Ini bukan hujatan, ini hanya keheranan dan kebingungan
Mengapa ada hari Kartini?

Bermimpi, tapi menyerah dengan mimpinya.
"Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi."
Kartini hanya mengeluh kepada teman-teman wanita Belandanya, sekalinya diberi kesempatan, malah disia-siakan.
Lalu mengapa ada hari Kartini sedangkan hari Dewi Sartika tak ada?

"Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda."
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda."
Mengapa Kartini sangat terekspos? Jarang ada anak sekolah yang mengenal seorang Dewi Sartika. Padahal seorang Dewi Sartika tidak hanya bermimpi tapi mewujudkan mimpi tersebut dan mengambil segala kesempatan untuk mewujudkan mimpinya. Mengapa Kartini diistimewakan? Bukankah ini pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Lagian, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah, tidak seperti Cut Nyak Dien. Dia berlindung dibalik tembok kebangsawanannya, tetap aman dan damai sampai akhir hayatnya.
Tidak dipungkiri cita-citanya memang teramat besar untuk bangsa ini. Tapi apa gunanya cita-cita tanpa usaha untuk mewujudkannya???
"": Sumber Wikipedia
Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena dengan melupakan sejarah, kita menjadi orang kerdil yang tidak bisa maju dan besar.
_Bung Karno
_Bung Karno

Jika jalan yang kau lalui terasa gelap dan berlubang, kemana kaki akan melangkah?
Jika himpitan tanggung jawab menyesakkanmu dan tak membiarkanmu bernafas, kemana suara akan berkata?
...
Ada anak kecil yang bingung akan dunia ini. Dia anak perempuan yang tidak mengerti mengapa ketimpangan perlakuan terjadi pada kaumnya. Kadang berkedok kebaikan, seharusnya, sewajarnya, kodratnya, budayanya, AGAMAnya!!!
Apakah benar dunia ini hanya untuk kaum lelaki? Kaumnya hanya pelengkap yang tak ubahnya hewan peliharaan untuk dimiliki, untuk dimanja-manja, setelah bosan ditelantarkan dan dibuang??? Tak boleh memiliki mimpi dak tak boleh berkehendak? Dimana yang namanya Tuhan YANG MAHA ADIL itu? DIMANA?
Tidak... Bukan begitu...
Apakah kaum lelaki itu yang membalikkan segala kenyataan ini? Apakah karena paham patriarki mereka yang tak mau dikalah?
Si gadis kecil bingung.
Adakah dunia yang melakukan kesejajaran antar kaum? Bila ada, dia ingin kesana.
Dinda ingin membentur-benturkan kepalanya di tembok atau mengiris-iris pergelangannya hari ini, tapi harga dirinya menghalanginya. Ia tak mau melukai tubuhnya walaupun mungkin rasanya melegakan. Ia tak mau dikasihani, padahal dia membutuhkan dikasihani sama seperti dia membutuhkan disayang dan dicintai.
Ia mendambakan dicintai dan disayang sekaligus membencinya.
“Bagaimana bila kuiris pergelanganku? Tapi aku tak ingin ada yang melihat bekasnya. Atau kuiris saja bagian tubuhku yang lainnya? Atau kuakhiri saja hidupku?”, katanya.
Sekali lagi harga diri menghalangi. Dinda tak ingin dikenang sebagai pengecut yang mengakhiri hidupnya. Lalu harus bagaimana?
Dinda…Dinda…
Dia gadis yang cantik dan memiliki banyak teman. Tak ada yang menyangka, Dinda gadis periang yang selalu tersenyum dan terlihat tangguh ternyata rapuh di dalam. Rusak, menurutku.
Senyum, sifat riang dan segalanya hanya kedok belaka. Dia rusak, rapuh bila disentuh sedikit saja akan pecah berhamburan.
Tak ada yang tahu apa masalah yang dihadapinya, bahkan tak ada yang menyangka dia punya masalah. Dia buku curhat temannya, pendengar setia. Tapi siapakah yang peduli kepadanya? Tahukah mereka kesedihannya? Tak ada. Dinda memang menutup dirinya. Bagaikan buku yang senantiasa tertutup, terlupakan di sudut teratas perpustakaan.
Melukai diri obsesi terbesarnya, hanya saja dia angkuh. Tak ingin terlihat rapuh, dia kuat!!! Harus terlihat kuat!!!
Maka mulailah dinda merusak mentalnya, merusak jiwanya.
Hari ini dia membayangkan mengiris-iris tangannya, besok ia membayangkan menusuk-nusuk perutnya, besoknya lagi dia membayangkan memotong-motong tangannya.
Besoknya lagi…
Besoknya…
Besoknya…
_ Makassar, 7 April 2010
Ia mendambakan dicintai dan disayang sekaligus membencinya.
“Bagaimana bila kuiris pergelanganku? Tapi aku tak ingin ada yang melihat bekasnya. Atau kuiris saja bagian tubuhku yang lainnya? Atau kuakhiri saja hidupku?”, katanya.
Sekali lagi harga diri menghalangi. Dinda tak ingin dikenang sebagai pengecut yang mengakhiri hidupnya. Lalu harus bagaimana?
Dinda…Dinda…
Dia gadis yang cantik dan memiliki banyak teman. Tak ada yang menyangka, Dinda gadis periang yang selalu tersenyum dan terlihat tangguh ternyata rapuh di dalam. Rusak, menurutku.
Senyum, sifat riang dan segalanya hanya kedok belaka. Dia rusak, rapuh bila disentuh sedikit saja akan pecah berhamburan.
Tak ada yang tahu apa masalah yang dihadapinya, bahkan tak ada yang menyangka dia punya masalah. Dia buku curhat temannya, pendengar setia. Tapi siapakah yang peduli kepadanya? Tahukah mereka kesedihannya? Tak ada. Dinda memang menutup dirinya. Bagaikan buku yang senantiasa tertutup, terlupakan di sudut teratas perpustakaan.
Melukai diri obsesi terbesarnya, hanya saja dia angkuh. Tak ingin terlihat rapuh, dia kuat!!! Harus terlihat kuat!!!
Maka mulailah dinda merusak mentalnya, merusak jiwanya.
Hari ini dia membayangkan mengiris-iris tangannya, besok ia membayangkan menusuk-nusuk perutnya, besoknya lagi dia membayangkan memotong-motong tangannya.
Besoknya lagi…
Besoknya…
Besoknya…
_ Makassar, 7 April 2010
Dirinya tersesat lagi. Lagi? Atau sebenarnya dia tak pernah keluar dari gua itu.
Tak pernah…
Hanya saja, mungkin, dia berada di bagian gua yang tak pernah dilaluinya sebelumnya. Tempat yang menjanjikan harapan semu. Harapan? Masihkah dia berani berharap? Setelah sekian lama?
Toh dia masi saja tersesat.
Berputar-putar di gua gelap tanpa menemukan jalan keluar. Semakin lama, semakin tersesat.
Jadi siapa bayangan itu? Yang membuatnya mengira, akhirnya menemukan jalan keluar?
Lagipula apakah bayangan bisa muncul di tempat yang gelap tanpa setitik pun cahaya?
Bayangan atau kehayalan?
Hayalan orang yang menuju kegilaan. Ya, dia mulai gila. Gila dalam kesendiriannya. Dia mulai berbicara pada bayang-bayang yang bahkan tak ada.
Dia tertawa, menertawakan kesialannya, kebodohannya, harapannya, rasa ingin tahunya, mimpi-mimpinya…
Dia tertawa dan tertawa.
Apa yang bisa ia lakukan di gua yang gelap?
Tertawa…
Ya, tertawa.
_ Makassar, 7 April 2010
Tak pernah…
Hanya saja, mungkin, dia berada di bagian gua yang tak pernah dilaluinya sebelumnya. Tempat yang menjanjikan harapan semu. Harapan? Masihkah dia berani berharap? Setelah sekian lama?
Toh dia masi saja tersesat.
Berputar-putar di gua gelap tanpa menemukan jalan keluar. Semakin lama, semakin tersesat.
Jadi siapa bayangan itu? Yang membuatnya mengira, akhirnya menemukan jalan keluar?
Lagipula apakah bayangan bisa muncul di tempat yang gelap tanpa setitik pun cahaya?
Bayangan atau kehayalan?
Hayalan orang yang menuju kegilaan. Ya, dia mulai gila. Gila dalam kesendiriannya. Dia mulai berbicara pada bayang-bayang yang bahkan tak ada.
Dia tertawa, menertawakan kesialannya, kebodohannya, harapannya, rasa ingin tahunya, mimpi-mimpinya…
Dia tertawa dan tertawa.
Apa yang bisa ia lakukan di gua yang gelap?
Tertawa…
Ya, tertawa.
_ Makassar, 7 April 2010

Baru pertama kali ini saya dapat award!!! Seneng deh... Award dari my rainbowisland
Maaf postingnya telat
Saat melihat anak-anak yang terlantar, terbaring sakit di rumahnya yang nyaris hancur tanpa mampu membayar biaya rumah sakit, aku ingin menjadi seorang dokter atau pemilik rumah sakit.
Saat melihat rakyat kecil yang lemah dihadapan hukum dan tak mampu menyewa pengacara, aku ingin menjadi seorang pengacara.
Saat melihat orang-orang kesusahan bahan pangan dan terpaksa memakan pakan ayam, aku ingin menjadi orang kaya dan membelikan mereka bahan pangan.
Saat melihat anak-anak putus sekolah karena tak adanya biaya, aku ingin mejadi kaya untuk membuat sebanyak-banyaknya sekolah gratis untuk mereka dan membiayai mereka ke universitas.
Tapi bila aku telah menjadi “itu”, akankah aku konsisten dengan tujuanku semula? Akankah aku tidak tergoda dengan uang dan kekuasaan?
Akankah aku membantu yang lemah?
Aklankah aku membela yang benar?
Tetapkah aku berada di jalan yang semestinya?
Ini tentang teman ku. Ke dua teman ku.
Mereka awalnya berpacaran tapi karena sesuatu dan lain hal mereka putus. Sebenarnya, inti dari semuanya karena adanya orang ke tiga. “Orang ke tiga” memang selalu menjadi momok dalam sebuah hubungan. Adanya yang menusuk dari belakang dan menghasut selalu berakibat keretakan pada suatu hubungan. Apa lagi bila “orang ke tiga” ini teramat dekat dengan teman ku (yang cewek). Dia sahabatnya, tapi, pantaskah dia disebut sahabat bila menjadi otak dalam tercerai-berainya hubungan teman ku?
Kurasa tidak…
Dia menyusup masuk dalam hubungan itu dan menyebabkan prasangka-prasangka, menyulut kemarahan, mencetuskan ketidakpuasan…
Aku menyesalkan berakhirnya hubungan ini. Mereka berdua temanku dan mereka sangat cocok (menurutku). Aku kasihan pada si cowok yang teramat menyayangi si cewek. Ia teramat ingin menyatukan kembali hubungan itu. Ia berharap diberikan kesempatan kedua. Aku juga menghormati keinginan si cewek. Aku tahu perasaan sakitnya saat diputuskan, egonya terluka… Ego seorang cewek!!! Lagipula ia dibayang-bayangi persahabatan palsu dari si orang ke tiga.
Well, awalnya ku kira masalah hanya berputar-putar disitu saja, ternyata si cewek juga memendam perasaan tak puas dengan sifat agak cemburuan si cowok dan terlalu perhatiannya. Menurutnya si cowok terlalu masuk dan selalu ada di kehidupannya. Mungkin dia kurang nyaman dengan gaya pacaran seperti itu. Juga dia sebel dengan si cowok yang cemburu pada ke dua teman cowok kami. Yang sebenarnya ku alami juga dan juga cemburunya si bapak yang satu itu dengan dua teman cowok kami itu juga (halah… ko malah aku yang curhat?!!).
Sebenarnya apa yang di cemburui si cowok ini dari teman cowok kami?
Padahal mereka sudah dikenalkan dan bahkan pernah beberapa kali jalan bareng. Yah apapun itu aku ingin yang terbaik untuk mereka berdua.
Jangan diam-diaman yah….