Sepeda Merah 2, Bunga-bunga Hollyhock
12:30 pmRed Bicycle Vol. 2
Red Bicycle
vol.2 @ 2003 by Kim Dong Hwa
All rights
reserved
Original
Korean edition published by Kim Dong Hwa
Indonesian
translation rights arranged with Kim Dong Hwa
Through
Orange Agency
Indonesian
edition @ 2012 by PT Gramedia Pustaka Utama
Sepeda
Merah 2
Bunga-bunga
Hollyhock
Alih
bahasa: Meilia Kusumadewi
Editor:
Tanti Lesmana
Teks dan
tata letak: Anna Evita Rosaria
Hak cipta
terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta,
Oktober 2012
176 hlm; 21
cm
“Suatu
kali, ketika anak perempuanku datang mengunjungiku, pemandangan mawar-mawar
hollyhock mengingatkannya pada kenangan akan ibunya yang telah tiada.
Aku
menebarkan benih-benih bunga itu mulai dari jalan masuk desa hingga ke ambang
pintu rumahku...
Kala
menelusuri jalan setapak berbunga ini, anak perempuanku merasa seakan-akan ia
tengah berjalan sembari menggenggam tangan ibunya...
Dengan
sedikit kesabaran mawar-mawar hollyhock ini pun tumbuh dengan semaraknya...”
Melalui
kisah-kisah pendeknya yang sarat dengan kelembutan, Kim Dong Hwa diperhitungkan
sebagai salah satu penulis manhwa* paling berbakat di hati orang-orang Korea.
Setelah menamatkan buku pertama Sepeda Merah, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak melanjutkan membaca buku keduanya. Dan seperti buku pertama, buku kedua Sepeda Merah ini membuatku jatuh cinta, bahkan lebih cinta lagi. Kisah-kisah di buku kedua ini jauh lebih indah, jauh lebih dalam, jauh lebih sering membuatku tersenyum dan terenyuh. Bahasa yang digunakan masih tetap puitis dan keindahannya seperti buku pertama, tidak terletak hanya pada jaringan katanya tetapi juga oleh ilustrasinya.
Di buku kedua ini
sendiri terbagi dalam lima bab, dimana empat bab mewakili empat musim di Korea
sana dan bab kelima berkisah tentang seorang ibu. Di awal setiap bab, kita
disuguhkan ilustrasi pembuka yang apik beserta sebuah puisi yang tidak kalah
apiknya. Membaca buku ini seperti yang pernah saya katakan, seperti menikmati
sebuah karya seni yang komplit. Membuat kita memimpikan sebuah desa yang tenang
yang ditinggali oleh penduduknya yang ramah.
“Musim Semi
Kusiapkan warna-warnaku untuk mengisi lembar musim dingin.
Namun lukisan itu tak sempat mengering.
Musim semi hadir begitu cepat.
Hop. Hop- inilah goresan-goresan pensilku.
Mungkin terlalu gelap untuk warna musim semi.
Hop, hop- pensil-pensil warnaku beraksi.
Azalea, magnolia, dan forsythia bermekaran.
Dogwood dan sakura pun berbunga.
Lalu giliran bunga lila, batang-batangnya menguarkan aroma parfum...”
Bab pertama, Musim Semi, berisikan delapan kisah; Bunga-Bunga Hollyhock, Kisah-Kisah Klasik Sastra Korea, Herbal dan Tanah Kampung Halaman, Masa Menabur Benih, Pejabat Militer, Tunas-Tunas Muda, Surat Cinta dan Bunga-Bunga Pacar Air. Kedelapan kisah itu bersetting musim semi dan kisah-kisah di dalamnya terasa manis, seperti kuncup-kuncup tanaman yang mulai tumbuh setelah musim dingin yang panjang. Dari kedelapan kisah itu, aku sendiri memfavoritkan lima diantaranya.
Bunga-Bunga Hollyhock
yang berkisah tentang seorang ayah yang menghentikan pekerjaannya di ladang
demi menanam bibit bunga Hollyhock dari pintu masuk desanya hingga di depan
pintu rumahnya. Hal itu dia lakukan agar ketika anaknya datang nantinya, dia
akan disambut bunga-bunga hollyhock tersebut. Bunga yang sangat disukai oleh
ibunya.
Rerumputan dan Tanah
Kampung Halaman berkisah tentang seorang ibu yang menitipkan paket untuk
putranya kepada tukang pos dan seorang ayah yang turut menitipkan seguci tanah.
“Ini tanah. Penduduk kota yang hidup di tengah beton dan aspal jarang melihat ini. Aroma rempah-rempah memang enak, tapi tidak ada yang mengalahkan bau tanah kampung halaman untuk mengobati kerinduan pada rumah.”
_Halaman 23
Tunas-Tunas Muda
bercerita tentang sebuah percakapan seorang ayah dan putrinya. Dimana sang
putri sedang mengalami kegagalan atas pernikahannya dan terpaksa menitipkan
anaknya kepada ayahnya sembari ia akan kembali ke kota untuk membangun kembali
hidupnya di tempa ia kehilangan segalanya.
“Menjadi manusia memang jauh lebih kotor daripada lumpur. Sampahnya hanya perlu diangkat agar segalanya kembali bersih. Namun jejak yang ditinggalkan dengan menjadi manusia tidak dapat dilenyapkan.”
_Halaman 33
Coba perhatikan sejenak yang di atas itu. Tunas-tunas muda ini berhasil menembus kulit kayu pohon yang jauh lebih keras dibandingkan kulit sapi. Bukankah itu luar biasa? Dan lihat yang di sebelah sana. Daun-daun kecil mereka jauh lebih rapuh dibandingkan kuku-kuku bayi yang baru lahir. Padahal mereka berhasil mengangkat gumpalan tanah yang beratnya seribu kali dirinya. Tidak lama lagi, mantel hijau akan menutupi dahan-dahan gundul pohon itu dan tanah cokelat di ladang. Kehidupan juga akan memberi kita cobaan, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan usaha yang dikerahkan tunas-tunas muda ini. Pada setiap cobaan berat, aku sering mengamati tanah dan aneka pohon. Alam jelas akan selalu menjadi guru terbaik bagiku.”
_Halaman 33-35
Surat Cinta bercerita
tentang seorang suami yang ingin memberikan kado ulang tahun kepada istrinya.
Dan Bunga-Buga Pacar
air yang berkisah tentang percakapan (dan keromantisan) antara pasangan suami
istri yang telah uzur. Dimana percakapan itu terjadi saat sang suami sedang
menanam pohon pacar air.
“Musim Panas
Inilah hujan musim
panas.
Batu-batu besar di tepi
sungai, kita jadikan titian.
Boong bong bong...
betapa senangnya melompat dari batu ke batu.
Hujan reda, mentari
terik bagai sengatan lebah.
Di bawah pohon besar
kita berlindung agar tidak terbakar.
Bong bong bong...
betapa senangnya melompat dari bayangan ke bayangan.”
Bab kedua, Musim Panas,
juga terdiri dari delapan kisah; Impian Masa Kecil, Piza, Toilet, Manisnya
Kehidupan, Uang adalah Uang, Roda yang Berkilau Cemerlang, Hanya Senda Gurau,
dan Dilekuk Kedua Tanganmu. Kedelapan kisah ini bersetting musim panas dan
kisah-kisah di dalamnya mewakili perasaan ceria ketika menikmati hangatnya
panas matahari, yang walau pun terkadang panasnya seperti sengatan lebah tetapi
kedatangannya tetap dinantikan, merenungi senjanya yang berkilau, dan
malam-malamnya yang bertabur bintang. Dari kedelapan kisah tersebut, saya
memfavoritkan enam kisah (selain Manisnya Kehidupan dan Uang adalah Uang).
Di bab musim panas ini
kisahnya begitu romantis dan melankolis...
Ada kisah tentang dua
orang kakek yang bercakap-cakap tentang mimpi mereka, ada kisah tentang seorang
nenek yang rela membelikan pizza untuk cucunya meskipun satu loyang pizza itu
seharga empat ratus biji ketimun yang ia tanam atau setara dua takaran beras.
Masih tentang si cucu dan nenek yang ketika malam tiba, si cucu kebelet buang
air besar tetapi takut dengan toilet di luar ruangan dan akhirnya membuang
hajat di kebun sayur neneknya sambil ditemani sang nenek dan menikmati taburan bintang
di langit.
“Aku baru sadar bahwa aku memiliki impian lain sejak menua. Yaitu duduk bersandar sambil memandang matahari dan menikmati kehangatannya tanpa memikirkan hal lain.”
_Halaman 52
Lalu tentang tukang pos
yang dalam perjalanan mengantarkan suratnya tiba-tiba saja ban sepedanya pecah,
tentang kakek dan nenek yang bercanda dan bertengkar, dan tentang pada suatu
malam ketika sepasang suami istri yang telah tua berbincang dan menikmati
keindahan langit berdua.
“Musim Gugur
Gemeresik daun-daun
kering
Membuatku kembali lagi
dan lagi.
Warna-warni musim gugur
Membuatku merona lagi
dan lagi...”
Bab ketiga, Musim Gugur, juga memiliki delapan cerita; Foto-Foto, Duli si Bayi Dinosaurus, Direktur Kantor Pos, Para Ayah yang Memiliki Anak Perempuan, Daun-Daun yang Berguguran, Mangkuk-Mangkuk Nasi, Partitur, dan Kelas Sore. Kisah di musim gugur ini berwarna-warni, seperti warna-warni dedaunan yang akan mulai merontokkan daunnya. Dari kedelapan kisah itu, aku memfavoritkan lima diantaranya.
Foto-Foto berkisah
tentang sepasang suami istri yang dikunjungi putra bungsu dan calon menantunya.
Dengan bangga mereka memamerkan koleksi foto keluarga mereka yang terpasang di
dinding rumah mereka sambil menceritakan kisah dibalik moment tersebut. Duli
sang Bayi Dinosaurus berkisah tentang kakek yang bangga memakai pemberian
cucunya. Para Ayah yang Memiliki Anak Perempuan bercerita tentang seorang ayah
yang bersiap menyambut kedatangan putrinya. Mangkuk Nasi berkisah tentang
kesedihan perempuan tua yang mangkuk nasi tuanya dibuang oleh menantunya. Kelas
Sore sendiri berkisah tentang perbincangan mendalam dua orang kakek di suatu senja.
“Memangnya kenapa kalau ini sudah usang? Dua mangkuk keramik ini dibeli pada perayaan pernikahan kami. Mangkuk baja karbon ini ditambahkan ketika si sulung lahir. Lalu magkuk perak untuk si anak berikutnya... Dan satu lagi mangkuk stainless steel ketika si bungsu yang mungil dilahirkan... Semua mangkuk dibeli sedikit demi sedikit dan disesuaikan seiring bertambahnya jumlah keluarga. Tidak mengejutkan jika warna dan bentuknya berbeda-beda. Aku sangat menyukai mangkuk-mangkuk ini karena mengingatkanku pada setiap anak-anak. Dan menantu perempuanku ingin aku menyingkirkannya dengan alasan mereka sudah usang? Si kecil yang angkuh! Mangkuk-mangkuk ini bagaikan buku harian pribadi yang mencatat kisah seluruh kehidupanku. Bukan indahnya bentuk tulisan yang memiliki arti, melainkan isinya!”
_Halaman 108-109
“Seiring waktu, aku menyadari bahwa menua itu tidaklah buruk. Kita belajar untuk lebih pamaaf terhadap kehidupan.”
_Halaman 116
“Musim Dingin
Semua berselimut salju.
Kita bisa memulai
gambar baru di kertas yang kembali putih ini.”
Bab keempat, Musim Dingin, terdiri dari enam kisah yang seperti musim dingin yang putih, lembaran baru, awal baru, atau setidaknya persiapan untuk menyambut kehidupan yang baru itu. Kisah-kisah itu adalah; Kisah-Kisah Musim Dingin, Akar, Perjalanan Musim Dingin si Tukang Pos, Ketika Salju Turun, Gambar yang Tersembunyi, dan Pohon.
“Ibuku
Angin menghembus di
sebelah ibuku.
Sungai mengalir di
sebelah ibuku.
Lili, anemone,
dandelion, dan violet
mekar pertama kali di
sebelah ibuku.
Ibuku menabur ke empat
penjuru angin, benih-benih bunga yang sarat dengan niat baiknya.
Ibuku menebar ke air
yang mengalir, klopak-kelopak bunga penuh pesan tanpa kata.
Itulah sebabnya angin
membawa aroma ibuku.
Itulah sebabnya sungai
bernyanyi dengan suara ibuku.”
Dan bab lima, Kisah Para Ibu, hanya memiliki satu cerita tentang seorang ibu yang menunggu kedatangan anaknya. Sudah lama anaknya itu tidak datang mengunjunginya, dan ketika ia datang anaknya datang mengendarai mobil dan membawa banyak uang di tasnya. Sang ibu pun menyadari dia terbutakan dengan keberhasilan anaknya, begitu gembiranya ia melihat wajah anaknya hingga ia luput memperhatikan betapa letih, lelah dan tertekannya anaknya.
Saya tidak pernah bosan
membaca ulang buku ini dan ya SAYA HARUS MEMILIKINYA!!!! Makasih lagi buat
Dhani yang sudah meminjamkan buku ini buat saya ^^
*Manhwa: Sebutan untuk komik/ penulis komik dari Korea
Baca juga review Sepeda Merah, Yahwari di sini
*Manhwa: Sebutan untuk komik/ penulis komik dari Korea
Baca juga review Sepeda Merah, Yahwari di sini
4 komentar
Aku suka banget sama ilustrasinya nih. Ceritanya juga kayaknya menarik ;)
ReplyDeleteIyaaa Om aku pun jatuh cinta ^^
Deleteayo beli! ngga ada ruginya lho *komporin :D
ReplyDeleteMau kak >.< mau sekalia kodong, tapi dak ada mi di toko buku sini T____T
DeleteTerimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus.