pos yang
berkeliling pelan penuh keselarasan dengan alam sekitarnya.”
Melalui kisah-kisah
pendeknya yang sarat dengan kelembutan, Kim Dong Hwa diperhitungkan sebagi
salah satu penulis manhwa paling berbakat di hati orang-orang Korea.
Sepeda Merah adalah
novel grafis pertama yang saya baca (saya masih ragu apakah Hugo &
Wonderstruck adalah novel grafis atau hanya novel biasa yang memiliki
ilustrasi). Saya tertarik membacanya karena kisahnya mengangkat tentang
kehidupan seorang tukang pos. Yang mungkin sebagain sudah tahu, bahwa terkadang
saya merasa terlahir di abad yang salah, saya menyukai, bahkan mungkin memuja
hal-hal romantis di zaman dahulu, seperti berkirim surat. Dan juga saat
berkunjung ke Gramedia, saya mendapati ada satu novel ini yang plastiknya sudah
terbuka dan dengan iseng saya pun mengintip dalamnya. Saya langsung jatuh cinta
dengan ilustrasinya yang khas, seperti lukisan cina. Saya suka dengan gambarnya
yang berwarna, terlihat begitu hidup dan indah. Tapi... entah mengapa saat itu
saya tidak membeli buku ini. Buku yang saya baca ini adalah pinjaman dari
Dhani. Dan sekarang saya sangat menyesal mengapa dulu tidak langsung membeli
buku ini, keberadaannya sudah sangat susah didapatkan saat ini. Hiks...
Sepeda Merah: Yahwari
ini sendiri adalah sekumpulan kisah-kisah yang berpusat pada tukang pos bersepeda
merah. Saat melakukan tugasnya sebagai tukang pos, ia banyak melihat,
mendengar, menghirup, merasakan, mengamati hal-hal sederhana tentang kehidupan
di tempat dimana ia bertugas. Desa Yahwari. Hal-hal sederhana itu diceritakan
oleh pengarang melalui ilustrasinya yang indah dan narasinya yang puitis. Ia
puitis, saya seakan membaca puisi yang terjalin menjadi sebuah narasi. Sederhana
dan indah. Kesederhanaan itu terangkum di setiap kisah di buku ini, memberikan
banyak bahan renungan buat saya.
“Ketika menua, kita kehilangan ingatan. Karena itulah kita menggambar semua jejak itu di wajah-wajah kita, agar tidak melupakan apa-apa. Garis yang kita buat sambil tertawa terlihat di dekat mata... Garis sulit yang kita buat sambil menggigit gigi, terlihat disamping mulut... Keriput yang panjang untuk jalan yang panjang, keriput yang pendek untuk jalan yang pendek.”
_Halaman 86-87
Si tukang pos mengajak
kita berkenalan pada desa Yahwari yang terbagi dua menjadi daerah Yetdong dan
Setdong. Kedua daerah itu terpisahkan oleh sebuah sungai, dimana sebuah
jembatan yang dibangun di atasnya menjadi penghubung diantara kedua desa
tersebut. Yetdong adalah daerah pertanian yang ditinggali oleh petani-petani
yang telah uzur, sedangkan setdong adalah daerah pemukiman yang ditinggali
orang-orang kota yang ingin hidup dan menikmati daerah pinggiran. Keduanya
hidup berdampingan dengan damai, meskipun bukan tanpa gesekan-gesekan yang mewarnai
kehidupan itu sendiri. Setiap hari si tukang pos dengan sepeda merahnya
mengantarkan surat ke desa Yahwar. Surat-surat yang dialamatkan pada
rumah-rumah beralamat tidak biasa; Rumah Dengan Semak-semak Warna Khaki, Rumah
Bertepi Bunga-bunga liar, Rumah Kuning Dalam Kehijauan, Rumah Putih, dll.
“Kemarin, kemarinnya lagi... sejak beberapa hari, kotak pos kosong. Saat aku menemukan kotak pos kosong, aku merasa jantungku tersentak. Seperti pertemuan yang kita rindukan. Seperti ketika aku pulang ke rumah dan ibuku tidak ada di sana. Perasaan sepi yang menguasai diriku...”
_Halaman 93
Bahkan ketika tidak ada
surat untuk diantarkan, sang tukang pos tetap berkeliling desa tersebut,
menawarkan jasanya. Ia mengirimkan bunga-bunga liar, ia mengantarkan titipan
hasil kebun untuk keluarga-keluarga yang tinggal berjauhan, atau hanya sekedar
datang menyapa, berbincang dan memberikan kabar seputar desa itu. Hal itu
membuatnya dekat dengan penduduk, membuatnya mempelajari banyak hal tentang
kehidupan. Dan melaluinya, kita pun mempelajari banyak hal. Terdapat banyak
pesan yang ngejleb di buku ini.
Saya sangat menyukai
buku ini. Rasanya saya tidak menemukan kekurangannya, selain keinginan untuk
lebih banyak membaca tentang desa Yahwari... sayang buku ini bagiku terlalu
tipis, saya menginginkan lebih banyak.
“Aku lebih memilih tukang pos membawakan aku surat-surat... Aku suka menyimpannya di suatu sudut dan membacanya lagi sambil bernostalgia. Aku juga bisa menumpuknya di laci...”
_Halaman 70