![]() |
Ilustrasi di ambil di sini |
Namanya Kartini Sri Ayu.
Orang-orang memanggilnya Kartini, tapi bagiku panggilan itu cukup panjang,
sehingga aku hanya memanggilnya dengan Tini. Seperti R.A Kartini, tokoh
idolanya, dia pun sangat memperhatikan masalah-masalah kaum perempuan. Ada
kegelisahan yang ia rasakan ketika melihat sekelilingnya dan mendapati banyak
perempuan diperlakukan tidak adil. Ada kemarahan yang muncul ketika menyadari
perempuan-perempuan di sekitarnya itu menggantungkan hidupnya pada lelaki,
menjadi manja dan lemah dan merasa sudah sepantasnya mereka seperti itu. Ada
kemuakkan ketika ia sadar, hanya sedikit dari perempuan-perempuan itu yang
peduli, atau bahkan mau tahu kesulitan yang sedang dialami saudaranya.
Perempuan-perempuan itu malah saling bersaing demi menjadi pajangan lelaki. Ya
setidaknya hal-hal itu yang sering ia ceritakan padaku, bagaimana ia gelisah
ingin membantu tetapi tak tahu caranya, bagaimana ia marah dan muak melihat
tingkah kebanyakan perempuan disekitarnya.
Ia merasa perempuan tak
seharusnya menyerahkan masa depannya di tangan orang lain. Perempuan seharusnya
juga jangan manja, dan kita harus dengan usaha sendiri mendapatkan hak kita
sebagai manusia. Perempuan pun harus percaya pada dirinya sendiri, pada
kemampuannya untuk berfikir, mengambil keputusan, dan bertindak sesuai
keputusannya tersebut. Juga bertanggung jawab sendiri atas pikiran, keputusan
dan tindakannya tersebut. Dan bla... bla... bla... Dengan segelas kopi pahit
untuknya dan susu coklat untukku, ocehannya itu bisa berlangsung berjam-jam.
Dan ya, aku memang lebih banyak mengambil posisi sebagai pendengar setianya.
Perbincangan diantara
kami tentunya tidak melulu pada topik yang berat, kami juga terkadang tak bisa
menolak indahnya sensasi bergossip dan bergunjing. Terkadang kami membicarakan
teman-teman lelaki kami; betapa tampannya si itu, betapa menggiurkannya tubuh
si anu, betapa menjijikkannya kumis si itu, dan beberapa percakapan dangkal
lainnya seputaran lelaki. Juga tentang buku, isu terkini, mata kuliah di
kampus, fashion, film, artis, dan segala hal yang bisa kami komentari. Ahhhh...
betapa aku sangat merindukan saat-saat seperti itu.
Ketika kami berdua
lulus dan aku memilih segera menikah lalu pindah kota lain mengikuti suamiku,
dan dia sedang aktif-aktifnya pada organisasai dan LSM perempuan, hubungan kami
pun merenggang. Iya, kami memang terkadang saling bertanya kabar dari akun
twitter maupun whatsapp, hanya sebatas itu, keintiman yang dulu hadir diantara
kami perlahan-lahan tergerus oleh jarak.
Kabar mengejutkan
darinya kuterima beberapa bulan yang lalu, bahwa dia akan segera menikah. Tentu
saja kabar itu cukup mengejutkan, karena setauku dia memang tidak dekat dengan
siapa pun, dan kabar pernikahan itu yang datangnya sangat mepet dari waktu
acaranya, sehingga aku pun tak bisa menghadirinya. Apakah hubungan kami memang
sudah serenggang itu? Aku tentu saja turut berbahagia karena dia telah memiliki
seorang pendamping hidup. Aku selalu berharap dia menemukan seseorang yang
tepat untuknya...
*****
Sore ini aku dan Tini
akan bertemu di cafe yang biasa kami datangi semasa kuliah dahulu. Sudah berapa
lama itu? Waktu terus berjalan, kami sudah semakin tua saja. Terkadang aku
membayangkan waktu itu bulat seperti roda yang terus berputar dan melaju dengan
cepat di sebuah jalan bernama kehidupan. Tidak peduli pada sekitarnya, roda itu
akan terus menggelinding, terus maju mengikuti aturannya sendiri. Hahahaha...
mengapa aku malah berfilosofis? Dimana Tini? Mengapa ia begitu lama? Dahulu dia
adalah orang yang selalu tepat waktu, berkebalikan denganku, yang selalu lelet
dalam hal apa pun.
Tak lama ketika susu
coklat pesananku datang, Tini pun datang. Rambut hitamnya kini dipotong model
long bob, mukanya dilapisi make up tipis, dan perutnya membulat. Dia berjalan
anggun memasuki cafe ini sambil mencari-cari keberadaanku. Ketika melihatku,
senyumannya mengembang, menghangatkan ruangan ini. Aku pun berdiri
menyambutnya, membalas senyumnya dan dengan tak sabar menghampirinya lalu memeluknya.
“Cieeee... ada yang
sebegitu kangenya nih” Katanya menggodaku.
“Huh! GR!” Aku pun
melepas pelukannku dan tertawa... sambil menggandengnya kami pun menuju ke
meja.
“Huwaaaa sudah bunting
aja nih! Curang! Main nyerobot saja ma yang sudah dua tahun menikah. Sudah
berapa bulan si?” Kataku lagi sambil memperhatikan perutnya.
“Hahaha... mungkin
belum waktunya buatmu Bu, sabar aja ih.. Sudah jalan tiga bulan nih.” Jawabnya
sambil membolak balik menu, belum dapat memutuskan akan memesan apa.
Aku mengambil
kesempatan itu untuk mengamatinya. Dia terlihat baik-baik saja meskipun agak
kurus. Gossip yang beredar di seputaran teman-teman kuliahku, membuatku sangat
mengkhawatirkan keadaannya. Benarkah seperti itu? Benarkah dia “dijual” oleh
orangtuanya untuk menikah dengan orang yang menjadi suaminya sekarang? Dan dia
adalah istri kedua? Seorang Tini dipaksa untuk menikah, apalagi dipoligami
rasanya sungguh tak mungkin. Benarkah?
Aku tak ingin
menanyakan perihal hal tersebut kepadanya, aku merasa pasti ada alasan mengapa
dia tidak menceritakannya kepadaku. Mungkin dia belum siap untuk berbagi... Aku
ingin menghormati pilihannya itu, meskipun rasanya aku bisa mati penasaran
dibuatnya. Seluruh inderaku mengatakan dia baik-baik saja, dan sepertinya sangat
bahagia dengan kehamilannya. Tapi benarkah begitu? Jauh di dalam hati ku, aku
merasa dia kesepian dan tertekan.
“Bagaiman kabarmu?”
Tersenyum ia menjawab;
“Aku sangat bersemangat menunggu kelahiran bayiku ini. Juga deg deg-an
tentunya. Aku harap dia lahir dengan sehat.”
*****
6 bulan kemudian...
“INNALILLAHI WA INNA ILAHI ROJIUN
Telah berpulang teman kita, Kartini Sri Ayu,
Di rumah sakit Bunda, subuh tadi.
Sebelumnya Alm sempat melahirkan seorang
anak laki-laki.”
*****