1Q84 Book 2

January 16, 2014


1Q84 Book 2
By Haruki Murakami
Copyright @ 2009 Haruki Murakami
All rights reserved
Originally published in Japan by SHINCHOSHA Publishing Co., Ltd., Tokyo
Indonesian Translation rights arranged with Haruki Murakami through
THE SAKAI AGENCY

Penerjemah: Ribeka Ota
Penyunting: Arif Bagus Prasetyo
Perancang sampul: Andrey Pratama
Penataletak: Dadang Kusmana

Hak terjemahan Indonesia ada pada KPG
Penerbit KPG

452hlm; 13,5 cm x 20 cm

“Manusia belajar mencintai dirinya sendiri dengan mencintai dan dicintai orang lain.”
_Tengo, hlm 159

Di buku kedua ini, dua orang terdekat Tengo mulai menghilang satu persatu. Dimulai dari pacarnya yang tiba-tiba saja tak pernah lagi datang berkunjung maupun hanya sekedar menelpon. Disusul kemudian oleh Pak Komatsu yang tidak dapat dihubungi dan tidak sesuai kebiasaannya tidak datang ke kantor karena sakit. Tidak sampai di situ, suami pacarnya tiba-tiba menelpon Tengo dan mengatakan tak usah lagi mencari keberadaan istinya, pacar Tengo, karena ia telah raib. Raib? Bagaimana ia raib? Dan bagaimana suami pacarnya mengetahui hubungan Tengo dengan pacarnya?

Di bimbel tempat ia mengajar, tiba-tiba datang seseorang yang aneh dengan tampang tak biasa ingin menemuinya. Orang itu bernama Ushikawa Toshiharu dari sebuah yayasan yang ingin memberikan sokongan dana untuknya. Secara terselubung ia mengisyaratkan keterlibatan Tengo pada pembuatan novel Kepompong Udara dan secara berbelit-belit mengisyaratkan ancaman kepadanya. Siapa sebenarnya Ushikawa itu? Apakah dia orang yang diutus oleh Sakekage untuk membungkamnya dengan uang? Tapi mengapa mereka repot-repot memberinya uang?

Sebentara itu media sedang heboh-hebohnya membahas hilangnya siswi SMA pengarang novel terlaris. Tujuan Fuka-Eri dan Profesor Ebisuno untuk mengalihkan lampu sorot kepada Sakekage mulai membuahkan hasil ketika pers mulai menguak asal-usul Fuka-Eri. Tapi tiba-tiba Fuka-Eri yang sedang dalam persembunyian muncul begitu saja di depan pintu apartemen Tengo.

Di pihak Aomame, setelah peristiwa anjing penjaga wisma perlindungan yang mati secara tidak masuk akal dan sadis, Tsubasa, anak anggota Sakekage yang diselamatkan Wanita Tua itu tiba-tiba menghilang. Tanpa jejak sama sekali, seolah-olah keberadaannya di bumi ini memang tak pernah ada sebelumnya. Aomame pun harus segera melaksanakan tugasnya...

Setelah pengaturan yang cermat, akhirnya ia berkesempatan bertemu dengan pemimpin Sakekage dan melaksanakan tugasnya. Yang tidak ia ketahui adalah sang pemimpin yang mengetahui niatnya dan malah memohon padanya agar segera melaksanakan tugasnya tersebut. Aomame pun mulai diliputi keraguan, hingga sang pemimpin menyebutkan nama Tengo dan menawarkan keselamatannya dipertukarkan dengan tugas yang harus segera ia selesaikan...

Di buku ini Murakami mengajak kita menyusuri perasaan Aomame dan Tengo lebih dalam lagi. Bagaimana ternyata selama dua puluh tahun itu mereka berdua terus saling memikirkan, perasaan cinta itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh Aomame seorang. Sayangnya meskipun saling memikirkan, keduanya tak pernah mencari satu sama lain, bagian ini sedikit membuat saya gemas. Ada apa dengan kedua orang ini??? Tetapi dipertengahan buku ketika keduanya menyadari bahwa ternyata mereka berjalan di jalur yang sama dan mulai saling mencari dan merasakan satu sama lain, buku ini menjadi semakin menegangkan. Selain karena Murakami dengan licik menempatkan keduanya begitu dekat tanpa pernah saling berjumpa, errr bikin gregetan sekali membacanya. Dan juga saat mereka seharusnya telah berjumpa tetapi karena keraguan Aomame mengakibatkan hal itu tidak terjadi, membuat saya semakin geregetan membaca buku ini. Haaaaa.... Murakami emang paling bisa mengaduk-aduk emosi saya, seharusnya saya sudah mengantisipasi hal tersebut, seharusnya saya belajar dari pengalaman membaca buku-bukunya sebelumnya.

“Tetapi seandainya kami berjumpa di suatu tempat, dan beruntung bisa saling mengenali, aku akan mencurahkan isi hatiku kepadanya secara jujur, tanpa menyembunyikan apa pun, mengungkapkan segalanya apa adanya.”
_Tengo, hlm 79

 “Aku selalu memikirkan dia, sampai sekarang masih sering memikirkannya. Tapi dalam kenyataan, aku hampir tidak pernah berbicara dengannya. Dia pindah sekolah pada tengah semester, dan sejak itu aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi akhir-akhir ini ada kejadian yang membuatku ingin mencari dia. Baru kusadari aku membutuhkan dia. Aku ingin bertemu dengannya dan berbicara dengannya tentang berbagai hal. Tapi dia belum bisa kutemukan. Seharusnya aku mulai mencari dia sejak dulu. Mungkin dengan begitu pencariannya lebih gampang.”
_Tengo, hlm 439

Oh ia... bab terakhir pada bagian Aomame di buku ini membuat saya syok dan langsung nyelutuk, “Arghhhh.... Jangan lagi Murakami!!!”

Pada buku ini saya sudah mulai mengerti konsep 1Q84 itu dan saya pun mulai dapat menebak apa yang Murakami simbolkan dari kepompong udara tersebut. Dan juga di buku ini, kisah dari novel Kopompong Udara yang dikarangan Fuka-Eri dipaparkan, dari isi novel yang dipaparkan itulah saya mengerti, memahami, dan akhirnya tersadar perlambangan apa kepompong udara tersebut.

Ketika menamatkan buku kedua ini saya tak bisa menahan diri untuk langsung melanjutkan membaca buku ketiganya. Saya dibuat sangat penasaran dengan bagaimana akhir kisah ini, akankah Tengo dan Aomame akan berjumpa?

“...sebagaimana halnya dengan segala jenis anugerah, orang harus membayar harga untuk anugerah yang diterimanya.”

 “...dewata memberi dan merampas.”
_Pemimpin Sakekage, hlm 212

 “Di dunia ini tidak ada kebaikan mutlak, juga tak ada kejahatan mutlak. Kebaikan dan kejahatan bukan sesuatu yang tetap dan permanen, melainkan terus-menerus bertukar tempat dan kedudukan tanpa henti. Kebaikan bisa berubah menjadi kejahatan sedetik kemudian. Begitu juga sebaliknya.”
_Pemimpin Sakekage, hlm 219

 “Kalau ada cahaya, pasti ada bayangan. Kalau ada bayangan, pasti ada cahaya. Tak ada bayangan tanpa cahaya, tak ada cahaya tanpa bayangan. Sejauh mana kita adalah entitas yang positif, sejauh itulah bayangan adalah entitas yang jahat. Semakin kita berusaha untuk menjadi manusia yang baik, berkemampuan yang tinggi, dan sempurna, semakin jelas kehendak bayangan untuk menjadi gelap, jahat, dan menghancurkan. Saat manusia hendak menjadi sempurna melebihi kapasitas dirinya sendiri, bayangan turun ke neraka dan menjadi setan. Karena bagi manusia, menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri sama berdosanya dengan menjadi sesuatu yang lebih rendah daripada dirinya sendiri.”
_Hlm 245





You Might Also Like

0 Comments

Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.