Selimut Debu
Oleh:
Agustinus Wibowo
Copyright @
2010, PT Gramedia Pustaka Utama
Editor:
Hetih Rusli
Co-editor:
Prisca Delima
Foto sampul
dan isi: Agustinus Wibowo
Desain
sampul: Marcel A. W.
Peta dan
layout: Ryan Pradana
Cetakan
pertama, Januari 2010
461hlm,
13,5x20cm
“Pembeli: Berapa harga kepala kambing ini?
Penjual: Lima puluh Afghani.
Pembeli: Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja.
Penjual: Apa? Dua puluh afghani? Kamu gila? Kamu kira itu kepala
manusia?
_Lelucon Kandahar”
Selimut
debu akan membawa anda berkeliling “negeri mimpi”-yang bisa dihadirkan lewat
gambaran reruntuhan, korban ranjau, atau anak jalanan mengemis di jalan
umum-sambil menapaki jejak kaki Agustinus yang telah lama hilang ditiup angin
gurun, namun tetap membekas dalam memori. Anda akan sibuk naik-turun truk,
mendaki gunung dan menuruni lembah, meminum teh dengan cara Persia, mencari
sisa-sisa kejayaan negara yang habis dikikis oleh perang dan perebutan
kekuasaan, sekaligus menyingkap cadar hitam yang menyelubungi kecantikan “Tanah
Bangsa Afghan” dan onggokan debu yang menyelimuti bumi mereka.
Bulir demi
bulir debu akan membuka mata anda pada prosesi kehidupan di tanah magis yang
berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dilupakan-sampai akhirnya ditemukan
kembali.
Sebagai seseorang yang
tidak begitu menyukai membaca buku-buku traveling, saya dibuat terpesona dengan
catatan perjalanan Agustinus Wibowo ini. Saya ikut terhanyut dengan
petualangan-petualangannya di tanah Afghan, dia dengan indah menggambarkan
bahwa tanah Afghan tidak melulu adalah perang dan kaum perempuan yang
tertindas. Dia membuka wawasan kita untuk melihat secara keseluruhan untuk
setiap permasalahan yang terjadi di Afghan sana. Dia membawa kita untuk melihat
dari setiap sisi sebelum menilai. Dan bahwa sejatinya kebaikan manusia dapat
kita temukan dimanapun kita berada...
Selain itu yang membuat
saya jatuh hati terhadap buku ini adalah tidak hanya memuat perjalanan
Agustinus tetapi juga sejarah tempat yang ia jajaki, kebudayaan, pola pikir,
dan sistem nilai moral yang masyarakat itu anut~ Dari pada saya nyeros yang
itu-itu saja, mari mengintip beberapa kutipan pada buku ini;
![]() |
Ini cover barunya ^^ Sukaaa~ |
_Hal 56
“Di negeri ini, takdir terkadang hanya ditentukan oleh sekali salah
langkah. Ranjau darat, jutaan jumlahnya tersembunyi di padang, siap meledak
setiap saat. ..... Berapa banyak orang yang sedang enak bermimpi di atas kasur
tiba-tiba keambrukkan atap rumah gara-gara roket nyasar? Ada bom meledak,
peluru beterbangan. Anak-anak juga menjadi cacat karena kurang gizi dan layanan
kesehatan.”
_Hal 64
“Negeri ini penuh ironi. Perang melanda, selimut debu membungkus,
ranjau mengancam, tetapi masih ada tawa bahagia di tengah kerontangnya padang.”
_Hal 97
“Bagi kami yang paling penting adalah insaniat. Kemanusiaan. Semua
manusia, apa pun agamanya adalah sama. Agama itu letaknya di hati”
_Shah dari Panja
“Hidup itu selalu ada
naik-turunnya, seperti pegunungan ini. Kita terkadang terengah-engah mendaki,
terkadang meluncur turun dengan lepas. Ada waktu susah, ada waktu berjuang, ada
waktu untuk berbahagia.”
_Nassir
Saya jamin sensasi
membaca buku ini tidak akan seperti sensasi membaca buku-buku traveler lainnya,
yang hanya sekali dibaca setelah itu ditutup dan tidak ingin di buka kembali
(setidaknya seperti itu bagi saya saat membaca buku-buku traveling, saya tidak
memiliki keinginan untuk membacanya kembali). Lain dengan buku ini, saya
pribadi ingin membacanya lagi dan lagi~ Yup!!! Sepertinya saya akan membeli
buku ini dan dua buku lain Agustinus Wibowo yang telah dibundel cantik oleh
Gramedia. Makasih Kak Afdhal telah mengenalkan saya pada karya Agustinus Wibowo
dan meminjamkan buku ini kepada saya ^^
“Perjalanan negeri ini begitu panjang. Dari gunung-gunung cadas,
bermula peradaban kuno yang menyokong perputaran roda sejarah umat manusia.
Lalu perang datang silih berganti, melumat generasi demi generasi. Ada kebanggaan
dan kehormatan yang tak boleh dikorbankan sekalipun nyawa menjadi taruhannya.
Ada mimpi yang tergantung, juga perjuangan melawan penindasan, berpadu dengan
kemurahan hati untuk mengulurkan tangan, menawarkan hangatnya teh hijau segar,
dan menyajikan roti bagi musafir malang. Tak perduli betapa pun miskinnya,
sekalipun dapur pun tak lagi mengepul dan minyak telah mengering, melayani tamu
dan berbagi makanan adalah kebanggaan yang tak berbanding. Saya pun ikut
bertahan, larut dalam semangatnya.
Mehman navazi, keramahtamahan, adalah jalan hidup. Di sini, perang
berkepanjangan tak melunturkan rasa cinta sebagai bagian dari harkat
kemanusiaan. .....
Kemanusiaan, adalah anugerah Tuhan yang tersisa di sini, sementara
banyak kebanggaan dan peradaban yang hancur oleh perang berkepanjangan.
Kebanggaan dan kehormatan. Nang dan namus. Bagi orang Afghan, tiada
yang lebih penting daripada ini. Apakah ini mimpi dan ego yang membuat manusia
bertahan melintasi perubahan peradaban? Itukah kebanggaan yang membuat para
pejuang rela mati mempertahankan bukit gundul, gersang, penuh debu? Khaak yang
dibela mati-matian dengan segenap jiwa raga, kebanggaan yang tak boleh
direndahkan, terkadang hanya berwujud bulir-bulir debu tanpa makna. Khaak
memang hampa, tanpa nama, sering kali tak berupa, tetapi kebanggaannya penuh
kuasa.
Sebongkah mimpi dan segunduk kebanggaan, terbungkus dalam selimut
debu.”
![]() |
Sempat berfoto saat di acara MIWF kemarin >.< |