Hari itu seorang kenalan dikabarkan meninggal. Tante ku yang terbilang dekat dengannya, bercerita kisah hidup almarhuma kepada kami...
"Ini sebuah cerita tentang seorang ibu…
Saat seorang putri kecil keluarga itu meninggal, ia meninggalkan keretakan diantara kedua orangtuanya. Sang ayah menyalahkan sang ibu, begitupun sebaliknya, sang ibu menyalahkan sang ayah atas kejadian ini. Saling tuding diantaranya, menelurkan kekecewaan, kemarahan, kebencian, dan sakit hati. Puncaknya terjadi saat sang ayah mencari kedamaian pada pelukan perempuan lain. Perceraian pun sudah merupakan jalan satu-satunya.
....
Si ibu bersama ke tiga anaknya ditinggalkan pada sebuah rumah yang kosong dan beraroma duka. Sang ayah telah pergi tanpa pernah menengok kebelakang lagi…
Untuk menghidupi tiga anak bukan perkara yang mudah untuknya. Seorang perempuan cerai, hanya lulusan SMP, dan tak punya pengalaman kerja, kelimpungan mencari pekerjaan. "Aku ingat saat dia bertandang dari rumah kerumah sambil menggendong anaknya yang terkecil dan menggandeng ke dua anaknya yang lain di ke dua tangannya. Mencari sesuatu yang dapat ia kerjakan. Tak jarang ia bekerja di rumah ini. Mencuci, menyetrika atau sekedar membantu memasak.’ Ujar tanteku.
Kegigihannya dalam menafkahi ketiga anaknya sungguh patut diancungi jempol. Tak pernah menyerah atau berputus asa, asalkan kebutuhan ketiga anaknya tercukupi. Tak ada satu pun keluarganya yang mengulurkan pertolongan, entah karena kekurangan juga atau hanya karena tidak peduli. Sang mantan suami? Jangankan tunjangan untuk sang anak, batang hidungnya pun tak pernah kelihatan.
Begitulah tahun demi tahun, dengan bekerja serabutan ia mampu memenuhi kebutuhan mendasar ketiga anaknya. Hingga melonjaknya harga-harga pangan dan pendidikan serta terancamnya si sulung di keluarkan dari sekolah karena menunggak pembayaran satu caturwulan, membuatnya mengambil langkah drastis dalam hidupnya. Uluran tangan seseorang yang berjanji akan membiayai sekolah ke tiga anaknya dengan satu syarat; dia harus berpindah keyakinan. "Mungkin ini salah, tapi demi hidup yang lebih baik untuk anak-anak ku akan kulakukan apapun. Aku rasa Tuhan akan mengerti." Katanya.
Dan yah… ia keluar dari Islam tapi, hanya ia, ke tiga anaknya tetap ia pertahankan agamanya. Ia mendapatkan cercaan yang sangat keras dari para keluarganya, bahkan sempat, keluarganya tak ada yang mau berhubungan dengannya. Ia berkeyakinan dan berharap Tuhan itu Maha Mengerti, semoga dapat mengerti keputusannya. Toh ia masih mempercayai Tuhan itu Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Waktu terus berjalan…. Tak terasa, si sulung telah bekerja dan memiliki istri, si tengah telah menamatkan SMA-nya, dan si bungsu sedang bersekolah di sebuah pesantren. Dan suatu hari sang ibu pergi menemui si sulung dan berkata "Nak, bisakah ibu kembali beragama Islam lagi? Ibu rindu melantunkan salam serta salawat kepada Rasullullah." Ketahuilah telah sebulan ia menolak bantuan terdahulu dengan alasan sudah mampu menyekolahkan anaknya yang terakhir dan ia merasa masih banyak yang kesusahan di luar sana yang lebih pantas dibantu dibandingkan dirinya. Terlebih lagi, ia ingin kembali memeluk Islam.
Ketiga anak, menantu, serta keluarganya tentu saja sangat bergembira menyambut hal tersebut. Mereka membawa sang ibu ke mesjid dan dibantu oleh seorang uztad mengucapkan dua kalimat syahadat tiga kali. Si bungsu yang paling bergembira menyambut hal ini, ia selalu bersedih dan memikirkan nasib dan murka Tuhan kepada ibunya di dunia sana, nantinya. Mereka bergantian mengajar sang ibu mengaji yang telah lupa beberapa aksara Arab saat berpindah keyakinan dahulu. ‘Saat lebaran nanti, ibu akan bersama-sama kita saat solat ied! Aduh senangnya.’ Kata mantunya.
Kita boleh berencana dan Tuhan yang memutuskan. 3 bulan setelah beliau masuk Islam kembali, beliau meninggal. Hal itu awalnya menimbulkan ketidak percayaan pada beberapa keluarganya yang siang itu sempat beliau kunjungi rumahnya. ‘Dia tampak sangat sehat dan terlihat berseri-seri, tak ada tanda-tanda sakit. Pas mendengar kabar itu kami tidak percaya, lalu menduga ia mengalami kecelakaan diperjalanan sepulangnya dari rumah ini.’ Ujar salah satu keluarganya. Tapi tidak, ia meninggal dengan wajar. Ya, ia sempat muntah-muntah dan menelfon anak-anaknya agar berkumpul di rumahnya. Lalu si sulung, berkeras membawa ibunya ke rumah sakit. Dan sang ibu meninggal di sana, dikelilingi oleh ketiga anak dan mantunya, beruntunglah si bungsu sedang libur saat itu. Sehingga ia dapat melihat kepergian ibunya."
Aku terkesimah pada cerita yang tante ku sampaikan ini. Begitu menyentuh, tentang cinta dan kasih seorang ibu. Mungkin ia salah karena berpindah keyakinan, tapi toh kita tak ada saat itu dan tak merasakan kesusahan serta kecemasan yang ia rasakan. Dan saya tak mau menghakimi seseorang, itu bukan tugas saya sebagai seorang manusia. Biarlah Sang Kekasih yang menentukan dosa tidaknya sang ibu tersebut. Saya berdoa untuk pengampunan Sang Kekasinh untuk beliau. Dan sebuah lagu kanak-kanak mengingatkan ku padanya…
‘Kasih ibu, kepada beta
tak terhingga sepanjang masa
hanya memberi, tak harap kembali