Jadi ini alasannya
December 03, 2013
“Bagi
negeri-negeri, bahasa nasional adalah perjuangan besar untuk mempertahankan
eksistensi dan jati diri. Sementara di belahan lain Asia, pemimpin dan
rakyatnya malah bangga bisa menyelip-nyelipkan kata dan kalimat bahasa asing,
sebagai lambang kecerdasan dan kemajuan berfikir, tertimbun oleh kekaguman dan
pemujaan terhadap kemajuan peradaban asing- secuil superioritas dari sindrom
inferioritas bangsa terjajah.”
_
Garis Batas, Agustinus Wibowo
Ada alasan tersendiri
mengapa saya sangat muak, enek, dan rasanya ingin melempar buku-buku karangan
penulis Indonesia yang dalam tulisannya itu banyak menyelipkan kalimat-kalimat
berbahasa asing. Ya, mungkin bisa di maklumi jika setting tempatnya di luar
negeri. Tapi jika settingnya masih di Indonesia??? Tidak, ini bukan rasa iri
karena saya tak mampu seperti mereka yang bisa dan mengerti banyak bahasa asing
sebentara saya masih terbata-bata di bahasa Inggris. Hal itu sama sekali tidak
ada hubungannya.
Saya hanya selalu
bertanya-tanya apa gunanya mereka melakukan hal tersebut. Bukankah yang akan
membaca tulisan mereka adalah masyarakat Indonesia?!! Sang pengarang ingin
ditahu bahwa ia pintar, jago bahasa asing? Jika alasannya memang seperti itu,
mengapa tidak menulis dalam bahasa asing saja? Mengapa harus campur-aduk ala
gado-gado seperti itu? Atau itukah ciri khas mereka?
Ada juga yang
mengatakan bahwa kalimat-kalimat itu maknanya lebih dalam jika menggunakan
bahasa asing dibandingkan mencari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Tapi
sekali lagi, bukankah mereka menulis tentang orang Indonesia dan bertempat di
Indonesia? Dengan kultur Indonesia? Hal apa yang tidak dapat disampaikan
menggunakan bahasa Indonesia yang notabene bahasa kita sehari-hari? Ahhh maaf
rasanya saya tidak bisa menganggap benar alasan apapun itu.
Tidak hanya dalam buku
sebenarnya, bahkan percakapan sehari-hari sekarang ini sering sekali saya
menjumpai percakapan yang menyelipkan kalimat-kalimat asing. Merasa keren jika
bisa berbahasa asing tapi bahasa Indonesianya blepotan. Ada apa dengan kita?
Mungkinkah ini sindrom inferioritas bangsa terjajah yang Agustinus sebutkan?
Ketika kita sudah tidak bangga lagi menggunakan bahasa kita sendiri...
2 Comments
Haha. Kalau saya sih sama sekali nggak merasa terganggu dengan bahasa gado-gado. Untuk novel, selama gaya menulisnya asik, saya bisa enjoy. Sekalian belajar bahasa Inggris. Maklum, bahasa Inggris saya fayah. :D
ReplyDeleteHihihi sepertinya tiap orang memang beda-beda ya :p Aku gak suka pake banget!!! Hehehe
DeleteTerimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.