Bunga Malam
February 26, 2014
Bising! Itu hal pertama
yang Perempuan Itu sadari. Suara musik yang diputar keras berdentum-dentum di
telinganya dan membuat jantungnya berdetak cepat. Dia pun mulai sulit untuk
bernafas. Sesak! Itu hal kedua yang ia sadari. Dia terhimpit manusia-manusia yang
sedang asik bergoyang mengikuti irama musik dengan tempo yang sangat cepat.
Tubuh-tubuh berbalut pakaian gemerlap dan berpeluh dengan keringat dan...
nafsu? Entah mengapa ia bisa berada di tengah kekacauan ini. Di tengah
hiruk-pikuk yang tak dapat ia pahami... yang belum ia pahami. Bagaimana dan
mengapa? Ia sama sekali tak dapat mengingatnya.
Ia pun berusaha
menyingkir dari kekacauan itu, menyibak manusia-manusia yang terbakar adrenalin
di sekitarnya dan menyingkir sejauh-jauhnya dari tempat ini. Beberapa tangan
merengkuhnya ke dalam pelukan; menggenggam, membelai, meremas tubuhnya.
Mengajaknya terus tinggal dalam kekacuaan itu. Malu, marah, dan terangsang ia
pun semakin ganas menyibak manusia-manusia disekitarnya. Menyikut beberapa
perut dan menginjak banyak kaki.
Mendekati tepi “lautan
manusia”, dia pun semakin mempercepat langkahnya. Kepalanya dia tengokkan ke
kiri dan ke kanan, matanya awas mencari-cari pintu keluar. Dia lelah. Lelah
setelah semalaman menari kesetanan seperti manusia-manusia itu?! Kesadaran itu pun
menghantamnya! Dia harus keluar, segera! Tapi di mana pintu keluarnya? Mengapa
tak ada pintu keluar dari tempat ini? Atau mungkinkah dia hanya tak melihatnya
saja? Kepalanya pening, dia pun memilih beranjak ke toilet. Untuk menarik nafas,
untuk menenangkan diri...
Toilet yang ia masuki
memiliki sebuah cermin besar yang menutupi nyasir seluruh dinding di depannya.
Sebuah tempat yang memang disediakan untuk para perempuan mengagumi dirinya. Di
depan cermin itu ada tiga orang wanita yang sedang memperbaiki make up-nya dan
asik bergunjing. Perempuan Itu pun mendekat ke cermin tanpa memperdulikan
ketiga wanita tersebut. Ketika ia mendekati cermin itu, ketiga wanita itu
meliriknya sekilas, lalu melanjutkan kembali gunjingannya. Mau tak mau Perempuan
Itu pun sedikit-sedikit mendengarkan apa yang mereka pergunjingkan, tentang si
lelaki anu yang cakepnya minta ampun tapi tititnya kecil, tentang si lelaki itu
yang tangannya cekatan, tentang si lelaki ini yang dapat memberimu orgasme
berkali-kali. Mukanya sontak memerah. Ia paksakan mukanya menghadap ke cermin,
tidak menoleh ke kiri maupun ke kanan, fokus kepada bayangan yang dipantulkan
cermin kepadanya.
Cermin itu memantulkan
seseorang yang ia sangat kenal sekaligus tidak ia kenal... Tubuh mungilnya
dipantulkan cermin itu, terbalut little black mini dress yang erat memeluk
tubuhnya. Rambutnya yang seringnya ia kuncir kini dibiarkan terurai, hitam,
panjang dan bergelombang, meskipun saat itu sedikit berantakan yang malah
mengesankan sensualitas. Mukanya dilapisi make up tipis dengan gincu berwarna
merah mewarnai bibirnya. Ia menunduk, dan memandang pump shoes yang juga
berwarna merah yang ia kenakan. Terheran-heran ia bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri mengapa ia bisa sampai tidak terjatuh menggunakan sepatu itu. Ia pun
lalu kembali memandangi cermin di depannya, mencermati bayangannya. Siapa
perempuan yang balik memandangnya itu? Dirinyakah? Mengapa tiba-tiba saja dia
merasa asing pada tubuhnya sendiri?
Tiba-tiba pintu toilet
itu terbuka, seorang lelaki tinggi besar berperawakan tegap masuk. Bukankah ini
toilet kusus untuk perempuan? Apa yang ia lakukan di sini? Begitulah pikir
Perempuan Itu. Ketiga wanita lainnya cekikikan dan kemudian salah satu dari
mereka menghampiri lelaki tersebut. Dengan manja ia berglayut di tubuh lelaki
itu dan berkata, “Kau ini sangat tak sabaran”. Lelaki itu menyeringai lalu
merengkuhnya, atau lebih tepatnya mengangkat wanita itu dan mencumbunya dengan
ganas. Kedua wanita lainnya terkekeh melihat tingkah kedua orang itu, lalu tak
lama kemudian turut bergabung bersama mereka, dalam hal yang kemudian di sebut
Perempuan Itu olah tubuh yang rumit. Terbengong-bengong Perempuan Itu
menyaksikan hal tersebut, jauh di sudut hatinya dia pun ingin bergabung dengan
mereka—ia pun memilih bergegas keluar dari toilet itu.
Ketika pintu toilet
telah tertutup di belakangnya. Ia menyadari musik tidak lagi mengalun, lampu
pun telah mati. Ruangan itu sunyi senyap, entah kemana para manusia yang
memadati tempat itu sebelumnya. Menggigil, ia lalu berbalik, berniat kembali ke
toilet. Tetapi pintu toilet di belakangnya sudah tidak ada lagi, yang ada hanya
kehampaan berwarna hitam pekat. Tau-tau saja ia kehilangan pijakan dan jatuh...
Terus jatuh...
Semakin dalam.... dan
dalam...
Ia berdiri di kerumunan
orang lagi, di suatu hari yang sangat gerah, matahari bersinar cerah dan
seluruh tubuhnya tertutup kain. Dia sekali lagi merasa sulit bernafas...
Dan terjebak.
15 Comments
adegan demi adegan muncul satu per satu di kepala saat membacanya :D
ReplyDeleteBisa nih Dwi di buat Novelnya, pasti keren. Lanjutkan ceritanya Dwi...
ReplyDeletedeh titit lalo kakak, ndak bisa ada nama samarannya itu kak. penasaranku apa kelanjutannya kak, taggantungka bacai
ReplyDeleteSemiga cerita ini fiksi belaka, karena saya koq jadi ngebayangin perempuan itu adalah Dwi! Wakwkak...
ReplyDeleteHahahaa. ..Kak Ery deh. Saya juga membayangkan kapan cerita ini melintas di benaknya Dwi ya.
ReplyDeleteCerita yang menarik dan imajinasi yang liar. Melompat-lompat fikiranku baca ceritanya.
ReplyDeleteSaya masih di bawah umur. Hahaha.
ReplyDeleteHmm.. Apa inti ceritanya ini kak? Saya antara mengerti dan tidak. Mungkin harus baca lanjutannya.. Maklumlah kak, saya suka lemot klo membaca 🙈
ReplyDeleteBagian terakhir agak horror.. bukan ji dia terjebak di pemakaman dwi?
ReplyDeleteAngkat tanganma saya kalo kak dwi berceritami. Penasaranka sih sama lanjutannya. Bikinmki novel kak dwi. Kalo ndk bisa lulus di penerbit mayor, adaji bisa self publishing. Lumayan nah kak, banyak yang sukses penulis novel indie.
ReplyDeleteSebuah imajinasi seorang penulis yang luar biasa. .Serius baca ini sampai ngak peduli sekililing. .Tapi ganting yah ceritanya.. Di tunggu lanjutannya..
ReplyDeleteDan sebenarnya dia ada di mana?
ReplyDeletekenapa tiba2 hilang itu keributan?
hahaha begini mi kalau bukan penggemar fiksi, nda mengerti cerita
Ngerinya, dia mati lalu bangkit di tempat segalanya tidak lagi mungkin untuk diperbaiki dengan bibir yang merah dan sepatunya yang juga merah... Dehahah ngarang ka jadinya XD
ReplyDeleteDeh luar biasa imajinasinya Dwi, meskipun pembaca buku, Saya nda bisa menulis cerita fiksi kayak gini
ReplyDeleteahhh dwi kalau menulis fiksi jadi ngebayangin saya scene demi scenenya..
ReplyDeletelucu itu titik hahahahaha
Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.