Dwi Ananta Sari

Subuh tadi aku terbangun dengan kaget. Angin kencang menorobos masuk ke dalam rumah, mengetuk keras jendela, mendobrak pintu dapur, dan menguncang-guncangkan seng rumah. Gaduh! Subuh itu sangat gaduh. Angin melolong-lolong di luar sana menutupi suara-suara dari mesjid. Awalnya suara-suara itu menakutkannku, setelah betul-betul terjaga dan sadar suara apa itu, aku tersenyum. Suara itu memiliki sisi indah yang melankolis dan kembali membawaku ke mimpi selanjutnya...

Pagi ketika saya terbangun, badai subuh tadi tidak meninggalkan bekas. Cuaca memang agak dingin dan matahari malu-malu menampakkan dirinya. Tapi tidak ada kerusakan yang berarti, hanya air yang sedikit tergenang di dapur. Dengan muka mengatuk dan mata yang masih ogah terbuka aku keluar rumah dan terpesona dengan apa yang kulihat... 

Momen terindah adalah ketika badai/hujan berlalu. Mungkin ini adalah pelajaran pagi ini yang di ajarkan oleh alam itu sendiri. Tapi bagi saya badai pun memiliki sisi indah yang bisa kita kagumi, keindahannya bersifat melankolis walaupun terkadang kejam.

Apakah kau tahu awan itu benda seperti apa Gadis Kecil?

Bukan, bukan awan di kehayalanmu yang terkadang terlalu aktif. Awan bukanlah gumpalan permen kapas yang sering kau makan. Bukan juga kapas yang terkadang kau gunakan untuk membersikan makeup di mukamu. Bukan pula tanah para peri, dasar tempat mereka membangun kerajaan. Ahhh bahkan kau tidak bisa membangun tempat menyepi impianmu di sana...

Karena awan sejatinya adalah sekumpulan uap air, ia tidak akan mampu menahan berat tubuhmu... Semungil apapun engkau...

"Lalu mengapa jika awan adalah uap air?!!! Para peri memiliki kemampuan untuk memadatkan awan, sebuah tekhnologi yang bahkan manusia tidak mampu membayangkannya. Dalam prosesnya mereka menyadari awan itu bisa di makan, rasanya menyegarkan, selayaknya air. Mereka memberi rasa pada awan sehingga lebih enak ketika di santap. Mereka juga menggunakan awan tersebut untuk membersihkan wajah, karena kemampuannya memurnikan..."

Peri itu tidak ada!

_Perbincangan aneh saat di atas pesawat dari Balikpapan menuju Makassar

Beberapa minggu yang lalu pesanan kartu pos saya di Anggraini Craft tiba. Setelah membuka bungkusannya, saya berdecak kagum memandangi sembilan kartu pos yang sangat cantik ini. Tiba-tiba saya tidak rela mengirimkannya kepada siapapun  >.<

Saat Imlek (Ingat saat itu Imlek karena tidak turun hujan, biasanya perayaan Imlek selalu ditandai dengan hujan lebat seharian), aku berkunjung lagi ke kebun mertua. Niat berkunjungnya selain untuk memetik rambutan, jalan-jalan, silahturahmi dan memang saat di Samarinda entah mengapa sangat kangen dengan tempat itu. Seperti biasa, rencananya bakalan berangkat pagi, tapi seperti biasa juga jika menyangkut dia keleletan itu adalah hal yang pasti terjadi, kami akhirnya berangkat sekitar jam sebelas.

Matahari lumayan menyengat saat itu, saya sudah siap tempur dengan memakai celana jins panjang, baju kaos lengan panjang, dan sepatu kets. Tapi baru setengah perjalanan tiba-tiba saja hujan deras! Padahal tadi matahari sedang semangat-semangatnya memancarkan panasnya ke bumi. Berteduh sejenak bagi saya adalah penantian yang sangat menyebalkan. Saya ingin menembus hujan itu dan menjadi basah. Dan entah mengapa, tumben-tumbennya, dia menyetujui untuk menerobos hujan kali ini. Maka kami pun berhujan-hujanan, tidak lama, hujan berhenti dan matahari kembali bersinar ceria, bahkan kami hanya sedikit basah yang segera kering selama perjalanan.

Saya menyadari rute jalan yang kami lalui kali ini berbeda. Jalan kali ini lebih mulus dan di kiri kananya terhampar sawah sejauh mata memandang. Setelah saya tanyakan, saya baru mengetahui bahwa jalan ini menuju dan berakhir di Lapangan Golf, yang kalau saya tidak salah baru saja diresmikan. Lumayanlah, jalan ini mempercepat kami sampai di tujuan.

Sesampai di kebun, kami mengisi perut dahulu kemudian mengecek keberadaan buah rambutan di pohonnya. Oh, karena saya berkunjungnya setelah masa panen lewat, rambutan di kebun yang mertua tinggali sudah ludes, tinggal rambutan di kebun sebelah yang masih lumayan banyak tersisa. "Sebelah" yang di maksud di sini bukan tepat di samping  kebun tapi harus menggunakan kendaraan untuk mencapainya. Saya si girang saja, berhubung bakalan dapat rambutan gratisan lagi dan saya memang belum pernah ke kebun sebelah. Menjelajahi tempat baru bagi saya adalah sebuah petualangan yang selalu saya nantikan. Meskipun ada perasaan kehilangan juga si tidak mendapatkan moment seperti tahun kemarin yang sejauh mata memandang, pohon-pohon rambutan itu nyaris berwarna merah karena syarat dengan buah.

Sebelum berangkat ke kebun sebelah, terlebih dahulu saya mengganti celana dengan celana selutut dari kain yang telah saya persiapkan dari rumah. Juga mengganti sepatu dengan sendal dari kebun. Lalu berdua kami berboncengan naik motor, melewati kebun rambutan lainnya, perkebunan jagung dan kacang serta kebun singkong. Pemandangan sangat indah. Setelah lelah sehari-hari hanya melihat deretan beton dan aspal, mata ini dimanjakan dengan warna-warni hijau yang menyegarkan.

Sesampai di kebun sebelah, tanpa berlama-lama, kami langsung memetik rambutan. Sesekali rambutan itu masuk ke mulut saya, ia deh bukan sesekali tapi sering. Kira-kira setengah karung telah terisi dengan rambutan saya mulai siap mengibarkan bendera putih. Memanen itu ternyata pekerjaan yang berat apalagi kontur tanah di kebun ini berbukit-bukit, capeknya bukan main.

Tapi kata dia rambutannya masih sedikit, setidaknya harus sekarung itu full terisi baru kami pulang. Meskipun badan, terutama lengan dan kaki sudah menjerit-jerit kecapekan, saya tetap membantu di memungut buah-buah rambutan yang telah dia gunting dari ranting-rantingnya. Kadang saya berhenti juga sejenak sambil makan rambutannya, foto-foto, atau hanya duduk mengatur nafas.

Meskipun pohon tidak lagi berwarna merah karena syarat dengan buah, tapi masih cukup memenuhi karung yang kami bawa dan itupun masih banyak tersisa di atas pohon yang belum di panen. Saat senja barulah karung itu terisi penuh. Misi sukses!!! Hehehehe...Setelah itu kami kepikiran bagaiman membawanya ke kebun yang satunya. Jalanan di sana dari tanah dengan medan yang cukup berat di lalui oleh motor metig. Akhirnya karung itu saya pangku dan kami berharap tidak akan terjatuh selama perjalanan.

Sesampai di kebun, rambutan itu kami pecah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah di bawah naik motor menuju Makassar...

Baca juga ini dan ini dan ini ^^

Saat telah melewati daerah Kilang Minyak, Pak supir yang membawa kami bertanya, apakah menginginkan singgah ke Kebun Sayur? Waktu itu saya berfikir Kebun Sayur ya "kebun sayur", sebuah lahan luas tempat menanam sayur. Karena itu saya bilang, ya ke sana saja pak liatnya dari mobil saja, berhubung sekali lagi masalah waktu...

Ternyata Kebun Sayur adalah tempat penjualan kerajinan khas Balikpapan. Langsung saja saya saat itu meminta untuk singgah. Meskipun menyadari kondisi dompet yang sangat tidak memungkinkan :p Setidaknya saya ingin mengabadikan tempat itu dan melihat hasil kerajinan di sana ^^

Harga yang di patok untuk setiap jualan terbilang murah, apalagi itu barang handmade. Ada sebuah tas yang sangat membuatku jatuh cinta, tapi uang saya tidak cukup, sudah ngotot nawar dan mentok pada harga seratus ribu penjualnya tidak mau turun lagi harganya. Uang di dompet cuma tujuh puluh ribu dan di sana tidak ada ATM T_T Sampai sekarang tas itu masih terbayang-bayang...