Perjalanan, Pelajaran Dari Bapak Pengendara Taksi Kuning
Mereka yang Meninggalkan Jejak April 28, 2012
Saat itu cuaca lumayan terik, aku mulai tak sabar menunggu taksi kuning tersebut. Mengapa begitu lama? Pikirku saat itu. Maklum saja, hari ini adrenalinku menggebu-gebu, aku akan bertualang seorang diri lagi (Ok! Ini sedikit lebay). Entah mengapa “beroperasi” sendiri selalu memberikan tantangan yang sangat kusukai. Rasanya jika aku bisa melewatinya tanpa kepanikan atau kesalahan, aku telah dapat menaklukkan diri sendiri...
Taksi kuning itu pun datang. Bersegera aku memasukan koper ku ke bagasi, berpamitan, dan duduk dengan manis sambil mengintruksikan tujuanku kepada supir taksi kuning tersebut.
Awalnya untuk membunuh waktu, aku berencana memasang headset dan mendengarkan lagu sembari bertwitter ria. Tapi sebelum itu, pak supir mulai mengajak ku mengobrol. Tak enak hati, aku pun mendengarkan ocehannya dan terkadang menimpali atau sekedar tersenyum. Banyak yang ia bicarakan, mulai dari politik, matematika, UUD 45, teknologi sekarang ini, anak muda zaman sekarang, hingga suka duka berkeluarga.
Entah dari mana awalnya, tiba-tiba Pak Supir tersebut mengatakan bahwa ia sangat ingin berkuliah. Dulu katanya, saat lulus SMA ia diterima di ITB, apa daya karena faktor ekonomi ia harus mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan. Sampai sekarang ia menyesali mengapa ia tidak dapat kuliah dan merasa iri pada mahasiswa. Dia berfikir mungkin nasibnya akan lebih baik jika bisa kuliah dan mendapat gelar S1. Dia juga tak habis pikir dengan anak muda yang mampu tapi tidak mau kuliah...
Ahh... sampai di sini mengertikan betapa risihnya saya mendengar ucapan sang bapak? Ini bapak nyinggungnya kena banget ya! Saya cuma bisa tersenyum salah tingkah menanggapi curhatannya.
Andai saja dia tahu...