Garis Batas
1:55 am
Garis Batas
Oleh
Agustinus Wibowo
Copyright @
2011, PT Gramedia Pustaka Utama
Editor:
Hetih Rusli
Co-editor:
Prisca Delima
Foto
sampul: Agustinus Wibowo
Desain
Sampul: Marcel A.W
Layout:
Anna Evita & Farahnaz Hashim
Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama
Jakarta,
April 2011
13,5 x 20
cm
510 hlm
Negeri apa
di seberang sungai sana? Penduduk desa Afghan setiap hari memandang ke “luar
negeri” yang hanya selebar sungai jauhnya. Memandangi mobil-mobil melintas,
tanpa pernah menikmati rasanya duduk dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah
cantik bak villa, sebentara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang
terbuat dari batu dan lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana jins
tertawa riang, sebentara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas
bepergian.
Negeri
seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi tiga demensi yang menemani
mimpi-mimpi mereka. Fantasi orang-orang yang hidup di seberang garis batas.
Fantasi
yang membawa Agustinus Wibowo bertualang ke negeri-negeri Asia Tengah yang
misterius. Tajikistan. Kirgistan. Kazakhtan. Uzbekistan. Turkmenistan.
Negeri-negeri yang namanya semua berakhir “stan”. Perjalanan ini bukan hanya
mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerap kemegahan khazanah
tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan
simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir
manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.
“Garis batas! Seperti halnya gravitasi bumi dan oksigen, garis batas
tidak terlihat, namun setiap langkah dan embusan napas kita dipengaruhi
olehnya. Pola pikir kita, uang yang kita pegang, bendera yang berkibar,
kebanggaan yang melingkupi hati, sejarah yang kita kenang, saudara-saudari yang
kita sebut sebagai sebangsa, kartu identitas, pendidikan, status, ideologi,
nasionalisme, patriotisme, perjanjian, traktat, perang, pembantaian etnis,
kehancuran, semuanya produk dari garis batas.
Ada garis batas fisik, ada garis batas mental. Ada yang sementara, ada
yang abadi. Garis batas geografis, sosial, biologis, status, gender, privasi,
mental, spritual, agama... semua memisahkan manusia dalam kotak masing-masing.
Garis batas mengurung, memasung, melindungi, dan mengukuhkan, sebuah zona
aman-tempat individu merasakan kelegaan dan kenyamanan.
Bangsa-bangsa punya zona aman masing-masing, dilindungi oleh garais
batas negeri. Sering kali, pertumpahan darah tak terelakkan hanya demi goresan
garis-garis di atas peta. Inilah perjalanan hidup manusia! Sejak lahir, manusia
bertumbuh, berjuang, bekerja demi kemapanan, bertarung, hingga datangnya akhir
hayat. Sejak awal peradaban manusia, mulai dari kehidupan primitif di goa, para
pemburu di hutan, kaum nomad di padang rumput, takhta raja-raja berdarah biru,
benteng-benteng dan tembok raksasa, hingga republik modern, zona aman semakin
kokoh dan berstruktur. Bangsa-bangsa berperang, bernegosiasi, berdiplomasi,
bersekutu, berseteru, bertikai lagi, hingga akhirnya hancur lebur, semua
terkait urusan zona aman, melindungi batas-batas dan kebanggaan mereka.”
_Hlm 7-8
Saat membaca Selimut
Debu sedikit banyak saya tahu tentang negara Afganistan dan apa yang sedang
bergejolak di sana. Karena itu saya dapat mengantisipasi “kemalangan”
penduduknya saat membaca catatan perjalanan Agustinus itu. Dan di akhir buku
Selimut Debu itu, Agustinus menceritakan/menggambarkan fantasi masyarakat
perbatasan Afganistan tentang negara lain di sebarang sungai Amu Darya yang
terlihat sangat bahagia. Sebuah utopia dalam pandangan mereka. Tapi benarkah
seperti itu?
Setiap negara memilki permasalahannya
masing-masing. Dan ya, buku Garis Batas ini membenarkan pepatah rumput tetangga
lebih hijau. Negara fantasi masyarakat Afgan di seberang sungai Amu Darya
bukanlah negara utopia, negara itu pun memiliki permasalahan-permasalahan negara
berkembang lainnya; kemiskinan, tak ada lapangan kerja, hingga mata uang yang
anjlok.
“Benak selalu diisi oleh imajinasi akan sebuah dunia lain di luar sana.”
_Hlm 61
Membaca buku ini
menyadarkan saya kembali untuk selalu bersyukur dan berbangga menjadi rakyat
Indonesia. Yang meskipun masih di pandang sebelah mata oleh negara-negara maju,
pemerintahan yang masih sangat korup, dan permasalahan-permasalahan lainnya di
negara ini, setidaknya kita masih bisa makan, hidup dengan damai, masih dapat
bersekolah dan jika sakit masih bisa berobat ke rumah sakit.
Sebenarnya banyak yang
saya ingin ceritakan mengenai buku ini, tapi saya takut menjadi spoiler
nantinya. Setiap bab menjadi menarik untuk di baca karena Agustinus juga
memaparkan sejarah berdirinya negara-negara yang ia singgahi beserta kebudayaan
dan kebiasaan masyarakatnya, mimpi-mimpi mereka, harapan-harapan mereka.
Agustinus menguak lebih dalam tentang negara-negara itu.
Dan juga buku ini bisa
saya katakan, atau lebih tepatnya perjalanan penulis kali ini di negara bekas
jajahan Unisoviet adalah sebuah perjalanan menemukan jati diri...
“Di tanah asing ini, saya kembali merenungi arti Indonesia. Indonesia
memang tidak sempurna, tetapi itulah tanah air yang menerima saya apa adanya.
Indonesia memang menorehkan kenangan buruk, tetapi tetaplah rumah dengan
nostalgianya. Indonesia adalah diri saya. Otak saya bekerja dalam bahasa
Indonesia, budaya saya adalah budaya Indonesia. Loyalitas saya pada kain Merah
dan Putih. Kebanggaan akan Sriwijaya, Majapahit, dan Nusantara mengalir bersama
darah saya- bukannya barisan dinasti dan rentetan Tembok Besar. Bagaimana saya
bisa menyangkal ke-Indonesia-an yang begitu kuat dalam diri saya ini?
Orang bilang, nasionalisme semakin tebal ketika kita berada di luar
negeri, ketik kita mulai melihat negeri kita dari luar kotak. Negeri asing yang
diimpikan, kenyataannya bukan selalu nirwana.”
_Hlm 227
Semakin menarik buku
ini, karena seperti Selimut Debu, buku ini pun memuat foto-foto tempat yang
Agustinus singgahi dan orang-orang yang ia temui. Dari cover pun sudah sangat
cantik. Kurangnya hanya tidak adanya keterangan pada tanggal atau setidaknya tahun
berapa perjalanan itu Agustinus lakukan. Apakah keadaan negara “stan” yang
Agustinus ceritakan masih sama dengan saat ini?
Dan berhubung belum
bisa membeli boxset Selimut Debu, saya kembali meminjam buku Garis Batas ini di
Kak Afdhal yang juga sebelumnya telah meminjamkan saya buku Selimut Debu. Terimakasih
Kak buat pinjaman-nya lagi~
Membaca Garis Batas
membuat saya banyak merenungi berbagai hal dan membuat saya semakin
mengidolakan seorang Agustinus Wibowo.
Nb: Entah hal sakti apa
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dengan melafalkan hal itu ketika
sedang dalam kesulitan di negara-negara “stan”, Agustinus dapat lolos dari
kesulitan yang menghadangnya.
“Mimpi punya
relativitasnya sendiri, bertingkat-tingkat, dan ada garis batasnya. Orang di
tempat berbeda, dalam lintasan roda zaman yang berbeda, punya mimpi yang
berbeda pula. Saya teringat gurauan Marsha di Dushanbe. Mimpi orang Afganistan
adalah Tajikistan, karena Tajikistan berlimpah listrik dan perempuan. Mimpi
orang Tajikistan adalah Rusia, karena di sana banyak lapangan kerja dan uang.
Mimpi orang Rusia adalah Amerika Serikat, karena di sana penuh gemerlap
modernitas dan kebebasan.
Lalu, apa mimpi orang
Amerika?”
_Hlm 111
2 komentar
review yang menarik kak, jadi pengen baca buku semua dari agustinus ^^ *tunggu ada hujan buku* :D
ReplyDeleteSaya juga tunggu ada yang mau kasika boxsetnya Agustinus Wibowo >.<
DeleteTerimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.