Rumah Sang Penyihir
11:30 pm![]() |
Gambar diambil di sini |
Setiba di perempatan
jalan, mereka pun berpisah. Si beruang berbelok ke kiri menuju peternakan lebah
dan si gadis kecil berjalan terus ke kedalaman hutan. Tentunya kalian telah
menebak mereka siapa bukan? Yup!!! Mama Beruang dan Gadis Kecil kita tersayang.
Mereka berangkat sebelum matahari terbit dari rumah mereka di pinggir hutan untuk
perjalanan yang panjang ini. Mama Beruang akan menjenguk putranya yang memiliki
peternakan lebah (Sudahkah kuceritakan tentang anak-anak Mama Beruang? Belum?
Lain kali akan kuceritakan tentang mereka), sementara Gadis Kecil ingin
menyusuri hutan lebih jauh lagi.
Awalnya Gadis Kecil
berniat ikut dengan Mama Beruang ke peternakan lebah tetapi dia tiba-tiba
mengingat sebuah kisah yang sering diceritakan teman-temannya tentang seorang
penyihir yang hidup jauh di dalam hutan. Katanya penyihir itu memiliki
kesaktian yang luar biasa, ia bisa mengutuk dan memberkati seseorang,
menurunkan hujan maupun menghalau hujan, memunculkan sesuatu dari ketiadaan, mempercepat
tumbuh tanaman, dan sangat suka memakan anak-anak kelinci dan telur-telur
burung. Tentunya cerita ini sering digunakan oleh makhluk-makhluk hutan untuk
menenangkan anak-anak mereka yang terlalu aktif, terutama oleh kelinci dan
burung. Dan bagi Gadis Kecil sendiri, cerita ini sangat menarik dan
membangkitkan jiwa petualangannya. Dia juga sangat penasaran bagaimana rupa
sang penyihir dan dari mana ia mempelajari ilmu sihirnya.
Maka ketika Mama
Beruang membangunkannya jauh sebelum matahari terbit untuk pergi ke peternakan
lebah, Gadis Kecil meminta izin untuk tidak ikut dan menyatakan niatnya. Dengan
beberapa nasehat tentang tidak boleh berkeliaran di hutan jika telah gelap,
tidak boleh mengganggu makhluk hutan lainnya, tak boleh memasuki rumah seseorang
tanpa dipersilahkan, Mama Beruang pun mengizinkan Gadis Kecil.
Sebelum berpisah di
perempatan jalan itu, Mama beruang mengulangi nasehatnya dan memeluk Gadis Kecil.
Gadis Kecil pun tak lupa mencium pipi Mama Beruang sebelum melepaskan diri dari
pelukannya dan melanjutkan perjalanannya seorang diri.
Seperti biasa Gadis
Kecil benyanyi-nyanyi riang menyusuri jalan setapak dan jika berpapasan dengan
makhluk hutan lainnya ia menyapa mereka, bahkan terkadang ia singgah dan
mengobrol cukup lama dengan mereka. Tetapi mengingat perjalannya yang akan lebih
jauh dari biasanya, ia berusaha hanya mengobrol singkat saja dan kemudian
melanjutkan perjalanannya kembali. Dia pun tak lupa singgah memetik bunga-bunga
liar untuk hadiah bagi Sang Penyihir. Apakah Sang Penyihir menyukai bunga?
Yaa... setidaknya Gadis Kecil sudah punya niat baik bukan?
Segera saja jalan
setapak itu berakhir, dan dia harus berjalan hanya dengan mengandalkan kompas
yang ada di jam sakunya. Masalahnya dia tak tahu pasti di mana letak rumah sang
penyihir, apakah di sebelah timur, utara, atau selatan?
Beruntungnya saat
kebingungan itu, dia berpapasan dengan Tuan Serigala.
“Apa yang kau lakukan di
sini Gadis Kecil? Tempat ini jauh dari tempat biasanya kau berjalan-jalan.”
“Tuan Serigala!!!”
Gadis Kecil sangat senang bertemu Tuan Serigala, selain karena mereka sudah
lama tidak bertemu, juga karena Tuan Serigala hampir pasti mengetahui
tempat-tempat yang belum pernah ia jelajahi. Ia pun berlari menghampirinya dan
memeluknya erat lalu berkata, “Aku berniat mengunjungi Sang Penyihir. Tahukah
kau di mana letak rumah Sang Penyihir?”
Tuan Serigala
mengerutkan keningnya dan bertanya, “Penyihir yang mana yang ingin kau temui?”
“Banyakkah penyihir
yang tinggal di tempat ini?” tanya Gadis Kecil keheranan.
“Terlalu banyak malah,
sehingga membuatku hampir gila!”
“Whaaaaa...” Gadis
Kecil memandang Tuan Serigala dengan terpesona dan berkata, “Kenalkah kau
dengan semua penyihir itu?”
“Tidak juga. Kau ingin
bertemu penyihir yang mana? Ada urusan apa kau dengannya?”
“Entahlah...” Gadis
kecil mengangkat bahu, kemudian ia duduk di sebuah batu lalu berkata, “Teman-temanku;
Bola Salju, Gula-gula Kapas, Telinga Terkulai, Cericip, dan Kwak sering
menceritakan tentang penyihir ini. Mereka sangat takut berjumpa dengannya,
setakut mereka berjumpa denganmu. Katanya lagi penyihir itu sangat suka memakan
anak-anak kelinci dan telur-telur burung.”
Mendengar hal itu Tuan
Serigala menyeringai. Jika saja Gadis Kecil tidak mengenal Tuan Serigala dan
sebelumnya tidak pernah melihat ia menyeringai, Gadis Kecil akan segera berlari
ketakutan, karena seringai Tuan Serigala sungguh menakutkan. Seakan-akan sebuah
pikiran jahat melintas di kepalanya dan dia bersiap-siap menerkammu. Tapi
karena ia telah mengenal Tuan Serigala dan menyayanginya, ia tahu bahwa memang
seperti itulah cara Tuan Serigala tersenyum.
“Hah! Jadi dia yang
ingin kau temui?!!! Aku tahu di mana ia tinggal, sini, kuantar kau ke rumahnya.
Ya, kurasa kau akan sangat menyukai rumah itu!” Tuan Serigala pun berjalan
menuju rumah Sang Penyihir dan Gadis Kecil mengikuti di sisinya sambil
meloncat-loncat kegirangan dan mengajukan banyak pertanyaan pada Tuan
Serigala...
“Betulkah? Apakah kau
mengenalnya? Apakah di baik? Menurutmu dia akan senang menemuiku?”
“Dia oke! Hanya saja
jangan sampai kau mencuri makanannya atau masuk ke rumahnya tanpa seizinnya.
Istrinya juga baik, dan ya ia akan menyukai bunga-bunga pemberianmu.”
Gadis Kecil
mendengarkan baik-baik perkataan Tuan Serigala dan menyimpannya di kepala dan
hatinya, ia harus bersikap santun dan jangan sampai membuat Sang Penyihir
beserta istrinya marah atau pun mempermalukan Mama Beruangnya dan Tuan Serigala
yang mempercayainya.
Ketika mereka tiba di sebuah
jalan setapak yang diterangi cahaya dari lampion-lampion yang tergantung di
dahan-dahan pohon, Tuan Serigala menghentikan langkahnya.
“Jika kau mengikuti
jalan setapak ini, kau akan menemukan rumah mereka,” kata Tuan Serigala.
“Kau tidak akan
menemaniku?”
“Tidak. Aku punya
urusan lain, berapa lama kira-kira kau akan bertamu di sana?”
Gadis Kecil melihat
jamnya dan berkata dengan sedikit cemas dan gusar, “Mungkin tiga atau empat
jam. Bagaimana caraku pulang? Aku kurang memperhatikan jalan ke sini tadi. Lagi
pula pohon-pohon terlihat sama semuanya, dan cahaya matahari hanya sedikit yang
menembus kanopi pepohonan di sini. Kupikir kau akan menemaniku.” Kentara sekali
bahwa ia mulai merajuk...
Tuan Serigala
menyeringai dan berkata denagan sayang, “Lihat, inilah yang tidak ku sukai dari
anak manusia, mereka mudah tersesat dan manja. Juga merepotkan. Aku akan menjemputmu
dalam tiga atau empat jam, yang perlu kau lakukan hanyalah tidak membuat
masalah di sana. Mengerti?!!”
“Mengerti Pak!” Jawab
Gadis Kecil dengan riang. Dia pun melanjutkan perjalannya seorang diri lagi,
menyusuri jalan setapak yang diterangi lampion yang berkedap-kedip.
Lampion yang
berkedap-kedip?
Penasaran, Gadis Kecil
mendekati salah satu lampion itu dan langsung menyadari bahwa cahaya lampion
itu berasal dari segerombolan kunang-kunang.
“Psttt... kunang-kunang
mungil... psttt... apa kalian terkurung di sini?” Gadis Kecil merasa kasihan
melihat kunang-kunang tersebut, ia berpikir kunang-kunang tersebut di kurung di
dalam lampion itu. Tetapi kunang-kunang itu tak ada yang menjawab pertanyaan
Gadis Kecil, ya memang seperti itulah para serangga, mereka terlalu sibuk
dengan dunia mereka sendiri sehingga tak ada yang pernah mengacuhkan Gadis
Kecil. Maka Gadis Kecil pun melanjutkan perjalannya dan segera melupakan para kunang-kunang.
Di ujung jalan setapak
itu berdiri sebuah pondok yang sangat menakjubkan, mengingatkan Gadis Kecil
pada sebuah dongeng yang pernah ia baca di perpustakaan sekolahnya, bedanya
jika pondok dalam dongeng itu terbuat dari roti jahe, pondok ini terbuat dari
coklat. Pondok itu dipagari oleh permen lolipop yang berwarna-warni, dan
sebelum mencapai pondok itu, Gadis Kecil melewati sebuah gerbang lengkung yang
terbuat dari permen, yang dirambati oleh tanaman yang bunganya berwana merah
cerah yang juga terbuat dari permen. Dan tidak hanya itu, setelah melewati
gerbang tersebut, Gadis Kecil menyadari bahwa setiap tanaman yang ada di
sekitar pondok itu, sepanjang yang dipagari oleh permen lolipop terbuat dari
bermacam-macam permen, cokelat, toffe, fudge, nougat dan kue. Tetapi yang
paling luar biasa adalah pondok yang terbuat dari cokelat tersebut; dindingnya
adalah cokelat yang ditempeli kue-kue kering, pintunya adalah biskuit berukuran
raksasa, dan kusen-kusen jendelanya adalah permen batangan. Dan jangan lupakan
atapnya yang terbuat dari wafer. Perut Gadis Kecil seketika berbunyi, ia
melihat jamnya dan menyadari ini waktunya makan siang.
Gadis Kecil sedikit
bimbang untuk mengetuk pintu pondok itu, rasanya kurang sopan bertamu diwaktu
seperti ini, seakan-akan kau berharap diajak makan siang. Tapi jika ia memakan
bekalnya di sekitar pondok ini, rasanya itu jauh lebih tidak sopan lagi, siapa
pun yang melihatnya pasti berpikir bahwa tuan rumahnya sangat pelit sehingga
membiarkan tamunya makan makanan yang ia bawa sendiri. Akhirnya Gadis
Kecil mengetuk pintu pondok tersebut.
Tok tok tok... Tok tok tok... Tok tok tok... Tok tok tok... tetapi tidak ada
yang menjawab ketukan Gadis Kecil. Apakah tidak ada orang? Apakah mereka sedang
keluar?
Penasaran Gadis Kecil
mengintip di jendela yang terletak di samping pintu. Memang tidak ada
siapa-siapa di pondok itu, hanya ada sebuah meja besar yang diatasnya terletak
dua buah mangkuk yang berukuran besar dan sedang. Entah apa yang berada di
dalam mangkuk tersebut, yang bisa Gadis Kecil lihat hanyalah uap yang mengepul
dari dalamnya. Juga ada sepiring besar cupcake yang seperti baru saja selesai
dipanggang dan dihias. Dan juga sekeranjang buah-buahan... perut Gadis Kecil
kembali berbunyi...
Selain meja besar
tersebut yang berdekatan dengan dapur, di sisi lain pondok itu, yang menghadap
di depan perapian ada dua buah kursi yang berukuran besar dan sedang. Kedua
kursi itu terlihat sangat nyaman, pasti sangat enak melemaskan kaki di sana,
beristirahat setelah perjalanan yang jauh. Karena sepertinya memang tidak ada
orang, hewan, atau apapun makhluk yang menghuni pondok ini, Gadis Kecil pun
memutuskan mengelilingi pondok tersebut sambil mengintip di setiap jendela yang
ada. Sebenarnya ia sangat ingin memutar pegangan pintu itu dan masuk ke pondok
itu untuk melihat-lihat, tapi mengingat nasehat Mama Beruang dan Tuan Serigala
maka ia tidak melakukannya.
Di salah satu jendela,
Gadis Kecil melihat sebuah tangga yang mengarah ke tingkat dua pondok tersebut,
“Mungkinkah mereka sedang tidur siang dan tidak mendengar suara ketukanku?”
pikirnya. Maka ia pun kembali ke depan pondok dengan niatan mencoba mengetuk
pintu itu sekali lagi, tetapi...
“Hay anak kecil!!! APA
YANG KAU LAKUKAN DI SANA?!!!”
Gadis Kecil terlonjak
kaget mendengar suara yang menggelegar dan sepertinya tidak ramah itu,
takut-takut ia berbalik dan melihat dua ekor beruang hitam berjalan ke arahnya.
Yang jantan besarnya dua kali Mama Beruang, memakai jas berwarna hijau dan
kemeja putih, bercelana kain selutut, dan bersepatu hitam mengkilap. Matanya
dibingkai kaca mata yang tebal dan diatas moncongnya ada kumis hitam yang
sangat lebat, tampangnya terlihat sangat galak. Sebentara itu yang betina
memakai terusan bunga-bunga selutut dengan kerah model victoria, dia sebesar
Mama Beruang, hanya mungkin sedikit lebih langsing. Sepatunya senada dengan
terusannya dan di kepalanya dihiasi topi lebar berpita merah, dia terlihat
ramah dan tersenyum geli melihat Gadis Kecil.
“Apa yang kau lakukan
di sini anak Hawa? Apakah kau berniat mencuri makanan kami seperti saudaramu
dahulu?” tanya si beruang betina dengan ramah meskipun tetap saja terdengar
mengancam.
“Tidak... tidak... Tuan
dan Nyonya Beruang. Aku datang berkunjung untuk berkenalan dengan Sang Penyihir
dan istrinya. Apakah itu kalian? Dan sebenarnya aku tidak punya saudara,
mungkin kalian salah mengenaliku.” Kata Gadis Kecil. Dia masih sedikit
ketakutan, kakinya bergerak-gerak gelisah.
“Ohh lihatlah, kasian
dia ketakutan. Seharusnya kau tidak membentak-mentak seperti tadi sayang.” Kata
Nyonya Beruang kepada Tuan Beruang, “Dan setelah dilihat-lihat dia memang tidak
mirip dengan anak nakal itu.”
“Bagiku anak manusia
terlihat sama saja dimana pun! Mereka nakal-nakal, tidak sopan, dan tak tahu
malu!” gerutu Tuan Beruang. “Lagi pula aku tak suka disebut penyihir! Aku ini
penemu, bukan penyihir!” katanya lagi masih dengan menggerutu.
“Apa yang kau temukan?
Maukah kau menceritakannya kepadaku?” ujar Gadis Kecil yang tanpa sadar karena
terlalu bersemangat, mendekati Tuan Beruang dan memegang tangannya sambil meloncat-loncat
kegirangan. “Maukah? Maukah? Maukah?”
“Oh hentikan anak ini!
Dia membuatku pusing!” erang Tuang Beruang.
“Sudah... sudah...
sudah... mari kita masuk ke dalam.” Kata Nyonya Beruang. Dia membuka pintu dan
mempersilahkan mereka masuk.
Pondok itu beraroma
manis yang menyenangkan... dan dengan banyaknya kue, coklat, dan permen
disekitar situ, anehnya Gadis Kecil tak melihat seekor semut pun.
“Huwaaaaaa... tak ada
semut di sini!”
“Hah! Jika kau mencari
semut carilah di hutan sana! Hah!” gerutu Tuan Beruang. “Duduklah di sini!”
perintahnya kepada Gadis Kecil, sambil mengangkat sebuah kursi kecil dari
sebuah pintu tingkap di bawah meja. Kursi itu ia letakkan di depan meja makan.
“Ayo kita makan siang
dulu.” Ajak Nyonya Beruang sambil menuangkan bubur dari panci ke sebuah mangkuk
kecil. “Kau suka bubur manis bukan?” tanyanya ramah kepada Gadis Kecil.
“Tentu saja.” Jawab
Gadis Kecil. Mereka pun duduk mengelilingi meja makan tersebut dan menyantap
bubur serta cup cakes dan buah-buahan.
Enak sekali bubur itu,
Gadis Kecil segera menghabiskannya. Baru ketika ia mencicipi cupcake yang tak
kalah enaknya itu, dia pun memulai obrolan.
“Bagaimana tempat ini
bisa penuh dengan makanan manis? Anda yang menciptakannya Tuan Beruang? Bagaimana?
Oh ia, mengapa kalian mengira aku memiliki seorang saudara?”
“Lihat! Dia tidak
sopan! Sudah kubilang jangan pernah berbaik hati dengan anak manusia!” gerutu
Tuan Beruang lagi.
“Sayang... bukankah
seharusnya kau memperkenalkan dirimu dahulu?” kata Nyonya Beruang.
“Oh ia, maaf...” jawab
Gadis Kecil. Mukanya memerah menahan malu. “Namaku Gadis Kecil, aku tinggal di
tepi hutan bersama Mama Beruang. Aku ke sini karena penasaran tentang penyihir
yang sering diceritakan teman-temanku. Selain itu aku senang bertualang dan
bersahabat dengan siapa pun.”
“Jauh sekali tempatmu
tinggal. Bagaimana kau bisa tiba di sini tanpa tersesat?” tanya Nyonya Beruang
lagi.
“Aku menyusuri jalan
setapak hinggah jalan itu habis dan kemudian Tuan Serigala mengatarku ke sini.”
Jawab Gadis Kecil.
“Huh! Si serigala itu
selalu membuatku gusar!”
“Jadi siapa kalian?”
tanya Gadis Kecil lagi.
“Namaku Nemu dan dia istriku
Flo. Kami punya seorang anak bernama Dagi yang kini membuka toko permen di kota
manusia. Aku menumbuhkan gula-gula, coklat, kue, dan segala makanan manis
lainnya. Aku menciptakan “kondisi” sehingga makanan itu tidak basi dan semut
serta binatang-binatang pengganggu lainnya tidak bisa mendekati tempat ini.” Kata
Tuan Beruang.
“Bagaimana?” tanya
Gadis Kecil lagi dengan penuh kekaguman.
“Kau tahu anak kecil?
Itu Rahasia!” jawabnya lagi dengan menggerutu.
Gadis Kecil cemberut.
Dia selalu merasa jengkel jika pertanyaannya tidak dijawab. Tetapi dia berpikir
karena ini baru bertemuan pertama, tidak apa-apalah, masih akan banyak waktu
untuk membujuk Tuan Beruang. Dia berencana ini bukan kunjungannya yang terakhir
ke pondok ini. Dan dia pun masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin ia
ajukan. Saat akan bertanya lagi, Nyonya Beruang tiba-tiba bangkit dari kursinya
dan menuju dapur. Tak lama ia kembali sambil membawa tiga gelas es krim
strawberry...
“Cicipilah es krim
buatan sendiri.” Katanya ramah sambil meletakkan gelas berisi es krim itu di
depan Gadis Kecil. Tentu saja rasanya sangat enak, melumer dan meleleh di
mulut, dan ketika di telan, es krim itu meninggalkan rasa mint menyegarkan.
“Ini enak sekali Nyonya
Beruang.” Kata Gadis Kecil.
“Terimakasih sayang.
Panggil saja aku Flo. Dan panggil ia Nemu.”
![]() |
Gambar diambil di sini |
“Aku juga senang
berkujung ke sini Nyonya, eh, Flo.” Jawab Gadis Kecil. “Apakah kalian pernah
mengalami kejadian buruk dengan anak manusia? Anak yang kalian sangka adalah
kakakku? Miripkah ia denganku?” tanya Gadis Kecil lagi.
“Ahhh ya. Waktu itu
anak kami masih kecil dan rumah kami belum seperti ini, hanya pondok biasa yang
terletak tidak terlalu jauh di dalam hutan. Seperti
biasa aku memasak bubur dan seperti biasa juga kami menyempatkan berjalan-jalan
dahulu sembari menunggu bubur kami dingin. Saat itu ada gadis kecil seusiamu,
hanya saja rambutnya berwarna emas, masuk ke pondok itu dan mencicipi bubur di
mangkuk kami dan menghabiskan bubur di mangkuk anakku. Tidak hanya itu, di
menduduki kursi kami dan merusakkan kursi anakku, lalu ia tidur di tempat tidur kami. Yang paling menyebalkan,
dia bahkan tidak meminta maaf saat kami menemukannya, ia hanya berlari keluar
begitu saja.”
“Oh tidak sopan sekali!”
seru Gadis Kecil.
“Ia hal itu membuat
kami bertanya-tanya tentang sifat manusia. Jika anak-anaknya saja seperti itu,
bagaimana dengan yang telah dewasa?” kata Nyonya Beruang. Dia tersenyum lalu melanjutkan
ceritanya, hanya saja kali ini suaranya lebih pelan, “Dan ketika suamiku
memulai usahanya ini, dia pun berkeinginan menjual permen-permennya kepada
manusia. Tapi sayangnya karena tampangnya yang seperti itu, manusia-manusia
itu, terutama anak-anaknya berlari mejauhinya. Hal itu membuatnya sakit hati.”
“Aku mendengar itu!!!”
gerutu Tuan Beruang.
“Wah bodoh sekali
mereka padahal permen-permen di sini sangat lezat!” Kata Gadis Kecil sambil
mengemut lolipop yang disodorkan Nyonya Beruang kepadanya.
Waktu berlalu begitu
cepat, tau-tau saja Tuan Serigala telah datang menjemput Gadis Kecil. Padahal
masih banyak hal yang ingin Gadis Kecil ketahui tentang Tuan dan Nyonya
Beruang itu.
“Astaga!” katanya
sambil penepuk jidatnya, “Aku punya sesuatu untukmu Flo, aku hampir saja
melupakannya.” Gadis Kecil pun menyerahkan bunga-bunga liar yang ia petik di
perjalanan kepada Nyonya Beruang dan berkata dengan malu-malu, “Bolehkah aku
berkunjung ke sini lagi kapan-kapan? Oh maaf bunganya sudah agak layu.”
“Tentu saja boleh.” Jawab
Nyonya Beruang lagi.
“Ya, datang sajalah.”
Jawab Tuan Beruang
Maka Gadis Kecil pun
berjalan pulang dengan riang bersama Tuan Serigala. Senang rasanya memiliki
teman baru.
“Astaga!!!!” kata Gadis
Kecil lagi sambil menepuk jidatnya (lagi), “Aku lupa menanyakan mengapa mereka
mengurung kunang-kunang itu di dalam lampion.”
Tuan Serigala hanya
menyeringai melihat tingkah Gadis Kecil.
*****
1 komentar
Kak dwiiii aku baru selesai baca punyamu, aku suka ceritanya. Eh iya tapi aku baru tau kata "sebentara" itu ada ya?
ReplyDeleteTerimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.