Maaf Ibu Peri Untuk Saat ini Aku Belum Membutuhkan Lambaian Tongkat Sihirmu
Sebuah Cerita July 30, 2010
“Aku ingin orangtua ku hidup kembali,” kata ku.
“Yakinkah kau?” Katanya.
Ya… tentu saja. Aku ingin itu, aku ingin Aba dan Andi’ kembali ke dunia agar aku dapat berkumpul lagi dengan mereka dan merasakan lagi keluarga yang utuh. Benarkah? Tidak… kurasa tidak! Aba dan Andi’ telah bahagia di sana bukan? Mereka telah bertahta disisi sang Kekasih. Tegakah aku menarik mereka kembali ke tempat yang fana ini? Mereka telah bahagia disana tanpa ada lagi yang dapat menyakiti mereka. Toh aku yakin mereka selalu mengawasi ku dan menjaga ku di sana. Mereka juga tetap hidup dihati ku.
“Jadi, kau menginginkan orangtua mu hidup kembali?” Katanya lagi.
“Tidak ibu peri, aku…aku…ingin apa?”
“Berfikirlah. Aku tidak kemana-mana.”
Apa yang ingin kuminta? Apa harapan ku? Ah….ya.
“Ibu peri, aku ingin kuliah di jurusan ***!”
“Begitu? Yakinkah kau?”
Ya… aku ingin itu. Andai saja aku dulu lulusnya disana bukan di Sastra Jepang. Tapi bukannya di Sastra aku mendapatkan teman-teman yang baik? Aku mendapat pengetahuan yang unik? Tapi tetap saja aku ingin kuliah dijurusan ***. Ya, itu yang ku inginkan. Tapi… Tidak. Aku tidak bisa. Aku yakin aku bisa masuk jurusan itu dengan usahaku sendiri, bukan dari lambaian tongkat semata. Aku harus masuk jurusan itu dengan usaha ku sendiri.
“Maaf ibu peri, bisahkah aku memikirkan permintaan ku lagi?”
Sambil tersenyum, ibu peri berkata, “Tentu.”
Hmmm… Bagaimana bila aku meminta seorang “pangeran”? Pasangan hidup seperti di novel-novel yang kubaca? Bukankah itu permintaan yang sangat bagus? Ya… Aku ingin seseorang yang memuja ku, yang bila ada aku dia merasa yang lainnya tidak lagi penting, yang merasa aku perempuan paling terindah di dunia ini, yang menghormati ku, yang mendengar perkataan ku, yang memperlakukan ku seperti seorang ratu, yang menyayangi ku, yang mencintai ku seutuhnya. Ya… aku ingin itu. Sangat ingin. Itu mimpi romantis ku. Tapi…
Bagaimana nanti dengannya? Lelaki yang satu itu? Lelaki yang pastinya bukan lelaki impian ku. Tapi yang selama ini membuatku tersenyum, tertawa, dan tentu saja menangis. Yang kadang memuja ku tapi lebih sering mencela ku. Yang entah mengapa aku sayangi melebihi apapun di bumi. Bagaimana dengan dia? Bisakah aku mencampakkannya? Tidak, kurasa tidak.
“Kalau begitu biarkan aku menjadi orang yang kaya ibu peri!”, kata ku. “Eh… Tidak! Tunggu!” Teriak ku.
Bila aku menjadi orang yang kaya, dapatkah aku menjaga kekayaan ku itu? Dapatkah aku dipercaya menjadi orang kaya? Tidak sombongkah nantinya aku? Maukah aku kekayaan yang kudapatkan bukan dari kerja keras ku? Tidak…tidak… Ada apa dengan ku ini, bisa-bisanya berkeinginan seperti itu.
Aku mondar-mandir sambil memikirkan apa yang kuinginkan. Hmmm…Bagaimana kalau begini saja; “Tidak ada seorangpun manusia yang menderita dan bersedih di dunia ini.” Kata ku.
“Begitu? Itu yang kau inginkan? Sekedar nasehat sayang; Hitam dan putih itu satu paket. Yin dan yang, kebaikan dan keburukan menciptakan keseimbangan di bumi ini. Kamu yakin meminta itu?” Katanya sambil tersenyum.
“Maksud ibu peri akan terjadi chaos nantinya bila aku meminta itu?”
“Begini sayang, apa jadinya bila semua manusia di bumi ini tidak akan lagi merasakan kesedihan? Akankah mereka menghargai arti kebahagian itu?”
“Aduh ibu peri, aku tidak menyangka dampak sesuatu dari keinginan ku ini bisa sangat berakibat fatal. Begini saja, kurasa untuk saat ini aku belum membutuhkan lambaian tongkat sihir mu. Bisakah saat ini aku tidak meminta apa-apa dulu? Biarlah permintaan ku itu kusimpan sampai ada hal-hal yang begitu mendesak.”