Perempuan Pertama
1:01 am
Bagi seorang anak, terutama
seorang anak perempuan, sosok ibu adalah sosok pertama yang menjadi panutannya,
sosok pertama yang ingin ia contoh ketika ia dewasa kelak, sosok yang selalu
menginspirasinya... Begitu pun dengan saya. Di luar sana memang masih banyak
perempuan yang mungkin lebih menginspirasi, tapi perempuan yang pertama kali
hadir dalam hidupku inilah yang ingin aku ceritakan yang nantinya tulisan ini
diikutkan pada 8 Minggu
Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga.
Andi’, begitu saya, Aba dan
kakakku memanggilnya. Dia memang seorang perempuan “berdarah biru” (meskipun
tentu saja ketika ia terluka darahnya tetap berwarna merah) sehingga kami
diwajibkan memanggilnya dengan titlenya tersebut. Hal itu tentunya tidak
membuat hubungan kami berjarak, baginya kami tetaplah anak-anaknya yang
sembilan bulan ia kandung, dan Aba tetaplah seorang suami yang ia pilih dan
cintai. Saya pun beranjak besar dengan mengira “Andi’” adalah bahasa daerah
Palopo untuk Ibu. Hinggah ketika saya mengetahui nama lengkapnya sayapun
bertanya mengapa saya dengan lancang memanggilnya dengan namannya? Saat itu
saya barulah ngeh tentang status sosial di masyarakat Bugis-Makassar. Tapi
itulah, di rumah kami, kami diajar untuk menghargai manusia bukan dari status
sosial apalagi harta yang ia miliki. Setiap manusia sama di mata Sang Kekasih
yang membedakan hanyalah hati dan seberapa besar kau mengenal-Nya. Bagi kami,
“Andi’” hanyalah sinonim dari ibu, mama, ataupun bunda.
Andi’ hanyalah seorang ibu rumah
tangga biasa yang cuma lulusan SMA. Dia pernah berkuliah, sudah hampir sarjana
ketika ia memilih berhenti kuliah (aha, jadi sepertinya saya mencontoh
seseorang nih :p). Sayangnya saya tidak mengetahui mengapa ia memilih untuk
berhenti kuliah saat itu, tentunya uang bukan masalah untuk keluarganya di saat
itu. Ada banyak hal yang tidak sempat saya tanyakan padanya, itu salah satu
penyesalan terbesar saya... Andi’ memiliki cara unik tersendiri untuk mendidik
kami.
Saya ingat, saya tidak pernah
dilarang jika tidak ingin pergi bersekolah, mungkin juga si karena saya jarang
malas ke sekolahnya. Saya diperbolehkan sesekali membolos sekolah dan
berleha-leha di rumah. Waktu kecil saya sangat membenci tidur siang, dan beliau
tidak pernah memaksa saya untuk tidur siang. Dia memperbolehkan saya bertualang
hinggah sore hari di seputaran kompeks rumah, yang pasti sebelum maghrib saya
sudah harus berada di rumah. Dan beliau selalu mendengarkan ocehan-ocehan saya
tentang petualangan-petualang kecil itu.
Dibandingkan memaksa saya makan,
beliau lebih memilih membuat saya menunggu-nunggu masakannya matang dan segera
melahapnya. Dari kecil beliau juga mengajarkan kami untuk mencintai buah dan
sayuran, saya ingat kulkas di rumah kami selalu terisi dengan buah-buahan dan
sayur-sayuran. Oh ia, Aba saya seorang perokok berat, biasanya saat isian
koreknya habis, ia meminta tolong kepada Andi’ untuk rokoknya dibakarkan di
kompor. Biasanya ketika sampai ke tangan Aba rokok itu tinggal setengah, ia
Andi’ saya yang mengisapnya. Andi’ juga merokok, tapi tidak sampai
ketergantungan seperti Aba, hanya terkadang katanya ia tidak tahan untuk tidak
mengisapnya. Lalu saya bertanya, apa merokok itu enak? Andi’ tidak menjawab
pertanyaan saya, ia malah membakar sebuah rokok dan mengizinkan saya
mengisapnya yang tentu saja sontak membuat saya terbatuk-batuk. “Tidak enak
toh?” katanya saat itu. “Terus kenapa ada ji yang mau merokok? Baru tidak
enak?” tanyaku saat itu. “Orang memang suka aneh-aneh. Tidak sehat lagi ini
merokok.” Semenjak itu saya anti sekali dengan rokok, saya benci baunya,
asapnya apalagi, rasanya ditenggorokkan saya itu kering dan panas jika
menghirup asap rokok.
Saat ini saya paham, Andi’ ku itu
orang yang tidak mau repot dan tidak suka memaksakan kehendaknya, dia memilih
kami untuk bebas merasakan dan mencicipi kehidupan dan menanggung segala resiko
atas keputusan kami itu. Dia berdiri mengamati kami, sambil siap sedia jika
kami membutuhkan pertolongan. Saya memujanya karena itu. Untuk semua
petualangan-petualangan hebatku semasa kecil yang tidak akan saya dapatkan jika
dia seorang ibu yang protektif.
Andi’ sendiri adalah satu-satunya
dari semua saudara perempuannya yang telah menikah yang menikah tidak dengan
perjodohan. Dia kekeuh dengan pendiriannya memilih Abaku sebagai suaminya, Aba
ku yang tidak berstatus “Andi” tidak “sedrajat” dengannya. Dia pernah bercerita
bahwa keluarga besarnya sangat tidak setuju dengan rencana pernikahan mereka,
dia tidak mengambil pusing hal tersebut, yang penting Puang dan Ettandi’
(panggilan untuk kakek-nenek ku dari pihak Andi’) merestui katanya. Dan dia
berkata tidak pernah menyesal dengan keputusannya itu. Dia bahagia memilih
kami...
Jika kau mencintai seseorang, itu
berarti kau mencintai kebaikan maupun keburukannya, kelemahan maupun
kelebihannya... Hal itu juga yang Andi’ perlihatkan kepada kami. Aba ku adalah
lelaki yang sangat pencemburu, dia sangat tidak menyukai bila andi’ ku dekat
dengan laki-laki lain, bahkan jika itu sepupunya (memang si kata Andi’ ku
sebelum berpacaran dengan Aba, dia pernah berpacaran dengan sepupunya). Aba
juga suka marah-marah jika pulang dari kantor dan tidak mendapati Andi’ ku di
rumah, jangankan itu beberapa menit saja tidak melihat Andi’, Aba ku suka heboh
sendiri seperti istrinya diculik alien ._. Menyikapi hal itu, Andi’ tidak
pernah marah-marah, mengomel si terkadang, Andi’ malah menjadikan kecemburuan
Aba’ ku sebagai lucu-lucuan. Biasanya saat mendengar Aba pulang dari kantor, ia
terkadang bersembunyi, dan ketika Aba sudah mulai marah-marah ia keluar sambil
tertawa dari tempat persembunyiannya. Pernah juga saat saya dan Aba asik
menonton film, ia tiba-tiba menghilang, saat kami sadar dia sudah tidak ada dan
memanggilnya dia tidak menyahut, Aba ku pun mangomel-ngomel; “Itu’ pergi mi
sede itu Andi’mu bla bla bla bla”. Aba pun keluar rumah berniat mencari Andi
sambil tetap mengomel-ngomel dan tadaaaa... dari balik pohon mangga Andi’ ku
melompat mengagetkan Aba.
Sewaktu Aba meninggal, mencari
nafkah otomatis jatuh kepundak Andi’. Beliau pun tidak pernah mengeluh kepada
kami dan kebutuhan kami pun selalu terpenuhi. Hanya saja, ketika malam melarut
saya sering mendapatinya menangis diam-diam, bukan menyesali nasip, saya rasa
ia sangat merindukan Aba. Dan ya hanya empat tahun sepeninggalan Aba’, Andi’
pun menyusulnya. Membuat saya marah, karena merasa beliau tidak cukup berusaha
melawan penyakitnya, merasa bahwa dia lebih mencintai Aba’ daripada saya
sehinggah ia memilih menyerah. Ya,
awalnya saya merasa seperti itu, merasa ditinggalkan dan tidak cukup dicintai.
Tapi seiring waktu saya pun mengerti, dan menginginkan memilki rumah tangga
seperti milik orangtuaku...
Dan Andi’ di dalam ingatanku selalu
adalah perempuan yang cantik dengan rambut hitam yang mengikal di bagian
bawahnya, senyum lebar yang senantiasa terpatri di bibirnya, yang membebaskan
kami merasakan dunia, yang dari jauh mengawasi kami, bersiap sedia jika kami
membutuhkan pertolongan, yang memiliki tekad kuat atas apa yang ia rasa dapat
membahagiakannya, yang mencintai lelaki pencemburu, yang mampu membuat hal-hal
menjengkelkan menjadi menyenangkan, yang hanya mencintai satu lelaki, yang
mencintai tanpa mengekang, dan yang sekarang berada bersama suaminya di sisi
Sang Kekasih menunggu kedatangan kami... Dan ya, tanpa sadar mengajarkan bahwa kematian adalah perjumpaan kembali dengan orang-orang yang kau sayangi dan
pertemuan dengan Sang Kekasih. Bukankah itu indah? Setidaknya jika kau sendiri
yang di sapa kematian, bukan lagi salah seorang yang kau cintai yang dengan
curang mendahuluimu.
8 komentar
kakak dwi ini salah satu idolaku karena kisah hidup ta memang keras pantas kita jadi wanita tangguh..ehh ternyata ada dramanya juga (jadi ingat cerita2 bangsawan Bugis)
ReplyDeleteIbu memang sumber inspirasi utama. Kata Mamiku, " kalau ibunya lemah maka anaknya lemah, oleh karena itu sebagai perempuan kita harus kuat apapun yg terjadi.."
anyway, Mamiku juga kehilangan ayah waktu dia masih kecil, dan dia juga sangat mencintai kebebasan...
PS : bikin ki novel ttg itu kak...hehe
minta izin meneteskan air mata saat membaca tulisan ini... :)
ReplyDeletesungguh cinta yang abadi
ReplyDeleteWah.. Luar biasa kisah hidup kakak. Salut dan hormat dari saya. Mereka pasti bangga punya anak tangguh seperti kakak.
ReplyDeleteImam: Terimakasih sudah mampir ^^ Merdeka! Hehehe
ReplyDeleteMeike: >.< Aduh jadi malu, rasanya belum pantas sekali dijadikan idola >.<
Sepakat ma Maminya Meike!!! ^^
Walah novel??? Saya belum sanggup nulis novel :p
Katalis Hati: Aduh... Sangat tidak bermaksud untuk membuat sedih >.<
Eko: Amin!!!
Ucha: Makasih >.< Semoga saja mereka bangga bukannya gemes penggen jitak :p
Ferdy: Maka dari itu, selalu bahagiakan ibu jangan sampai membuatnya bersedih ^^
Istimewa sekali mbak. kisah yang sangat menyentuh. aku terkesima
ReplyDeleteDwee. ini sangat menyentuh. really. saya seorang anak perempuan, saya seorang ibu dari seorang anak perempuan. saya terharu.
ReplyDeletethank u so much, dwee..
Mas Eka: Terimakasih mas ^^
ReplyDeleteMbak Meilya: Terimakasih kembali mbak :) terimakasih juga telah menyempatkan mampir di sini ^^
Terimakasih atas komentarnya :) Maaf untuk yang meninggalkan komen dengan link hidup, terpaksa saya hapus. Juga yang komennya dibaca brokenlink terpaksa saya hapus.