Larasati
1:22 am
Larasati
By
Pramoedya Ananta Toer
Copyright @
Pramoedya Ananta Toer 2003
All rights
reserved
Diterbitkan
dan diulaskan oleh
Lentera
Dirpantara
Cetakan ke
4, Maret 2009
Naskah ini
pernah diterbitkan oleh:
1.
Pertama kali terbit sebagai cerita bersambung dalam
surat kabar Bintang Timur/ lampiran budaya LENTERA, 2 April 1960 s/d 17 Mei
1960
2.
Hasta Mitra, 2000 (Larasati), edisi Indonesia
180 hlm; 13x20cm
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian
tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”
_Ma’in
Roman ini
merekam dengan elegan golak revolusi Indonesia paska proklamasi. Tapi bukan
dari optik “orang-orang besar dan orang-orang tua”, melainkan seorang
perempuan. Larasati namanya. Seorang aktris panggung dan bintang film yang
cantik. Dari kisah perjalanan perempuan inilah melela sebuah potret keksatriaan
kaum muda merebut hak merdeka dari tangan-tangan orang asing.
“Setiap republikein mestinya republikein sejati. Satu kesalahan bisa
membuat dia jadi khianat tanpa maunya sendiri.”
_Opsir
Tidak hanya
merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan, namun juga lengkap dengan segala
kemunafikan kaum revolusioner, keloyoan, omomg banyak tapi kosong dari para
pemimpin, pengkhianatan, dan sebenggol-benggol kisah percintaan. Dari
sepenggalan perjalanan Ara- dari pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan
(Jakarta) –terpotret bagaimana manusia-manusia Republik memandang revolusi.
“Memang aku hanya seorang pelacur, tuan kolonel. Tapi aku masih berhak
mempunyai kehormatan. Karena, aku tidak pernah menjual warisan nenekmoyang pada
orang asing.”
_Larasati
Seperti yang kita
ketahui, 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tapi hal itu
tidak serta-merta membuat bangsa Indonesia dapat menikmati kemerdekaannya.
Belanda dengan memboncengi NICA, memasuki wilayah Indonesia dan melancarkan
agresi militer, hingga pusat pemerintahan terpaksa berpindah dari Jakarta ke
Yogyakarta saat Jakarta berhasil di duduki NICA.
Saat hal itu terjadi,
beberapa orang Indonesia membelot dan mendukung Belanda dan NICA demi
mendapatkan pangkat, kehormatan, dan mengisi perut yang kosong. Tapi tidak
untuk Ara (Larasati), dia yang sebagai artis yang tentunya sangat terkenal
bukan hanya bagi orang Indonesia tetapi juga di mata pembesar Belanda bersumpah
setia pada Revolusi. Berbekal keyakinan itu dia meninggalkan “pedalaman” dan
memasuki daerah pendudukan untuk bertemu dengan ibunya.
Dalam perjalanannya
itulah dia bertemu banyak orang, mulai dari pemuda revolusioner hinggah
pembelot dan bangsa lain yang mengambil keuntungan dari hal tersebut. Dia pun
menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya karena revolusi, dia menjadi pribadi
yang berbeda, apa yang ia puja dan anggap penting dahulu sekarang tidak lagi
berarti baginya, dan dulunya yang ia anggap hanya sebagai pengganggu kini ia
rindukan. Dari sudut pandangnya ini lah Pram bercerita penderitaan, kesusahan,
harapan, semangat di masa itu. Dan dari kisah ini, beliau menyampaikan bahwa
perjuangan apapun bisa lahir dan menempati tempat yang terhormat jika pribadi
itu berani; tidak hanya berani melawan segala bentuk kelaliman tetapi juga
berani melawan keangkuhannya sendiri....
“Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak!
Negara pun tidak! Rakyat apa lagi! Yang aku kotori hanya diriku sendiri. Bukan
orang lain. Orang lain takkan rugi karenanya.”
_Larasati
Saya selalu mencintai
karya-karya Pramoedya. Beliau adalah seorang lelaki yang feminis, itu terbukti
dari semua karya-karya ia tuliskan, setidaknya yang telah saya baca. Di setiap
karyanya, ada tokoh perempuan hebat, atau ia mengkritisi patriarki yang mendarah
daging di Jawa. Juga setiap tokoh yang ia tuliskan selalu berdiri di daerah
abu-abu, tidak sempurna jika dikatakan sebagai pahlawan tetapi berjuang untuk
hal yang ia rasakan benar. Kita selalu diajak untuk berfikir menggunakan sudut
pandang sang tokoh, menelah prilaku, dan memahami tindakannya, sehingga kita
merasakan kedekatan, hubungan batin dengan tokoh tersebut. Mengajak kita turut
serta tersenyum, menangis, jijik, marah, dan bermimpi dengan sang tokoh.
Apalagi setiap tulisan Pramoedya ini mengangakat “sejarah” di masa latar cerita
novel-novelnya berlangsung.
“Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang.
Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan.”
_Larasati
Meskipun begitu,
novel-novel Pramoedya bukanlah novel yang bisa kita nikmati sambil melakukan
hal-hal yang lain. Untuk membaca karyanya, saya harus mengkhususkan waktu hanya
untuk duduk membacanya. Selain karena kata-katanya yang menggunakan ejaan lama
dan baku, novel-novelnya memang memuat hal-hal yang “berat” yang butuh
perenungan untuk memahaminya. Tapi hal itu tentunya bukan alasan untuk tidak
membaca karya beliau, kecuali mungkin untuk orang yang malas berfikir ._. Bagi
saya, novel-novel Pramoedya wajib untuk saya miliki dan menempati rak buku ku.
Ahh... dan buku
Larasati ini bisa dikatakan bacaan ringan jika itu menyangkut karya-karya
Pramoedya...
Tidak pernah bertemu,
bercakap atau setidaknya berjabat tangan dan meminta tanda tangan beliau adalah
salah satu hal yang sangat kusesalkan dalam hidupku >.<
“Setiap pejuang harus selalu bersedia untuk kalah. Dalam perjuangan,
bukankah kekalahan harus selalu diterima sebagai sahabat?”
_Larasati
Nb: Buku-buku Pramoedya
yang kumiliki Insyallah akan kurensensi juga di sini nantinya, kalau ada mood
dan kesempatan untuk membacanya kembali. Larasati ini sudah yang ke lima
kalinya saya baca semenjak saya membelinya~
0 komentar
Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.